Perdebatan Dengan Orang Tua

1205 Words
"Bos, Tuan dan nyonya besar sudah datang. Arif memberitahu lewat telepon," ucap Axel memberitahu Shaga kedatangan kedua orang tuanya. "Ya sudah kita ke depan," sahut Shaga dan langsung beranjak menuju ke pintu depan. Shaga berdiri di teras menatap mobil orang tuanya yang semakin dekat, sampai akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan teras. Axel mendekat dan membuka pintu di mana kedua orang tua Shaga berada, begitu melihat mama dan papanya Shaga mencoba tersenyum meskipun terlihat tidak natural karena Shaga bukanlah anak yang terlalu dekat dengan orang tuanya. "Apa kabarnya, Ma, Pa?" tanya Shaga memeluk kedua orang tuanya bergantian. "Baik, kamu sendiri bagaimana? Apa perusahaan baik-baik saja?" tanya tuan Surya balik. "Baik, Pa. Jangan bahas perusahaan dulu bisa, kan? Kita baru juga bertemu," jawab Shaga tidak suka dengan pertanyaan Papanya. "Kakak!" teriak suara seorang perempuan mengalihkan perhatian Shaga. "Shelia, kamu ikut juga?" tanya Shaga yang langsung dipeluk sang adik. "Ikut dong, aku tuh kangen sama Kakak makanya minta cepet-cepet ke sini." Shelia yang memang manja ada Shaga melepaskan pelukannya. "Oh iya, Mama bawa seseorang buat kamu. Sherly ayo keluar," ucap nyonya Mary memanggil seseorang di mobil. "Sherly anaknya, Om Pram?" tanya Shaga sambil menatap seorang gadis cantik yang keluar dari mobil. "Iyalah, memang berapa Sherly yang kita kenal. Kan dia tinggal di Jerman juga, jadi saat kami mau pulang dia ikut. Ini kami gak di suruh masuk?" tanya nyonya Mary. "Eh iya, ayo masuk. Apa kabar Sherly?" tanya Shaga basa-basi. "Baik, Kak Shaga sendiri apa kabar?" tanya Sherly balik. "Baik juga, ayo ikut masuk!" ajak Shaga dan mereka menyusul yang lain masuk. "Kamu tidak ke kantor hari ini?" tanya tuan Surya. "Ini kan hari Minggu, Pa. Aku berusaha untuk libur di hari ini, sudah cukup dari Senin sampai Sabtu aku bekerja. Saat orang lain hanya bekerja sampai hari Jumat, aku harus kerja di hari Sabtu juga. Meskipun hanya menghadiri beberapa meeting saja, jika aku tidak punya waktu buat diri sendiri. Lama-lama aku sendiri yang akan gila karena kebanyakan kerja," jawab Shaga yang memang sering tidak akur dengan papanya itu. "Papa dulu kerja jarang libur, tidak ada tuh gila segala. Jadi jangan berlebihan begitu," ucap tuan Surya. "Ya, hasilnya keluarga Papa kurang mendapatkan perhatian. Papa tidak pernah tau tumbuh-kembang anak-anak Papa, karena Papa tidak pernah punya waktu dengan kami." "Lah tapi buktinya kalian tumbuh baik-baik saja, kamu bisa kuliah di luar dengan nilai bagus dan akhirnya bisa mewarisi perusahaan besar. Andai Papa tidak gila kerja, mana mungkin kamu bisa mencapai posisi sekarang. Jadi jangan mengeluh tentang masa lalu," sahut tuan Surya tidak terima ucapan Shaga. "Tidak ada yang mengeluh, Pa. Aku hanya mengingatkan saja, Papa beruntung karena punya anak seperti kami. Yang meskipun kurang perhatian tapi tidak mencari perhatian dengan membuat ulah di luar rumah. Jika anak Papa bukan kami belum tentu itu terjadi," jawab Shaga tidak mau kalah. "Sudah-sudah, kalian baru ketemu bukannya kangen-kangenan malah debat. Apa tidak cukup selama ini perdebatan kalian? Mana yang mendengarnya saja capek," timpal nyonya Mary kesal pada anak dan suaminya itu. "Iya Maaf, Ma. Habisnya Papa ketemu anaknya malah ngajak debat, yang penting sekarang perusahaan semakin berkembang. Tidak perduli jika aku harus bekerja hanya satu atau dua hari, jadi stop bahas pekerjaan dan perusahaan saat bertemu." Shaga membela diri, karena memang itu kenyataannya. "Sudah ih, kakak sama Papa nih. Aku tuh ngajak ke sini karena kangen sama Kakak," ujar Shelia ikut menimpali. "Permisi, Tuan dan nyonya besar. Ini minumannya, saya juga membuat camilan kesukaan Tuan dan Nyonya besar. Karena kata Tuan Shaga kalian akan datang ke sini," ucap mbok Ira saat masuk ke ruang keluarga. "Wah, Mbok Ira memang juara. Mbok tau aja kalau kita rindu banget makanan ini, terima kasih ya, Mbok." Nyonya Mary tersenyum senang mendapati makan kesukaannya yang memang tidak pernah dimakannya lagi saat di Jerman. "Sama-sama, Nyonya besar. Kalau gitu saya permisi dulu, silahkan dinikmati," pamit mbok Ira kembali ke dapur. Mereka pun mengobrol panjang lebar, terlebih suara Shelia yang terdengar paling lantang membuat rumah Shaga terasa hidup. Sampai akhirnya nyonya Mary ingin bicara serius pada Shaga. "Mama mau ngomong apa? Apa itu hal penting?" tanya Shaga. "Sebentar, Shelia kamu bawa Sherly ke ruang makan dulu. Nanti Mama panggil setelah selesai bicara pada kakakmu," pinta nyonya Mary sebelum bicara pada Shaga. "Baik, Ma. Ayo Sherly!" ajak Shelia. Sherly menurut dan mengikuti langkah Shelia untuk ke ruang makan, Shaga hanya menatap bingung dengan permintaan mamanya yang meminta Shelia membawa Sherly. "Ada apa sebenarnya ini, Ma. Kenapa meminta mereka pergi?" tanya Shaga setelah adiknya dan Sherly menjauh. "Jadi begini, saat di Jerman Mama dan Papa sempat bicara pada tuan Pram. Kami berencana ingin menjodohkan kamu dan Sherly, jika kamu setuju tuan Pram dan istrinya akan ke sini dan kita akan melakukan pertunangan kalian." Nyonya Mary menjelaskan maksudnya, Shaga sebenarnya langsung ingin memotong ucapan mamanya tapi pasti mamanya akan kesal. "Tidak, Ma. Aku tidak mau di jodohkan, aku ingin memilih pasangan hidupku sendiri. Aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku dengan wanita yang tidak aku cintai," jawab Shaga menolak permintaan Mamanya. "Sampai kapan, Shaga?! Sudah cukup kami memberikan waktu untukmu sampai usiamu yang sekarang, usia 31 tahun kamu bahkan tidak punya kekasih. Jika kamu punya mungkin kami tidak akan berpikir untuk mencarikanmu jodoh, kami semakin tua. Kami juga ingin memiliki cucu, apa kamu mau menunggu sampai kami meninggal dulu?" tanya tuan Surya menimpali dengan suara keras. "Jadi kalian mau menikahkan aku hanya karena ingin cucu? Bagaimana kalau aku sudah memberikan itu, meski tanpa ikatan pernikahan apa kalian tetap akan menerimanya?" tanya Shaga balik. "Apa maksudmu, Shaga? Jangan bilang kamu menghamili perempuan tanpa menikah? Apa kata orang-orang, Shaga. Kamu mau mempermalukan kami?" tanya tuan Surya lagi. "Jadi serba salah, kalian ingin cucu. Di tanya kalau punya cucu tapi tanpa ikatan pernikahan, kalian tetap saja protes. Jadi maunya apa? Jangan-jangan cucu hanya alasan kalian saja, agar bisa memaksaku menikahi Sherly. Aku tidak akan menikahi perempuan yang tidak aku cintai, itu sudah jadi keputusanku!" tegas Shaga makin membuat kedua orang tuanya emosi. "Kamu benar-benar tidak pernah patuh, Shaga. Bahkan pada mamamu sendiri, disaat orang lain berlomba-lomba mencoba membahagiakan orang tuanya kamu malah tidak perduli sama sekali. Kami benar-benar tidak habis pikir denganmu," tukas nyonya Mary. "Harusnya itu kalian tanyakan pada diri kalian sendiri, apa sudah menjadi orang tua yang baik? Apa kalian sudah cukup memberikan kasih sayang yang di butuhkan anak-anak kalian, terutama di masa-masa kami membutuhkannya. Saat kami harus melihat bagaimana orang tua orang lain begitu memberikan perhatian ada anak-anaknya. Kalian kemana saja? Papa sibuk kerja, Mama sendiri sibuk dengan dunia sosialitanya. Sampai-sampai kami hanya bisa merasakan kasih sayang para pengasuh. Dan sekarang kalian menuntut untuk mendapatkan rasa patuh dan hormat itu, benar-benar diluar nalar. Harapan kalian terlalu tinggi," ungkap Shaga apa yang dirasakannya selama ini. "Cukup Shaga! Bukankah karena kerja keras itu saat ini kamu bisa menikmati kehidupan yang seperti sekarang? Kamu pikir papamu ini seorang pewaris yang hanya meneruskan usaha keluarga? Tidak, Shaga. Papa memperjuangkan semuanya dari nol, agar kamu dan adikmu bisa hidup layak. Tapi apa balasannya? Kamu merasa kami orang tua egois," ucap tuan Surya sinis. Shaga terdiam, apa yang di katakan papanya ada benarnya juga. Mereka memang bukan berawal dari orang kaya, papanya merintis semuanya dari nol. Meskipun perusahaan semakin berkembang juga berkat andil Shaga beberapa tahun ini. Yang berusaha membuat perusahaannya menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD