Kesepakatan

1232 Words
Hingga akhirnya Radit harus mengeluarkan uang cukup banyak, Mega membeli banyak makanan. Mega berbelanja dengan begitu semangat, bahkan membuat troli berukuran besar itu penuh. “Udah cukup, nanti gak kemakan kan sayang makanannya.” “Kan aku juga sayang sama perut aku, biar kenyang, biar kalau malem malem gak kelaparan gitu maksud aku loh, Kak,” ucap Mega yang memilih beberapa mie untuk dia simpan di dalam rak. Melihat Mega memilih mie rasa pedas, Radit kembali menyimpannya. “Eh, kok disimpan lagi sih? Enak tau, Kak. Masukin lagi.” “Kamu udah beli dua puluh lebih itu, jangan serakah. Nanti perut kamu sakit, inget gak dulu nangis nangis pas periode gara gara sebelumnya makan mie terus?” Mega tersenyum kemudian merangkul tangan suaminya dengan manja. “Cieee…, inget ya? Kakak masih inget?” “Gimana gak inget, orang kamu mukul mukul Kakak pas di rumah sakit.” CUP. Mega mencium pipi Radit dengan lembut. “Sayang deh sama Kakak, yaudah ini aja.” “Udah jangan nambah lagi, ini juga gak bakalan muat kayaknya di kulkas. Kebanyakan.” Yang memilih belanjaan hanya tersenyum saja, mengantar suaminya membayar ke kasir. Takut ada wanita gatal yang mendekatinya. Mega harus jaga jaga dari segala hal. “Kenapa gak pake kartu kredit aja, Kak?” tanya Mega mengerutkan keningnya. “Biar keren yang item.” “Nanti juga sama sama dibayar, pake debit aja,” ucap Radit tanpa mengalihkan pandangannya. Dia meminta bantuan pegawai di sana untuk memasukan barang barang ini ke dalam bagasi mobil. Ketika Radit sedang mengawasi barang barangnya yang dimasukan ke dalam bagasi, dia baru sadar Mega tidak ada di sekitarnya. Dia memeriksa sekitar. “Kemana dia?” gumam Radit. “Sudah semua, Pak,” ucap pegawai yang membantunya itu. “Ah iya terima kasih,” ucap Radit memberikan uang tip. Kemudian dia kembali memeriksa sekitar. Dan tanpa diduga, malah ada sosok yang pernah menempati hatinya datang. “Pak Radit?” tanya Freya yang mendekat. “Ah, hallo,” ucap Radit yang merasa canggung. “Bapak belanja?” “Iya, dengan istri,” jawab Radit langsung, dia tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. “Dimana dia?” tanya Freya memeriksa sekitar juga, dia mencoba memastikan tidak adanya Mega. Kenyataannya, Freya masih menyukai sosok di depannya. Belum juga percakapan merambat, Mega yang baru saja memasuki basement itu melihat keberadaan perempuan yang sangat dia benci. Dia segera melangkah lebar mendekat. “Hoy! Ngapain di sana lu? Goda suami gue?” tanya Mega dengan wajah sinis. “Ah, hall⸻” “Lu ngomongnya sama tembok aja ya, Mbak,” ucap Mega menarik tangan Radit menjauh dari sana dan masuk ke mobil. Radit tidak bisa menahan dorongan istrinya. “Masuk, Kak.” Setelah mereka masuk, dan melihat Freya yang menjauh, baru Radit berucap. “Apa yang kamu lakukan? Itu tidak sopan, Mega.” “Gak sopan? Ya dia yang gak sopan lah ngomong sama suami orang, mana istrinya lagi gak ada lagi.” “Kita ngomong, gak ngapa-ngapain, lagian kamu kemana juga ngilang?” “Kakak suka ngomong sama dia ya? Kakak jawab pertanyaan dia.” “Enggak biasa aja.” “Tadi itu ngomong.” “Ya kalau ada orang nanya masa harus diem.” “Biarin aja suruh ngomong sama tembok.” Radit tidak bisa berbicara lagi, dia menarik napas dalam dan menghitung tiga angka supaya amarahanya mereda. “Kamu tadi dari mana?” tanya Radit dengan suara pelan. Seperti inilah biasanya jika mereka bertengkar, Untuk saat ini, Radit mencoba memandang Mega sebagai adiknya. Karena jika dia memandangnya sebagai istri, Radit belum bisa leluasa dengan segala halnya. “Aku beli ice cream green tea kesukaan Kakak.” Mega mengeluarkannya dari kantong. “Aku suapi mau?” tanya Mega. Dan inilah yang membuat Radit perlahan menanam kembali amarahnya, dia percaya selalu ada kebaikan di dalam sana. ***** Karena sudah mengenal Mega dari sejak lahir, Radit memesankan makanan yang tidak mengandung udang kecil. Itu bisa membuat adiknya alergi dan kesulitan bernapas. Sambil menunggu Mega yang ada di kamar mandi, Radit memakan ice cream green tea kesukaannya. Ini membuatnya mengingat masa lalu, dimana saat dia sudah sekolah menengah atas, sementara Mega masih sekolah dasar. Dirinya dan Mega sering pergi ke mall setelah pulang sekolah sebelum dijemput Papah Tom. Radit kembali menarik napas, mencoba menerima kenyataan yang ada. “Mungkin ini sudah takdir, dia harus menjadi istriku,” ucapnya. “Kakak bilang apa?” tanya Mega yang baru saja datang. “Huh?” “Kakak bilang apa?” “Gak ada.” “Udah pesen?” “Udah.” “Apa aja?” tanya Mega. Radit menunjuk menu menu yang ada di meja, dia lebih focus memakan ice cream. “Cie, perhatian banget sih. Tau aja makanan kesukaan aku,” ucap Mega mencoba menggoda Radit. Bukannya tersipu, Radit malah terkekeh. “Kakak tau segala tentang kamu, kamu lahir aja langsung Kakak yang gendong.” “Gak nyangka banget ya kita jodoh?” tanya Mega dengan polosnya tanpa mempertimbangkan arti dari pertanyaannya. Radit yang diam membuat Mega mencondongkan tubuhnya kemudian memegang tangan suaminya. Radit yang tidak terbiasa langsung menarik tangannya. Yang mana itu membuat Mega kesal. “Kak!” “No, no.” Radit menyimpan tangannya kembali di atas meja, tapi dia memberi tatapan pada Mega untuk tidak memegang tangannya. “Pegang doang masa gak boleh sih, nyebelin tau.” “Pelan pelan. Kan Kakak bilang pelan pelan.” “Lambat.” “Mau ngomong apa?” “Minggu depan kita bulan madu ‘kan?” Radit masih diam, berfikir apa yang akan terjadi jika dia pergi berbulan madu. Seseksi apapun Mega, yang dia lihat adalah adiknya. Dan itu membuat sisi kejantanannya tidak tertarik sama sekali. “Mega, Kakak bilang pelan pelan. Kita saling mendekat dulu secara emosi, jangan fisik.” “Fisik akan membawa emosi ikut dekat.” “Bukan begitu cara kerjanya.” “Ini pesanannya, Pak, Bu,” ucap pelayan membuat percakapan mereka berhenti sebentar. “Terima kasih,” ucap Radit. Berbeda dengan Mega yang bergumam kesal. “Dasar pengganggu.” “Mega,” ucap Radit tatkala pelayan itu pergi. “Jangan gak sopan kayak gitu, itu tindakan jelek.” Mega tersenyum, seperti inilah cara dia mendapat perhatian Radit seperti sebelumnya. “Kita bulan madu?” “Kakak gak janji bisa……” “Aku ngerti kok, aku yang akan bikin Kakak mau dengan sendirinya,” bisik Mega dengan senyuman. “Tapi kita berangkat ya.” “Kemana?” “Eropa deh yang bebas. Eh, tapi Hawaii kan bebas juga.” “Bebas apa?” tanya Radit dengan kening berkerut, dia merasa aka nada sesuatu yang buruk. “Bebas ya itu… ngerti lah, Kakak. Takutnya pas jalan jalan Kakak mau cium aku jadi gak canggung. Pake bikini, eh, Kakak suka warna apa? Biar nanti aku pake bikini yang kakak suka? Ke Hawaii ajalah hayuk.” “Tapi Kakak gak bisa lama ninggalin kerjaan. Kamu sendiri tau, Papah butuh bantuan di Perusahaan.” “Itu kan udah jadi punya kamu, Kak..” “Iya makannya jadi tanggung jawab aku, kalau keadaan jadi buruk nanti Papah jadi sedih. Lagian beberapa pemegang saham masih meragukan Kakak, jadi Kakak gak bisa lama lama kalau bulan madu.” Mega berdecak. “Jadinya kapan bisanya?” “Tunggu kalau mereka lihat proyek Kakak dan percaya kalau Kakak bisa.” “Tapi abis itu kita bulan madu yang lama.” “Oke,” ucap Radit. “Kuliah?” “Enggak mau, mau punya anak Kakak aja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD