Bab.5 Kita Yang Tak Mungkin

1607 Words
Meski sedikit kewalahan karena Sifa yang terus meronta, mereka akhirnya bisa membawanya duduk di sofa. Aksa kemudian melepas jasnya untuk menutupi bagian paha Sifa yang terbuka. Ini kali kedua dia melihatnya mabuk. Malam terakhir waktu mereka di Bali keadaannya juga persis seperti sekarang ini. Aksa menghela nafas melihat Sifa duduk menyandar dengan wajah memerah. Matanya tampak terpejam dengan dahi berkerut tajam seakan sedang menahan rasa tak nyaman. Sifa sangat tidak menyukai bau asap rokok, lalu kenapa mau saja diajak ke tempat seperti ini. "Mau air putih?" tawar Aksa. Perlahan mata Sifa mulai terbuka, kemudian menggeleng pelan. Melihat sikapnya yang acuh tak acuh, Aksa tahu kejadian di Bali waktu itu benar-benar membuat Sifa marah padanya. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, Aksa merasa risih menjadi sasaran tatapan curiga mereka. "Kalian lanjutkan saja minumnya, aku pulang dulu. Besok pagi mau jemput Cello di rumah bundanya." Aksa memilih pamit daripada terjebak di suasana canggung di sana. "Kok malah kabur sih, Sa." celetuk Johan menyebalkan. "Sumpah, aku capek banget Jo." "Capek kerja apa capek menghindar?" sahut Bian dengan kurang ajarnya. Aksa mendengus kesal. Sudah tahu Sifa sedang tidak baik-baik saja, mulut usil mereka malah sengaja menyulut api. Benar saja, Sifa tiba-tiba mengembalikan jas punya Aksa dan meraih tas kecil miliknya. "Kalau kamu merasa tidak nyaman dengan keberadaanku di sini, biar aku saja yang pergi. Mereka temanmu, aku yang tidak seharusnya di sini." ucap Sifa ketus membuat Aksa kelabakan. "Heiii, kamu ngomong apa sih?! Mereka kan juga temanmu." Aksa buru-buru menahan Sifa yang beranjak berdiri, tapi dengan cepat dia menepis tangannya. Tubuhnya yang masih sempoyongan hampir saja terjungkal kalau Aksa tidak cepat menangkap lengannya. "Kamu mau kemana dengan keadaan mabuk seperti ini?" cegah Aksa. "Bukan urusanmu!" bentak Sifa sengit. "Tunggu dulu Fa!" "Lepas!" teriaknya marah. Aksa tetap tidak melepasnya meski Sifa terus meronta. Ini sudah lewat tengah malam dan mereka sedang berada di nightclub yang dipenuhi orang orang tidak waras, mana mungkin dia membiarkannya pergi dalam keadaan seperti itu. "Kalau kamu mau pulang, biar kami yang antar. Ya?" Aksa berusaha membujuknya, tapi tetap saja sia sia. Yang ada justru Sifa semakin marah. "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri!" ucapnya dengan tatapan bencinya. "Sifa ..." Tiba tiba Sifa berhenti meronta dan berbalik menatap Aksa putus asa. d**a Aksa mencelos melihat sorot kesakitan di sepasang matanya yang memerah basah. "Aku sudah menjauh seperti yang kamu inginkan. Tolong Sa, jangan membuat semua semakin sulit untukku!" ucapnya lirih dengan suara seraknya. "Kamu boleh marah padaku, tapi jangan keras kepala pulang sendiri dalam keadaan seperti ini Fa." "Tidak usah sok peduli, aku tidak butuh itu! Jangan membuatku terlihat semakin menyedihkan dengan tatapan kasihanmu itu!" Cekalan tangan Aksa merenggang begitu mendengar suaranya yang bergetar. Melihat air mata Sifa yang mulai mengalir membuatnya tidak tahu lagi harus bagaimana meredam kemarahan wanita ini. Sialnya lagi mereka berdua malah jadi tontonan, tanpa ada yang berniat membantu membujuk Sifa. "Duduk dulu, kita bicara sebentar!" Aksa tidak memberi Sifa kesempatan unyuk menolak. Dengan sedikit memaksa dia kembali membawanya duduk di sofa. "Kami ke ruang kerja Naresh dulu, telpon kalau urusan kalian sudah selesai bicara." ucap Ibra. "Ok." Ibra dan yang lain keluar memberi kesempatan keduanya untuk bicara. Meski Aksa sendiri tidak yakin apakah Sifa yang sedang di bawah pengaruh alkohol bisa mencerna ucapannya. Sifa sudah terlihat sedikit lebih tenang dan tidak lagi menolak saat diberi minum air putih. Dari jarak sedekat itu Aksa bisa melihat dengan sangat jelas wajah cantiknya yang tampak lelah. "Maaf kalau ucapanku malam itu sudah menyakitimu," ucap Aksa hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Sifa lagi. "Aku tidak hanya sakit hati karena dua kali kamu tolak, tapi juga malu karena seperti tidak ada harga dirinya lagi." ungkap Sifa dengan tawa mirisnya. "Tidak, siapa yang bilang? Kamu justru terlalu baik dan sempurna untuk pria b******k sepertiku, Fa." "Omong kosong! Jangankan kamu, mereka saja pasti menertawakan aku yang dengan tidak tahu malunya terus mengejarmu. Harusnya sejak pertama kamu tolak aku sudah sadar diri, bukannya malah terus mengejarmu seperti wanita mur …" Aksa buru-buru membungkam mulut Sifa sebelum sempat meneruskan ucapannya. Dia menatap kesal, lalu menyingkirkan tangan Aksa dari bibirnya. "Memang kenyataannya begitu kan?" sungutnya jengkel. "Malam itu kamu sedang mabuk dan tidak sadar dengan apa yang kamu ucapkan, jadi lupakan saja." "Aksa ..." "Hm ..." "Kamu tidak b******k. Kamu adalah laki-laki yang baik, sangat baik malahan. Teruslah begitu, jangan seperti ayahku!" Aksa tertawa pelan sambil meraih gelas minumannya, menikmati beberapa teguk dan meletakkannya kembali di atas meja. "Kamu punya otak pintar Fa, tapi kenapa tiba-tiba jadi bodoh saat dihadapkan urusan cinta." ucap Aksa. "Berarti kita sama, kamu juga mendadak bodoh kalau sudah menyangkut soal Sasha." balas Sifa telak membuat Aksa merasa tertampar perkataannya sendiri "Karena itulah aku juga tidak ingin kamu sepertiku, karena rasanya benar-benar sakit. Percayalah! Kamu pasti akan lebih bahagia jika tidak bersamaku." Untuk beberapa saat keduanya hanya diam saling melempar pandang. Aksa tidak menyangka setelah dua bulan kejadian canggung mereka di Bali dan lobi apartemennya waktu itu, mereka justru bertemu lagi dengan situasi yang tidak mengenakkan begini. "Kamu itu cantik, baik dan juga mapan. Jangan sia-siakan hatimu untuk orang sepertiku. Suatu saat kamu pasti bisa menemukan pria yang tepat untuk jadi pendamping hidupmu." ucap Aksa. "Bagaimana kalau aku tetap berharap pria itu adalah kamu orangnya?" ucap Sifa lirih dengan tatapan penuh harapnya. Aksa benar-benar tidak habis pikir, kenapa sulit sekali untuk bisa membuat Sifa mengerti. Kalaupun dia bisa berhasil meluluhkan hati Cello, orang tuanya juga pasti akan keberatan anaknya bersuamikan pria seperti dirinya. Aksa pernah menikahi wanita sakit jiwa hanya karena dia anak seorang pejabat tinggi. Mamanya pernah dituntut atas kasus penganiayaan dan mendekam di penjara, karena mengedarkan obat terlarang. Adikku pernah panen hujatan karena skandalnya merusak rumah tangga orang. Lebih parahnya lagi, dia dan adiknya sama-sama punya anak di luar nikah. Seandainya Aksa punya anak perempuan, sudah pasti juga akan berpikir seribu kali untuk mengizinkannya menikah dengan pria berlatar belakang bobrok seperti dirinya. "Kamu masih marah padaku? Kenapa tidak pernah membalas chatku?" tanyanya ke Sifa. "Jangan mengalihkan pembicaraan! Kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kalau aku tetap berharap laki-laki itu kamu orangnya?" ucap Sifa mengulang pertanyaannya yang tadi. "Berapa kalipun kamu bertanya, jawabanku akan tetap sama. Bukan karena kamu tidak pantas, tapi karena kamu terlalu berharga." jawab Aksa jujur. Sifa menatap Aksa gamang. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca mendengar jawaban pria yang sampai sekarang masih ada di hatinya itu. "Apa sesulit itu kamu melupakan Sasha? Dia bahkan sudah bahagia bersama orang lain, Sa. Apa kamu juga tidak ingin mencoba hal yang sama? Kenapa kamu lebih memilih bertahan dengan kesakitanmu?" ucap Sifa dengan suara bergetar parau. "Karena semua memang tidak semudah itu Fa. Aku butuh waktu. Baik Lena, kamu atau siapapun itu, tidak adil kalau sampai cuma jadi tempat pelarianku." Aksa meraih tangan Sifa saat melihatnya mulai terisak lirih. Alkohol semakin membuat emosinya labil dan sensitif. Namun bagi Aksa lebih baik Sifa sakit sekarang, karena dia tidak mungkin membiarkan wanita ini terluka di sisinya. "Maaf, sudah membuatmu menangis lagi." ucap Aksa sambil mengusap sisa air mata di pipi Sifa. Dia merasa sangat bersalah sudah membuatnya berkali-kali terluka. "Apa setelah ini kamu benar-benar akan menjauh dariku?" tanya Sifa, Aksa tampak mengernyit sambil mengulum senyumnya. "Bukankah selama hampir dua bulan ini justru kamu yang menjauh dariku? Aku hanya memintamu untuk tidak berharap lebih, bukannya menjauh." balasnya gemas. "Tidak memintaku menjauh, tapi tidak pernah menganggapku ada, lalu apa bedanya?" sungut Sifa kesal. Aku tertawa melihatnya merengut. Selama dua bulan ini dia sudah berkali kali mengirimi chat sekedar menanyakan kabarnya, tapi tidak pernah sekalipun dibalas. Jujur dia juga merasa bersalah dengan kejadian malam itu, tapi apa boleh buat karena sepertinya Sifa sudah terlanjur marah padanya. "Jangan menghindar Fa, apalagi menjauh! Kita masih bisa berteman seperti biasanya." Aksa menghela nafas lega melihatnya mengangguk pelan. Setelah menghabiskan sisa minuman di gelasnya, dia segera beranjak bangun dari duduknya. "Aku harus pulang sekarang, besok sudah janji mau jemput Cello. Ayo sekalian aku antar kamu pulang!" ucapnya sambil mengulurkan tangan, tapi Sifa justru menggeleng. "Tidak usah, nanti aku pulang sama Xena saja." tolaknya. "Yakin?" Aksa yang berdiri menjulang di depan Sifa tampak menatap lekat wanita yang sedang duduk menyandar itu. "Iya," sahutnya mengangguk. "Lain kali jangan memaksakan diri datang ke tempat seperti ini. Sama sekali tidak cocok untuk kamu yang tidak bisa minum dan benci asap rokok." ucap Aksa menasehati dokter cantik yang sudah setengah mabuk itu. "Karena sesekali aku juga butuh tempat pelarian. Bagiku tempat ini bahkan jauh lebih baik dan nyaman dari yang namanya rumah. Setiap orang punya beban hidup sendiri dan aku merasa lelah terus terhimpit di sana." ucap Sifa dengan tatapan kosongnya. Aksa mengernyit menatapnya bingung. Dia pikir mungkin karena mabuk jadi Sifa bicaranya juga semakin melantur. "Aku telfon mereka dulu supaya turun menemani kamu di sini," ucap Aksa mengambil ponsel di sakunya. Sudah hampir jam satu malam, masih dengan menahan kantuk dia mencari kontak nomor Xena. Tapi belum sempat Aksa menghubunginya, sepasang tangan sudah lebih dulu memeluknya dari belakang. "Sifa ..." "Aku cinta banget sama kamu, Sa. Tidak bisakah sekali saja kamu mencoba memulainya dari awal bersamaku?" ucapnya lirih. "Kamu akan terluka Fa." "Bukankah dengan dua kali menolakku kamu juga sudah membuatku terluka?" Aksa menghela nafas kasar, kenapa sekarang dia baru sadar kalau ternyata Sifa benar-benar keras kepala. Setelah melepas tautan tangan di perutnya, Aksa berbalik dan perlahan meraih bahu Sifa mendorongnya sedikit mundur. Mata Sifa yang terlihat sembab dan merah menatap sayu. Aksa tidak mengerti apa sebenarnya yang wanita ini cari darinya. Siapapun pasti sangat beruntung kalau bisa memiliki wanita sebaik dan secantik Sifa sebagai pendamping hidup, tapi kenapa dia malah menggantungkan harapannya yang sulit terwujud pada dirinya. "Hidupku sendiri tidak bahagia, lalu bagaimana mungkin aku bisa membahagiakanmu, Fa?" Sifa tidak mengatakan apapun, hanya mendekat dan kembali memeluk Aksa erat. "Dasar bodoh! Ayo aku antar pulang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD