Bab.4 Sahabat Dan Calon Ipar

2130 Words
Suara dentuman musik menyentak keras. Seperti biasanya, Mirror selalu dibanjiri pengunjung. Aroma alkohol dan asap rokok yang menguar pekat semakin membuat ruangan terasa pengap. Waktu hampir menyentuh pukul sebelas, Aksa tampak melangkah gontai menaiki tangga menuju lantai dua Mirror. Bukan hanya matanya yang sudah terasa berat, tapi badannya juga luar biasa penat. Kalau bukan karena mereka, seharusnya sekarang dia sudah bisa tidur nyenyak di rumah. "Xena …" Kaki Aksa sempat berhenti di ujung tangga saat matanya menangkap sosok Xena di depan sana. Wanita tomboy berwajah ganteng dengan tangan dipenuhi tato itu urung membuka pintu salah satu ruang VIP. Dia berdiri menyandar dinding menunggu Aksa mendekat. "Bukannya tadi kamu bilang mau langsung pulang?" tanya Xena setengah heran. "Pulang juga percuma, mereka pasti akan datang dan menyeretku kesini." sahutk Aksa. "Masuk saja, mereka di ruang sebelah!" ucap Xena sambil mengedikkan dagunya ke ruang sebelahnya. "Terus kenapa kamu di sini?" "Aku mau lihat Sifa sebentar, takut dia sudah tumbang di dalam." "Sifa?!" ulang Aksa seolah takut telinganya salah dengar. "Hm, Dokter Sifa. Aku yang mengajaknya kesini, terus kebetulan tadi dia bertemu teman kuliahnya dulu." jelas Xena. Aksa terdiam, bingung mau lanjut masuk atau kembali ke bawah dan pulang. Tapi mana mungkin, sedangkan Xena sudah terlanjur melihatnya di sini. Tanpa sadar dia menghela nafas kasar, kenapa jadi kikuk begini. "Kok kalian tidak bilang dia juga datang?" "Kenapa juga kami harus laporan?! Punya salah apa kamu sama Sifa sampai harus takut bertemu dia?" sindir Xena ketus. "Ck, bukan takut Xen." Aksa mendecak keras. "Lalu?" Selain menggeleng pelan Aksa sudah tidak punya pilihan lain untuk menjawab Xena yang menatapnya curiga. Bukannya takut, tapi canggung. Apalagi setelah pertemuan terakhir mereka di lobi apartemen waktu itu, Sifa benar-benar menghindar darinya. "Sifa gampang mabuk. Jangan biarkan dia minum terlalu banyak," ucap Aksa ke Xena. "Kenapa kamu tidak bilang sendiri saja ke orangnya?!" sahutnya ketus sebelum membuka pintu di sampingnya. Aksa melangkah ke pintu sebelah setelah Xena masuk menyusul Sifa ke dalam. Meski merasa bersalah, tapi sudah seharusnya dia memintanya berhenti berharap. Sifa terlalu baik dan sempurna untuk pria b******k seperti dirinya. "Eh, ada Om Duda!" Sambutan yang menyebalkan, sapaan Johan disahut dengan gelak yang lainnya. Sambil menguap menahan kantuk Aksa duduk malas di samping Ibra, setidaknya di sini tidak sebising di luar sana. "Niat banget kamu cari duit, sampai jam segini baru selesai lembur?" ucap Bian si tukang nyinyir satu itu. "Kalau hari ini urusan kerjaku belum kelar, besok aku tidak bisa menemani Cello di rumah." jawab Aksa. Terakhir mereka nongkrong bareng sekitar dua bulan yang lalu, saat menghadiri pembukaan resort milik keluarga Ibra di Bali. Disana juga Aksa kembali menolak perasaan Sifa dan memintanya untuk tidak berharap lebih. Diam-diam Aksa meringis. Itu berarti dia dan Sifa juga sudah dua bulan lamanya sama sekali tidak bertemu dan putus kontak. Tidak, lebih tepatnya Sifa yang sengaja menjauh darinya. Aksa sebenarnya pernah beberapa kali mengirim pesan sekedar menanyakan kabar, tapi chatnya hanya dibaca tanpa dibalas oleh Sifa. "Tumben kamu sama Bian datang? Biasanya ngeles terus kalau disuruh keluar." Aksa menoleh ke menatap Ibra, sedikit heran karena tak biasanya mereka berdua keluar kandang. "Freya lagi hamil, mana mungkin aku tinggal keluyuran." ucapnya sambil menyodorkan segelas minuman. Aksa menerimanya, tapi hanya menegak setengahnya. Jangan sampai dia kebablasan mabuk, karena besok pagi harus menjemput anaknya di rumah bundanya. "Alasan, bilang saja takut istri. Sama kayak dia, jago nyinyir tapi melempem di depan istri." sahut Johan melirik remeh Bian yang duduk di sampingnya. "Sialan! Kamu tahu sendiri adikmu galaknya amit-amit, apalagi pas hamil begini. Tanya saja Ibra, Freya sejak hamil juga judesnya tidak ketulungan." umpat Bian kesal. "Kalau Ibra bukan takut istri, tapi penyakit bucinnya yang sudah kelewat akut." balas Raka. Aksa tertawa terkekeh, tapi memang iya kalau soal bucin Ibra juaranya. Diantara teman-temannya disini, dia itu selalu menjadi yang paling. Paling pendiam, bengis, gila, bucin, tapi juga yang paling bisa bersikap dewasa dan bisa diandalkan. "Makanya cari istri lagi Sa, jangan anak terus yang kamu keloni. Biar tahu bagaimana ribetnya punya istri lagi hamil," sindir Raka. "Mau punya istri selusin juga percuma, telurnya Aksa kan sudah tidak bisa menetas." sahut Bian yang disusul tawa pecah mereka. Aksa hanya geleng kepala tidak mau ambil pusing, toh dia juga sudah terbiasa dengan mulut-mulut laknat mereka. Dunia pasti kiamat kalau sampai Bian insaf tidak lagi hobi menistakan orang. "Satria mana?" tanya Aksa saat tidak mendapati keberadaan pria tengil satu itu. "Turun cari yang anget anget," jawab Raka sambil menunjuk ke bawah. Aksa beranjak bangun menuju kaca besar di samping pintu dan mengikuti arah telunjuk Raka ke lantai bawah. Benar saja, buaya burik yang dicarinya itu sedang duduk di kursi tinggi depan meja bartender bersama seorang wanita menggelayut memeluk lehernya. Raka tertawa terkekeh begitu melihat Aksa mengambil beberapa foto dan video, lalu sengaja mengirim ke adiknya. "Sadis kamu, Sa." tegur Raka. "Kamu tidak akan ngomong begitu, kalau Rena itu adik perempuanmu." sahut Aksa kesal. "Satria kan cuma main-main." "Justru karena aku tahu dia suka main-main, makanya aku takut adikku akan terluka lagi." balas Aksa setelah meneguk habis sisa minuman di gelasnya. Sedangkan Ibra masih bungkam tanpa berniat membela adik iparnya. "Kalau kamu belum memberi lampu hijau, Rena mana mungkin mau menerima Satria. Kasihan keponakanmu sudah terlanjur menganggap Satria papanya. Masa iya kamu tega mau mencoretnya dari daftar calon adik ipar?" ucap Bian. "Terus menurut kalian aku harus bagaimana? Mana bisa aku tenang membiarkan Satria semakin dekat dengan adikku, sedangkan kelakuannya di luar masih saja seperti itu." "Seburuk apapun masa lalu Rena, setidaknya dia sudah berubah. Aku tidak berharap banyak, hanya ingin adikku mendapat pria yang bisa membahagiakan dia dan menjadi ayah yang baik untuk keponakanku." lanjut Aksa. Sejak pulang dari Bali hubungan Satria dan Rena yang semakin dekat memang membuat Aksa dilema. Seburuk apapun masa lalu adiknya, dia berharap Rena bisa mendapat pria yang tepat untuk jadi pasangan hidupnya. Ibra menoleh menatap Aksa setelah menuang minuman di gelas kosong mereka. "Sebenarnya mertuaku pernah menanyakan soal hubungan Satria dan Rena. Mereka sama sekali tidak keberatan kalau Satria memang ingin menikahi adikmu, tapi sepertinya dia sendiri yang mempersulit jalannya." ungkap Ibra sambil menggoyang goyang gelas minuman di tangannya. Jonathan Lin adalah ayah angkat Satria, sekaligus mertua Ibra. Cello memanggilnya Kakek Lin. Orang kaya yang hartanya tidak akan habis tujuh turunan, tapi hebatnya bisa tetap begitu sederhana dan rendah hati. "Aku bukannya mau ikut campur kehidupan Rena. Kalaupun dia memang memutuskan untuk bersama Satria, aku juga tidak akan menghalangi. Yang penting sebagai kakaknya, aku sudah berusaha mengingatkan dia supaya tidak gegabah mengambil langkah dan akhirnya terluka lagi." Baru juga Aksa selesai bicara, pintu dibuka dari luar kemudian dibanting kasar. Mereka semua menoleh dan mendapati Satria yang masuk dengan wajah masamnya, apalagi saat melihat keberadaan Aksa disana. "Kamu kan Bang yang barusan mengirimi foto dan video ke Rena?" tuduhnya tanpa basa basi lagi. Wajahnya semakin keruh saat melihat Aksa mengangguk. "Iya, kenapa memangnya?" jawab Aksa kalem. "Ck gara gara Bang Aksa, Rena jadi marah." dengus Satria kesal bukan main. "Baguslah," sahut Aksa asal. "Bang!" "Bukan begitu caranya kalau kamu memang serius sama Rena, Sat. Bagaimana aku bisa tenang menyerahkan adik dan keponakanku, kalau kelakuanmu masih seperti ini." ucap Aksa sambil menatapnya serius. Satria menghempaskan tubuhnya di sofa samping Bian. Tangannya terus sibuk mengotak-atik ponsel masih berusaha menghubungi Rena yang marah. "Kalau kamu masih ingin menikmati kehidupan bebasmu, mulai sekarang menjauh lah dari Rena dan anaknya. Aku tidak akan tinggal diam kalau kamu sampai berani menyakiti adikku!" tegas Aksa. Satria yang mendengar itu sontak menegakkan punggungnya dengan raut serius. "Aku tidak sebajingan itu Bang. Mana mungkin aku membiarkan Naya memanggilku papa, kalau tidak sungguh-sungguh ingin menikahi mamanya." "Apa kamu tidak malu kalau nanti dicibir punya istri yang dulu pernah jadi perusak rumah tangga orang? Bahkan sampai punya anak di luar nikah?" tanya Aksa. "Tidak, kenapa aku harus malu. Toh mereka yang mencibir belum tentu hidupnya lebih baik dari Rena." Aksa terdiam, sedikit lega melihat kesungguhan di wajah Satria. Sebenarnya dia pria yang baik dan Aksa akui sejauh ini Satria juga benar-benar tulus memperlakukan Naya keponakannya. Satu-satunya hal yang membuat Aksa ragu untuk membiarkannya melangkah lebih jauh dengan Rena adalah kebiasaannya yang suka main perempuan. "Kamu siap punya mertua Risti Pradipta? Tidak perlu aku jelaskan satu persatu, kamu pasti sudah tahu bagaimana perangainya." tanya Aksa lagi. "Tahu," jawab Satria mengangguk. "Minggu depan dia akan bebas. Meski Rena selalu bilang dia sudah banyak berubah selama dipenjara, tapi tidak ada yang bisa menjamin mamaku akan berhenti berulah lagi." jelas Aksa jujur. "Sebagai teman aku ingin mengingatkan kamu, Sat. Jangan racuni hidupmu dengan memaksa masuk ke kehidupan bobrok keluarga kami!" sambung Aksa lagi. Tidak ada yang bersuara. Mereka para sahabatnya lebih dari tahu betapa busuknya cerita hidup keluarga Pradipta. Beruntung Cello menyandang nama belakang Nugroho, ayah sambungnya. Jadi anaknya itu tidak ikut ketiban sial harus hidup dengan menanggung aib keluarganya . "Biar bagaimanapun dia tetap ibumu, Sa. Beri dia kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Kalau Sasha dan Tante Ambar saja bisa berlapang hati memaafkan orang tuamu, kenapa kamu tidak?" ucap Ibra. "Apa dengan memaafkannya akan bisa mengembalikan apa yang sudah hilang dari hidupku? Kamu tahu apa yang aku takutkan sekarang, Ib? Aku takut kehadirannya akan membuatku kehilangan Cello lagi." ungkap Aksa dengan hatinya yang berdenyut sakit. "Jangan terlalu berprasangka buruk dulu. Sejahat-jahatnya mamamu, dia tetap nenek kandungnya Cello." ucap Bian. "Nenek kandung?!" Aksa tertawa miris. Mereka tidak pernah merasakan berada di posisinya, wajar kalau tidak paham kenapa dirinya sulit memaafkan dan menerima kembali kehadiran mamanya. "Nenek yang pernah mendatangi Sasha di rumah sakit dan menyodorkan cek sebagai ganti harga nyawa cucunya. Nenek yang sudah menyumpahi calon cucu sialannya supaya mati di perut ibunya." beber Aksa gamblang. "Atau nenek yang dulu justru memaksa anaknya menikahi wanita lain dan membiarkan cucunya terpaksa lahir tanpa ayah. Itu definisi nenek kandung untuk mamaku. Luar biasa sekali kan?!" lanjut Aksa lagi. Suaranya yang berapi api sarat dengan amarah dan sakit hatinya pada mamanya. "Tapi sekarang mamamu tidak punya alasan lagi untuk menyingkirkan Cello," sela Johan. "Iya, mamaku memang tidak punya alasan lagi menyingkirkan Cello. Tapi keberadaannya di antara kami bisa saja akan membuat Cello menjauh dariku." Aksa mendesah lelah. Meski enggan memikirkan soal itu, tapi mau tidak mau dia tetap akan dihadapkan dengan mamanya. Sebenci apapun dia pada wanita yang telah melahirkannya itu, tidak mungkin Aksa tega menelantarkannya. "Dulu Cello pernah shock karena melihat mamaku berteriak memaki dan memukul bundanya sampai terluka. Kalian sendiri pernah melihat videonya kan?" Tak ada yang menyahut, tapi mereka mengangguk pelan. "Jangankan berusaha membuat mereka dekat, baru bertemu mamaku saja Cello pasti akan langsung ketakutan." "Lalu setelah ini apa rencanamu?" tanya Ibra. "Pindah mungkin, biar dia tinggal bersama Rena di rumahku yang sekarang. Akan lebih baik kalau aku kembali ke apartemenku yang dulu." jawab Aksa. "Kalau kamu sendiri tidak yakin apakah mama kalian sudah berubah, kenapa malah mau meninggalkan Rena dan Naya serumah dengannya. Memangnya kamu tidak khawatir mereka kenapa-napa?!" Aksa tertawa pelan melihat Satria yang menggerutu sambil menatapnya kesal. Sepertinya dia harus mencari waktu untuk bicara lagi dengannya.. "Sebelum mengkhawatirkan Rena dan Naya, lebih baik kamu urus dulu kucing-kucing peliharaanmu. Awas kalau sampai nanti ada dari mereka yang sengaja membuat masalah dengan Rena gara-gara kamu!" ucap Aksa memperingatkan Satria.. "Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak punya kucing." bantahnya sewot. "Dia punya kucing kan, Ib?" "Banyak, di kantor juga ada satu." jawab Ibra kalem, tapi membuat Satria mengumpat kesal. "Sialan! Diam kamu! Lain kali jangan minta tolong aku lagi kalau Freya ngidam yang aneh aneh." "Freya memangnya ngidam apa?" Bukannya menjawab, Satria malah menatap sengit Ibra yang cengengesan. "Itu tuyul dua benar benar titisan bapaknya. Belum juga lahir sudah mulai menyebalkan." ucap Satria mulai menggerundel. "Makanya jangan suka kurang ajar sama kakak ipar, kualat kan?!" sahut Ibra tertawa terkekeh. "Heran! Kamu yang enak enak bikin anak, tapi giliran ngidam selalu aku yang disusahkan." "Yang ikhlas, mereka kan juga calon keponakanmu." "Bagaimana mau ikhlas kalau istrimu suka bikin aku malu!" ucap Satria geram. "Memangnya kamu masih punya malu?!" cibir Ibra. "Ngajak gelut ini orang!" Aksa tersenyum geli, mana ada ceritanya Ibra bisa akur sama iparnya. Cuma hebatnya meski tidak pernah bisa akur, tapi mereka berdua bisa memimpin perusahaan raksasa seperti LinZone. Teman-temannya memang kadang menyebalkan, tapi Aksa merasa beruntung punya teman seperti mereka. Kalau saja tidak ada Ibra dan yang lainnya, permasalahan pelik keluarganya dulu mungkin juga tidak akan pernah selesai sampai sekarang. Perdebatan mereka seketika terhenti saat pintu dibuka dengan kasar dari luar. Aksa bergegas menghampiri Xena yang sedikit kewalahan memapah Sifa. Entah minum berapa banyak dia sampai terlihat sempoyongan begitu. "Kan tadi sudah aku bilang dia gampang mabuk, kenapa masih kamu biarkan dia minum sampai teler begini?" ucap Aksa sambil membantu memapah Sifa. "Telat, tadi waktu aku masuk dia sudah tumbang." sahut Xena Begitu mendengar suara Aksa mata Sifa yang tadinya sudah setengah terpejam perlahan membuka. Dia menatap tak suka dan berusaha mendorong Aksa menjauh. "Minggir! Aku tidak butuh bantuanmu!" ucapnya ketus dengan mata berkilat marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD