74. Kambing hitam

1483 Words
"Awasi dan cari tahu apa yang dilakukan anak itu, dan laporkan segalanya padaku, mengerti?" "Mengerti, Pak." Terdengar balasan dari seberang. Klik Christian memutuskan panggilannya. Lelaki 55 tahun itu terlihat sedang berpikir. "Anak itu cukup pintar dari ayahnya," ujar Christian. "Dia bahkan bisa naik pangkat dan jabatannya lebih cepat dari yang lainnya," "Dia bahkan melebihi kepintaran dan kelincahan ayahnya itu," ujar Christian. "Bisa saja dia sedang mencurigaiku...," Christian menaikan sebelah alisnya. Lalu lelaki 55 tahun itu mulai tersenyum licik. "Kalau Mochtar bisa aku singkirkan, kenapa anaknya yang bau kencur itu tidak?" "Hm...harus ada kambing hitam untuk ini...," gumam Christian sambil berpikir. Cukup lama dia berpikir keras di ruang kerja pribadinya itu. "Ah!" Christian tersenyum licik lagi. "Kalau temanku Mochtar yang menjadi korbannya, kenapa temanku yang lain tidak menjadi pelakunya saja?" senyum cerah menghiasi kedua bibirnya. "Maafkan aku teman, tapi ini demi kebaikannku," Christian tersenyum lebar. ♡♡♡ "Bapak! Bapak!" Tinim dan pembantu yang lainnya panik ketika Ikhsan dibawa ke kantor polisi. "Bapak! Bapak kenapa bisa begini?" Ririn terisak, gadis 25 tahun itu menangisi nasib sang ayah. "Kalian tidak bisa menangkapku, surat penangkapan dan surat tugas penangkapan kalian tidak ada," ujar Ikhsan tegas. Polisi senior yang juga memiliki posisi kokoh di kepolisian itu berang terhadap beberapa polisi yang datang kerumahnya dengan niat membawanya pergi. "Ini surat penangkapan dan surat tugas penangkapannya, Pak." Ujar seorang salah satu polisi. Ikhsan membulatkan matanya. "Apa!" ♡♡♡ "Apa maksudmu!?" Cika bangun serentak dari tempat tidurnya. Jam sembilan malam, dia ingin istirahat lebih awal karena lelah melaksanakan tugasnya. "Om Ikshan resmi ditahan maghrib tadi?" Tak Tak Tak Ceklek Cika keluar dari kamarnya, gadis itu berjalan menuju kamar sang ayah. Hendak mengetuk pintu kamar ayahnya, namun Jamaludin lebih dulu yang membuka pintu kamarnya. Ceklek "Pa...," Jamaludin mengangguk mengerti. "Suruh Agil datang ke sini sekarang juga, ini mendesak!" pinta Jamaludin tegas. Cika mengangguk mengerti. "Adam, aku tutup teleponnya, aku harus hubungi Agil, Assalamualaikum," Klik Bahkan belum terdengar balasan dari seberang. ♡♡♡ "Wa alaikum...salam...ck! Dimatikan," dongkol Adam. Pemuda 30 tahun itu menjambak rambutnya frustasi. "Kenapa bisa begini?" "Pak Ikhsan yang kelihatan baik dan perhatian itu sekarang ditahan," lanjutnya. "Ini masalah yang rumit," Adam mondar-mandir tak jelas di kamarnya. "Ini tidak baik. Ya, tidak baik." Ujar Adam. "Aku harus lakukan sesuatu." ♡♡♡ "Apa yang terjadi sebenarnya, Om?" Agil bertanya ke arah Jamaludin. Mereka sedang duduk di ruang kerja Jamaludin. "Seseorang telah bertindak lebih dulu dari kita, kasus kematian ayahmu telah dibuka ulang, dan itu sebelum Ikshan membuka ulang kasus itu," ujar Jamaludin. Agil membulatkan matanya. "Secepat ini? Padahal baru kemarin aku dari rumah om Ikshan," ujar Agil. "Siapa yang membuka ulang kasus ini?" tanya Agil. "Christian Hindanata," jawab Cika. "Apa?!" Agil membulatkan matanya. "Tapi...tapi...atas dasar apa om Ikhsan ditahan?" tanya Agil syok. "Atas dasar dugaan penculikan dan pembunuhan yang terjadi lima tahun lalu pada keluargamu," ujar Cika. "Apa?!" Agil lebih syok lagi mendengar itu. Ia pagi tadi ke Bogor untuk menyelidiki kasusnya, malamnya ia pulang ke apartemennya, namun Cika menghibunginya agar ke rumah gadis itu. ♡♡♡ "Ikshan Hadi Kusuma resmi ditahan oleh kepolisian maghrib tadi atas dasar dugaan penculikan dan pembunuhan orang tua Agil lima tahun lalu?!" Randra baru saja mendengar kabar dari anak buahnya. Pemuda itu menoleh ke arah kirinya. Kelopak mata gadis itu bergerak karena mendengar suara-suara dari orang di sekelilingnya. "Kau kembali ke Jakarta, cari tahu mengenai Christian itu dan juga yang bernama Ikhsan," pinta Randra datar. "Baik, tuan," Tak Tak Tak Anak buah tadi berjalan menjauh dari ruang rawat itu. Sepeninggal anak buah Randra tadi, pemuda itu melangkah mendekat ke arah sang kekasihnya yang baru saja membuka matanya. "R-ran...," panggil suara serak nan lemah itu. "Ini aku...aku disini Moti," sahut Randra sambil memegang jemari Moti. "Eh...mm...," ringisan kesakitan Moti. "Maaf, aku...aku tidak sadar," ujar Randra. Pemuda itu melepaskan genggamannya dari jemari Moti. Ruas-ruas tulang jari gadis 23 tahun itu masih terasa ngilu. Moti berusaha tersenyum ke arah Randra. "R-ran...," terdengar suara serak itu lagi. "Aku disini...," sahut Randra, pemuda itu mendekat ke arah Moti. Moti memandangi wajah yang selama lima tahun ini hanya muncul dalam memori ingatan dan mimpinya tanpa gadis itu bisa membedakan yang nyata dan yang tidak. "H-haus...," ujar Moti. Sret Randra menoleh lalu menggapai cepat gelas air yang berada di nakas. "Biar aku minumkan padamu," ujar Randra. Randra meletakan sedotan putih ke dalam gelas itu, lalu ia dekatkan ke arah bibir gadis itu. Bibir gadis itu bergerak terbuka menerima sedotan itu. Sruuk "Ah! Uhuk! Uhuk!" Moti tersedak. "Sayang!" panik Randra. Randra menjauhkan gelas itu dari Moti, lalu jemari Randra dengan cepat menyeka air yang tumpah akibat Moti tersedak tadi. "Kalau tidak bisa dengan sedotan, aku akan menggunakan sendok saja untukmu,"ujar Randra. Ia lalu mengambil sendok di nakas itu dan kembali menuangkan sesendok air itu ke dalam mulut Moti. Cukup lama Randra melakukan aktivitas itu, dia harus belajar ekstra sabar dalam merawat dan menjaga sang kekasihnya. Moti mengatupkan kedua bibirnya lalu berusaha menggeleng meskipun lehernya masih terasa ngilu. "Jangan banyak bergerak, Moti." Ujar Randra. Moti mengarahkan pandangannya kepada sang kekasih. "B-bunda...d-dan...ay--," "Tidurlah, kau harus banyak istirahat agar cepat sembuh," sebelum kalimat Moti diutarakan sempurna, pemuda 25 tahun itu cepat-cepat menyela. "Tap--," "Sstt," Randra menutup kedua bibir Moti dengan jari telunjuknya. "Jangan terlalu banyak bicara, istirahat, mengerti?" Randra terpaksa mengeluarkan nada dan suara ancaman yang sudah lama tidak ia keluarkan pada sang kekasih. Moti cepat-cepat menutup matanya sambil mengangguk. "Huuuuh...," hembusan napas Randra. "Tidak pernah berubah," gumam pemuda itu. ♡♡♡ Tiga hari telah berlalu, Ikhsan dituduh atas dugaan penculikan dan pembunuhan keluarga temannya sendiri. "Tidak ada bukti!" amuk Ikhsan. "Kenapa kau menangkapku?" Ikhsan berseru tak senang ke arah Christian. Christian dengan gaya pongahnya berpura-pura prihatin dan menyesal. "Aku tidak menyangka kau melakukan perbuatan sekeji ini, Ikhsan." Tutur Christian. Ikhsan menarik napas marah. "Chris, aku tidak pernah melakukan perbuatan biadab itu, kau tahu betul aku." Tekan Ikhsan. Christian mengangguk. "Tapi aku bisa apa? Bukti-buktinya mengarah padamu," ujar Christian prihatin. "Apa!?" Ikhsan membulatkan matanya. "Pasti ada kesalahan!" "Aku tidak pernah menculik keluarga temanku sendiri, bahkan aku tidak pernah membunuh temanku sendiri!" seru Ikhsan tak terima. Christian hanya diam, dalam hatinya ia menjerit senang. "Berteriak dan marah saja sesukamu, aku tidak peduli sepanjang ini untuk kebaikanku." Batin Christian. ♡♡♡ "Maksudmu pelaku yang menculik aku, tante Nulan, Momok, Gea dan Gilan sudah tertangkap?" Cika membulatkan matanya. Agil mengangguk. "Dimana pelaku itu?" tanya Cika mendesak. "Di ruang tahanan pusat, ada seorang lelaki yang berhasil om Christian tangkap dengan anak buahnya," jawab Agil. "Apa?! Om Christian yang menangkap pelakunya?" Cika syok. "Aku korban sekaligus saksi atas penculikan itu, jadi aku tahu wajah-wajah mereka," ujar Cika tegas. Agil mengangguk mengerti. "Kita akan meminta keteranganmu, namun aku tidak bisa lagi ikut campur dalam kasus ini," ujar Agil menahan amarahnya. Cika mengerutkan keningnya, lalu sesaat dia mengerti. "Kau keluarga langsung dari korban, akan membawa perasaan dan dendam bagi pelaku, jadi...," "Om Christian yang mengambil alih kasus ini," sambung Agil. Cika mengangguk. "Aku agak bingung dengan ini semua, kita mencurigai om Christian, tapi ternyata dugaan dan curiga kita meleset jauh," ujar Cika. Agil mengangguk membenarkan. Pemuda itu memijit-mijit dahinya. "Om Ikhsan sedang dalam masa-masa susah, bukti ditemukan lagi," ujar Agil. "Apa?!" Cika membulatkan matanya. "Ini semua mengarah pada om Ikhsan, dan akan memberatkannya," lanjut Agil. ♡♡♡ "Ikhsan Hadi Kusuma tersangka penculikan dan pembunuhan adikku?" Jamaludin berdiri dari kursi kebesarannya. "Dan ada bukti, serta pelaku penculikan keponakan dan adik iparku yang telah tertangkap kemarin?" "Dan Christian Hindanata yang menangkapnya." Jamaludin terlihat berpikir. "Cika harus ke kantor polisi untuk mengklarifikasi bahwa pelaku yang menculik keluarga adikku itu benar orangnya atau tidak," ujar Jamaludin. ♡♡♡ Ke-esokan paginya, Cika dikawal beberapa polisi mengarah ke arah ruang interogasi, disana ada pelaku yang diduga penculikan dirinya dan keluarga pamannya. Sementara itu, Gea dan Gilan dalam perjalanan. Gea dari Bogor langsung terbang menggunakan pesawat TNI, Jamaludin yang mengurusnya sedangkan Gilan dari rumah sakit Febrian sedang dalam perjalanan ke kantor polisi ditemani dengan tim medis dan pengawal-pengawalnya. Tak Tak Tak Dug dug dug Jantung gadis 25 tahun itu berdetak tak karuan, ia mengepalkan kedua tangannya. "Apa benar pelaku itu telah ditangkap?" batin Cika bertanya. "Jika benar, habislah kalian para pengkhianat." batin gadis itu murka. Tak Tak Cika berhenti ketika Christian berpapasan dengannya. Christian pura-pura menghembuskan napas prihatin. "Aku tahu ini akan berat bagimu, namun kau harus melihat sendiri pelakunya, pelaku yang menculikmu dan keluarga teman baikku itu," ujar Christian. Cika terlihat mengangguk tegas. Pandangan gadis 25 tahun itu melirik ke belakang Christian, dapat gadis itu lihat ada seorang lelaki yang sedang diborgol di dalam ruangan interogasi itu. Kaca itu hitam namun dapat menembus lihat ke dalam, posisi lelaki yang sedang terborgol itu menyamping sehingga Cika tak leluasa melihat rupa dari sang pelaku yang katanya penculiknya itu lima tahun lalu. Gadis itu terlihat menarik napas lalu menghembuskannya. "Ssshhh...huuuuhh...," Tak Tak Tak Tiga langkah gadis itu melangkah maju, tinggal selangkah lagi dia akan masuk ke dalam ruang itu. Ceklek Seorang polisi muda membuka pintu ruang interogsi itu. Agil terlihat tak jauh dengan posisi Cika. Jantung pemuda itu berdetak tak karuan. Cika melirik ke arah Agil, Agil memberi isyarat agar sepupunya masuk ke ruang introgasi itu. Tak Tak Dua langkah gadis itu memasuki ruang introgasi itu. "Hadapkan wajahnya ke arah sini," ujar Christian tegas Sret Seorang polisi menghadapkan bangku yang diduduki pria yang diduga pelaku penculikan itu. Pum "Hak!" Cika berjinggat kaget. Jantungnya bagai dihantam palu ketika melihat sang pria yang dengan tega menyayat nadi-nadi saudara-saudaranya. Sret "Nona," Cika tak mampu berdiri, kakinya lemas, matanya melotot lebar ke arah pria itu. Seorang polisi wanita terlihat membatu menopang tubuh Cika agar tak terjatuh. Tak Tak Tak Seseorang masuk ke dalam ruang introgasi itu. Bruk "Gea!" Tak Tak Tak Agil menyeru khawatir ke arah adik bungsunya. Tubuh Gea gemetaran hebat. "K-kau...kau...kau...kau yang menyayat nadi kakakku...aaaaaa! Tidak! Tidak! Jauhkan dia dariku! Aaa!" Gea histeris. Gadis itu berontak hebat. Sret Hap "Gea!" Agil memeluk tubuh sang adik bungsu. "Kakak! Kakak! Dia! Dia! Dia menyayat tangan dan kaki kak Gilan!" Gea histeris di depan ruang introgasi itu. "Aaaaa! Dia! Dia juga menyayat nadiku! " Gea berontak, tubuhnya gemetaran hebat. Ingatan lima tahun lalu tergiang lagi di ingatannya. "Dia! Kakak! Bunda! Ayah! Ayah! Bunda! Bunda! Gilan takut!" Agil membalikan pandangannya cepat ke arah datangnya suara itu. Matanya membulat sempurna. "Gilan!" ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD