Bab.3 Tegar, Meski Terluka.

2102 Words
"Pantau terus kondisinya, kalau setelah diberi obat tensi darahnya tetap tidak turun segera hubungi saya!" ucap Dokter Sifa ke seorang dokter jaga dan perawat yang mengikutinya keluar dari ruang ICU. "Baik Dok," Sifa mengangguk, lalu melangkah pergi menyusuri koridor untuk kembali ke ruang kerjanya. Setelah ditinggal libur selama tiga hari, dia benar-benar kelimpungan dengan pekerjaannya yang menumpuk. Bukan cuma urusan pasien, tapi juga tanggungannya sebagai pimpinan rumah sakit. Untuk pertama kalinya dia merasa begitu bersyukur dengan begitu banyak pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya itu. Semakin sibuk, Sifa tidak punya waktu lagi untuk memikirkan sakit hatinya. Lagipula dia sudah biasa terluka, ditambah patah hati juga tidak akan membuatnya tumbang. Begitu masuk ke dalam lift, Sifa tersenyum pada pantulan dirinya di cermin depannya. Topengnya masih terpasang sempurna, sehingga tidak akan ada yang melihat betapa menyedihkan hidup seorang Sifa Haidar sebenarnya. Apalah arti luka kecil di keningnya, sedang hatinya saja sudah hampir mati rasa karena terlalu banyaknya luka. Sifa hanya perlu menunggu saat dimana kesabarannya sudah sampai pada batasnya, sehingga dia tidak perlu lagi berpura-pura tersenyum dan baik-baik saja. Begitu sampai di lantai dua belas, Sifa bergegas menuju ruang kerjanya. Masih ada setumpuk berkas penting yang menunggunya untuk segera diselesaikan hari ini. "Tadi dicari Dokter Iqbal, Bu. Beliau berpesan minta Ibu datang ke ruangannya," ucap asisten Sifa begitu melihat atasannya sudah kembali. Sifa hanya mengangguk sambil melanjutkan langkahnya masuk ke ruang kerjanya. Dia sangat tahu kenapa papanya mencarinya. Mana mungkin Sifa sebodoh itu datang ke ruangnya untuk sekedar bertengkar dan dibuat sakit hati lagi. Dengan secangkir kopi yang baru dituangnya, Sifa menduduki kursi kerjanya dan menatap malas tumpukan berkas di hadapannya. Mencoba menghitung kira-kira sampai jam berapa dia nanti malam harus rela duduk sendirian di sini. Kemarin bahkan Xena terpaksa menemaninya makan malam di sini, karena pekerjaannya tidak selesai meski sudah dikebut seharian. "Sebenarnya dimana kamu taruh rasa hormatmu, bahkan sekedar mengangkat telepon dan membalas pesan dari Papa saja kamu tidak sudi!" Iqbal Haidar tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu dan langsung menggerutu dengan raut kesalnya. Sifa mendengus. Papanya ingin dihormati, tapi dia sendiri juga lupa bagaimana cara menghormati orang lain. "Papa amnesia atau pura-pura lupa? Apa luka di keningku sudah cukup mengingatkan kelakuan Papa tempo hari?" balas Sifat telak membungkam mulut pedas papanya. Iqbal duduk di kursi depan anaknya. Tapi daripada sekedar melirik luka di kening anaknya, mata Iqbal lebih tertarik menatap papan nama di atas meja depannya. Harusnya nama dia lah yang tertera di sana, lengkap dengan embel-embel direktur utama di bawahnya. "Ada apa mencariku?" tanya Sifa malas. "Maaf atas kejadian di rumah waktu itu, Papa benar-benar tidak sengaja melukaimu." "Kalau ada orang yang melempar cangkir ke kening Papa, lalu setelahnya meminta maaf dan bilang tidak sengaja. Apakah akan Papa maafkan begitu saja?" Lagi-lagi balasan menohok dari Sifa membuat Iqbal tidak berkutik. Sifa tersenyum miris, bahkan tidak terlihat sedikitpun rasa bersalah di wajah papanya. Kalau bukan karena punya maksud lain, dia yakin laki-laki ini tidak akan sudi minta maaf. "Bagaimana dengan permintaan Papa yang kemarin? Apa sudah kamu pertimbangkan lagi tentang posisi manajer keuangan untuk diduduki Yasmine?" Sifa menghela nafas kasar, luka di keningnya tiba-tiba berdenyut sakit. Demi Yasmine yang hanya anak tirinya, papanya sudah menutup mata dan hatinya pada darah dagingnya sendiri. Luka dan kesakitannya sama sekali tidak dianggap olehnya. "Jawabanku masih sama dan sampai kapanpun akan tetap sama, TIDAK. Aku tidak akan pernah membiarkan anak kesayangan Papa itu mendapatkan apa yang dia inginkan dari keluarga Haidar." tegas Sifa. "Hanya posisi manajer keuangan, kenapa kamu bersikeras menolak? Sedangkan kursi yang kamu duduki itu saja seharusnya juga punya Papa," ungkit Iqbal dengan tatapan kecewanya. "Hanya? Papa tidak akan ngotot minta jabatan itu untuk Yasmine kalau memang sekedar hanya. Jangan kira aku bodoh hingga tidak paham kenapa kalian mengincar posisi itu?" balas Sifa sinis. Wajah Iqbal memerah. Ucapan anaknya barusan seakan membuatnya seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Iya, seharusnya dia ingat kalau Sifa sudah cukup digembleng oleh kakeknya, untuk bisa mengambil alih kursi yang didudukinya sekarang. "Berhentilah membuat ulah Pa! Yasmine atau siapapun itu tidak akan bisa menjegal langkahku. Meski nyawa taruhannya, aku tidak akan membiarkan orang lain mengambil apa yang sudah kakek percayakan padaku. Termasuk Papa sekalipun," tegas Sifa pada papanya. "Jangan serakah kamu!" bentak Iqbal marah. Anaknya sudah berani terang-terangan menantangnya. "Itu yang seharusnya aku katakan pada Papa dan perempuan murahan itu. Kalian jangan serakah! Aku sudah berbaik hati membiarkan dia menikmati hasil rampasannya. Kalau masih tidak tahu diri juga, maka aku pastikan nasibnya akan lebih menyedihkan dari apa yang mama rasakan!" "Anak sialan!" Iqbal berteriak marah dan menghempas tumpukkan berkas di atas meja depannya, sedangkan Sifa masih diam menatap datar papanya yang berdiri menudingnya. Salah kalau papanya pikir dia tidak tahu apa yang di otak liciknya itu. "Kamu sama saja dengan kakekmu yang gila itu! Aku sudah bersabar menuruti semua keinginannya, tapi lihat apa yang kudapat?! Sejak dulu di matanya hanya ada anak laki-lakinya yang sudah mati itu dan kamu cucunya yang sama sialannya dengan dia!" Tangan Sifa mengepal kuat, matanya memburam panas. Jangan tanya bagaimana sakit hatinya sekarang. Dia benar-benar gemetar menahan supaya tidak berteriak membalas ucapan jahat papanya. "Kehadiranmu hanya pembawa sial. Harusnya kamu dan mamamu berterima kasih padaku, bukannya malah merampas warisan yang seharusnya menjadi hakku! Kalau saja dia tidak mati, aku juga tidak akan …" "Cukup!" bentak seseorang yang baru saja datang bersama Rendra itu menghentikan makian Iqbal ke anaknya. Iqbal berbalik, wajahnya seketika pucat pasi saat tahu siapa pria tua yang melangkah mendekat dengan wajah murkanya itu. "Pa …" panggil Iqbal langsung dibalas dengan tamparan keras di wajahnya. Wajah Fahri Haidar merah padam menatap anaknya, sedangkan Rendra menggeleng pelan melihat kekacauan di ruang kerja Sifa. Berkas-berkas itu tampak berserakan di lantai, hatinya mencelos mendapati Sifa yang duduk terdiam dengan wajah kaku dan berderaian air mata. "Jaga mulut busukmu, kalau tidak ingin aku coret namamu dari keluarga Haidar!" bentak Fahri Haidar penuh peringatan. "Sampai kapan Papa mau membungkamku? Apa belum cukup aku mengalah dan berkorban selama ini?!" "Iqbal!" "Setelah aku menuruti semua keinginan Papa, justru balasan seperti ini yang aku dapat. Percuma aku diam, sekarang anak sialan ini bahkan semakin kurang ajar dan keterlaluan padaku!" Lagi-lagi Fahri Haidar menampar keras anaknya yang berteriak memaki di hadapannya. Sifa masih saja bungkam, tidak ada yang mengejutkan karena dia sudah biasa disuguhi hal seperti ini. "Sekali lagi aku peringatkan jaga baik-baik mulutmu! Berani kamu menyakiti cucuku lagi, aku pastikan nasib kalian akan berakhir jadi gelandangan di pinggir jalan!" Iqbal diam tidak berani membantah lagi. Dia menoleh menatap Sifa dengan sorot mata marahnya, sebelum kemudian beranjak pergi begitu saja. Namun saat hendak membuka pintu, Fahri Haidar kembali bersuara. "Satu lagi, jangan coba-coba membawa anak tiri sialanmu itu ke rumah sakitku! Kalaupun Sifa bersedia memberinya pekerjaan disini, aku sendiri yang akan menendangnya keluar dari sini. Paham!" Iqbal tidak menjawab, dia keluar dan meninggalkan suara debam keras suara pintu yang dibantingnya. "Kakek kapan kembali dari Medan?" suara Sifa mengalihkan perhatian kakeknya yang masih termangu menatap pintu. Rendra berjongkok membantu Sifa yang memunguti berkas-berkasnya di lantai. Fahri Haidar tidak menjawab pertanyaan cucunya, dia menghela nafas sebelum kemudian duduk di sofa sampingnya. Matanya memerah menatap Sifa iba. Dia sudah mendengar tentang keributan itu dari Rendra, karena itulah dirinya memutuskan kembali lebih awal. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia bukannya tega menutup mata dan telinga atas hidup menantu dan cucunya yang tidak bahagia. Namun apa boleh buat, karena di keluarga Haidar memang hanya Sifa yang berhak dan bisa dipercaya untuk meneruskan apa yang dia punya. "Kakek baru sampai, dari bandara langsung minta diantar kesini untuk bertemu cucu kesayangannya." sahut Rendra. "Jadi tadi yang Bang Rendra bilang mau keluar itu mau jemput Kakek?" tanya Sifa yang dijawab anggukan kepala oleh Rendra. "Kalian berdua duduk sama Kakek sini!" Sifa dan Rendra meletakkan berkas-berkas itu kembali di atas meja, lalu beranjak duduk di samping kakeknya. "Keningmu tidak apa-apa kan? Masih sakit?" tanyanya mengusap lembut perban kecil di kening Sifa. "Tidak apa-apa, hanya sedikit lecet Kek." jawab Sifa. "Lain kali bilang sama Kakek kalau papamu berani bertindak keterlaluan lagi, biar Kakek yang akan membalasnya." Sifa hanya tersenyum mengangguk. Sekeras dan seegois apapun kakeknya, Sifa tahu dirinya selalu menjadi prioritas utamanya. Karena itu juga lah dia dibenci oleh papanya, karena Sifa tidak hanya mendapat limpahan semua harta warisan, tapi juga perhatiannya Fahri Haidar. *** "Yakin kamu tidak mau ikut? Katanya suntuk mau cari hiburan? Lagipula Aksa bilang dia tidak akan datang karena harus lembur. Kamu tidak perlu khawatir akan bertemu dengan dia nanti di sana." Sifa mendengus keras. Tidak cukup menerornya dengan puluhan chat, sekarang Xena juga menelpon mengajaknya pergi ke Mirror. Bukannya tidak mau, masalahnya dia merasa belum siap kalau ternyata nanti tiba-tiba Aksa datang. Dua bulan bukan waktu yang singkat, tapi nyatanya pria yang telah membuatnya dua kali patah hati itu dengan kurang ajarnya masih bercokol di hatinya. Sifa sudah sebisa mungkin berusaha menjauh. Sengaja tak datang saat tahu Aksa ada di acara teman-teman mereka dan juga tidak membalas pesannya, tapi sialnya kenapa masih saja selalu ada dia di pikirannya. "Sumpah Xen, aku capek banget. Ini aku baru pulang dari rumah sakit, masih mampir ke supermarket dekat apartemen." "Alasan, bilang saja kamu takut bertemu Aksa. Iya kan?" "Sialan kamu!" Suara tawa Xena terdengar keras di telinga Sifa. Lucunya justru Sifa bisa akrab dengan wanita tomboy berwajah ganteng dan bertato itu. Meski Rendra sering mengomel kesal karena sikap urakan Xena yang katanya seperti preman itu. Bukan seperti, tapi memang dia preman. Tapi bagi Sifa, Xena preman yang baik dan menyenangkan. "Aku pikir dulu, kalau jadi ikut nanti aku hubungi kamu." ucap Sifa sambil meraih tasnya di jok belakang mobilnya. "Ok, dua jam lagi aku jemput di apartemen." "Heiii …" Sifa mengumpat kesal, Xena mematikan begitu saja teleponnya tanpa memberinya kesempatan mendebat. Lagi-lagi dia menghela nafas panjang. Aksa, hanya mendengar nama itu saja sudah membuat jantungnya berdebar. Sifa benar-benar membenci dirinya sendiri yang tidak juga mampu membunuh rasa di hatinya. Harus merasakan sakit seperti apalagi supaya bisa membuatnya menerima kenyataan, kalau laki-laki itu tidak mungkin membalas cintanya. Baru saja Sifa turun dari mobilnya, seseorang sudah datang menghadangnya. Tidak ada lagi wajah sok manisnya, dia berdiri bersedekap bersama seorang laki-laki di sampingnya. "Aku baru tahu kalau ternyata selain berjiwa pengemis, kamu juga penguntit. Jangan bilang hanya kebetulan, aku tidak sebodoh itu akan percaya!" ucap Sifa berdiri tenang menyandar pintu mobilnya. Yasmine melangkah semakin mendekat, meski area parkir sedikit remang, tapi Sifa bisa menangkap jelas kilat marah di mata anak tiri kesayangan papanya itu. "Kelakuanmu semakin lama semakin kurang ajar. Belum puas menguasai semua warisan yang harusnya jadi milik papa, kamu juga merampas uang yang biasanya papa terima setiap bulan!" Sifa tertawa terkekeh. Terlalu menggelikan Yasmine yang tidak punya hubungan darah dengan keluarga Haidar, datang dengan kemarahannya dan mengungkit tentang warisan. "Tidakkah kamu merasa malu?! Siapa kamu berani mengungkit tentang warisan keluarga Haidar?" ucap Sifa sinis. "Lagipula kamu sendiri yang bilang kalian bukan benalu keluarga kami. Kenapa sekarang marah setelah aku tidak memberikan lagi santunan untuk kalian?" Merasa terhina oleh kata-kata Sifa, Yasmine mendekat dan menarik kerah kemeja Sifa kasar. Wajah emosinya terlihat kaku dengan mata berkilat tajam. "Jangan coba-coba bermain api denganku! Aku bisa saja membuatmu kehilangan segalanya," ucapnya penuh peringatan. Sifa mendorong Yasmin kasar, dia hampir jatuh terjengkang kalau saja pria di belakangnya itu tidak cepat menangkap tubuhnya. Sifa tersenyum sinis sambil merapikan lagi kemejanya. Tidak ada yang perlu Sifa takutkan, dia lebih dari mampu melindungi dirinya sendiri dari orang-orang seperti itu. "Kelakuanmu sama persis seperti ibumu yang jalang itu, tapi jangan pikir aku diam saja seperti mamaku saat kalian injak. Kalau ingin hidup enak, ya kerja! Jangan cuma menadahkan tangan mengemis belas kasihan dariku! Mulutmu kalau mau sombong harus tahu tempat. Jangan membuatku habis kesabaran dan menendang kalian dari rumah itu, paham!" balas Sifa dengan tatapan menantangnya. "Mulut sialan!" Yasmin melangkah cepat dan melayangkan tangannya. Sayang, sebelum perempuan itu berhasil menampar wajah Sifa, dia sudah meringis kesakitan. Sifa lebih dulu menangkap pergelangan tangannya dan memelintirnya ke belakang. "Berani kamu mendekat, aku akan berteriak!" ancam Sifa saat melihat pria yang datang bersama Yasmine itu hendak menerjang ke arahnya. "Pulang dan bilang ke mama sialanmu itu, mulai sekarang jangan harap bisa berfoya-foya menikmati uangku. Ambil saja papa yang sudah tidak berguna itu. Aku dan mamaku tidak butuh lagi. Kamu tahu kenapa? Karena semua warisan sudah jatuh padaku." Lalu Sifa mendorong Yasmine menjauh. Dia tersenyum puas melihat wanita itu setengah mati terbakar emosi dengan wajah meringis kesakitan. "Aku pasti akan membalasmu!" ucap Yasmine, lalu pergi begitu saja bersama teman prianya. Sifa mendecih keras. Mungkin Yasmine pikir bisa mengancamnya untuk mendapatkan lagi uang bulanan yang sudah tidak lagi Sifa berikan. Dia tidak akan membiarkan papanya dan keluarga sialannya itu mendapatkan apa yang mereka mau. "Sampah!" dengus Sifa muak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD