Pengakuan

1139 Words
Dalam perjalanan, Radit mencoba kembali membangun hubungan baik dengan Mega, mengingat tahun tahun terakhir ini mereka terus bertengkar. Karena perusahaan, lalu Mega yang tiba tiba mengungkapkan perasaannya, Radit yang menghindar dan terjadilah adegan kejar kejaran sampai akhirnya mereka berakhir seperti ini. “Touring? Cowok semua?” tanya Radit saat Mega mengatakan dirinya sering berkeliling kota orang lain bersama geng motornya. “Ya enggak, aku cewek.” “Maksud kakak sisanya.” Mega menggeleng, bibirnya sibuk menyedot boba. “Ada banyak lah cewek, biasanya pacar yang cowok cowok kebanyakan itu.” Mega menjelaskan kalau mereka selalu mendatangi pameran pameran motor untuk memperluas pengetahuan akan hal itu. Radit juga mengetahui kalau istrinya itu ahli dalam otomotif, mengtahui berbagai macam isi dari mobil dan motor. “Kalau nginepnya dimana? Kan rombongan tuh kayak yang mau tawuran.” “Di tenda lah, sambil liatin bintang. Biasanya di lapangan terbuka.” “Kamu tidur sama siapa?” “Sama manusia, sama setan belum berani.” “Kakak serius.” “Lah, dipikir Mega enggak.” “Mega.” Mega tertawa mendengarnya, dia menoleh. “Sama cewek lah. Nih ya, senakal-nakalnya Mega gak pernah tuh hamilin cewek.” “Ya iyah wong kamu ceweknya.” Mega kembali tertawa, perjalanan pulang diisi dengan cerita Mega di bengkel dan geng motornya. Radit hanya mendengarkan dengan seksama, bahkan kini Radit tahu kalau ada laki laki bernama Ricco yang dekat dengan Mega. “Kakak mau aku siapin air hangat di bathub?” tanya Mega begitu mereka sampai di dalam apartemen. “Boleh,” jawab Radit yang menerima barang barang belanjaannya yang dibawakan oleh salah satu satpam di apartemen ini. Tidak lupa, Radit juga memberikan tip kepada pegawai itu. Setelahnya Radit membereskannya ke dalam kulkas. “Kak, biar sama aku aja.” “Gak papa,” jawab Radit. “Itu air angetnya udah siap.” Radit malah sibuk dan tidak mendengarkan perkataan Mega. Yang mana membuat Mega kesal dan mendekat, dia tiba tiba mencium punggung Radit sambil memeluknya dari belakang. Yang mana membuat Radit terkejut dan membalikan badannya seketika. Mega memasang wajah terbaik. “Airnya udah siap, Kak. Dan jangan abaikan Mega lagi kalau gak mau Mega ngelakuin hal yang seharusnya.” Radit berusaha keluar dari kekangan Mega dengan menyingkirkan tangannya. “Oke.” Mega tersenyum puas, kemudian dia yang mengambil alih untuk menyusun makanan ke dalam kulkas. Setelah menyelesaikannya, Mega segera menghubungi Mila ibunya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan supaya ayahnya tidak memberi beban lebih banyak lagi kepada suaminya. “Hallo, Mah? Mamah di rumah?” “Enggak, lagi keluar sama Papah kamu. Kenapa?” “Nanti malem Mega mau ke sana, mau ngomong.” “Ngomong…….?” pertanyaan Mila menggantung seolah dia tahu apa yang akan dikatakan putrinya nanti. Dan Mega memberi jawaban dengan anggukan di sana. “Iya, Mah. Waktunya Papah tau.” “Mega, Papah kamu bisa sakit.” “Aku gak bisa bohongin Papah terus, lalu bikin Mamah sama papah benci sama Kak Radit. Ini emang salahnya Mega, harusnya mereka benci sama Mega.” Mila menarik napas dalam di sana. “Andai saja kamu bilang sebelum bertindak.” “Itu sama dengan pembodohan, Mah. Mamah akan kirim aku ke psikiater.” “Mega!” “Yaudah ya. Nanti aku ke sana maleman nunggu Kak Radit tidur. Bye.” Sebelum ibunya menjawab, Mega sudah menutup telpon. Apalagi dia mendengar suara kalau Radit sudah selesai mandi. “Nelpon siapa barusan?” “Mamah.” “Kenapa katanya?” “Enggak, buat besok aja.” Radit terlihat sedih, rasanya sudah lama dia tidak dimanja oleh kedua orangtuanya. Apalagi saat keduanya menyangka kalau dirinya hilang akal dan melukai putri mereka satu satunya. Dalam hati Mega bergumam, ‘Aku yang akan menanggungnya, jangan khawatir. Mereka akan selalu mencintaimu.’ **** Radit belum juga tidur, padahal ini sudah larut malam dan Mega ingin bergegas pergi rumah kedua orantuanya. “Kak, udah malem.” “Iya bentar lagi, nanggung,” ucapnya yang masih bermain game. Memang sudah lama Radit kecanduan game, dan Mega tahu kalau jika sedang memainkan permainan, Radit pantang menyerah sebelum menang. Namun saat ini rasanya keterlaluan, apalagi dirinya ada di sana. “Kak, mainin aku aja napa.” Saat itulah Radit melirik pelan sebelum akhirnya kembali focus pada ponsel. Mulai kesal, Mega bangkit dari tidurnya. “Mau kemana?” tanya Radit. “Mau main sama Kakak.” Mata Radit terbelalak saat melihat Mega mulai membuka pakaiannya. “Ngapain buka buka baju?” “Biar makin asyik.” “Oke udah,” ucap Radit mematikan ponselnya. Tapi bukan Mega namanya yang selalu melakukan segala cara. “Sekarang pakai lagi bajunya.” “Gak mau, gerah,” jawab Mega dan naik ke atas ranjang hanya dengan menggunakan pakaian dalam saja. Radit melihat penuh kebingungan dan tidak bisa berkata kata melihat sosok wanita yang menunggunya untuk berbaring di sana. “Aku yang ke sana atau kakak yang ke sini.” “Oke, oke. Tapi jang⸻” “Oke,” jawab Mega dengan yakin. Radit selalu mengkhawatirkan malam hari, dia tidak siap melihat Mega yang berprilaku seperti ini. Meskipun mereka suami istri, tapi jejak bayangan Mega saat menjadi adiknya masih tetap ada. Dan itulah yang menjadi penghalang dan membuatnya merasa aneh. Ketika lampu dimatikan, Radit berbaring memunggungi Mega. Awalnya dia pikir tidak akan ada yang salah, Radit mulai merasa tenang dan memejamkan matanya perlahan. Sampai akhirnya dia merasakan sebuah tangan merambat dari punggungnya sampai akhirnya memeluknya dan mengusap dadanya. “Mega,” ucap Radit dengan suara baritonnya yang khas. “Kenapa? Kakak bilang pelan pelan, ini pelan.” Radit menarik napas dalam dan mencoba terlelap kembali. Namun ketika d**a Mega menempel di punggungnya, itu sungguh mengganggunya. “Mega, Kakak gak nyaman. ming⸻” “Tidur aja napa, Kak.” Radit mencoba mengabaikan dengan memejamkan matanya. Dan kelebihan Mega adalah, dia tahu apa yang disukai Kakaknya. Yakni pelukan. Saat kecil, Kakaknya tidak bisa tidur sebelum dipeluk dengan usapan di kepala oleh Mila. Dan sekarang Mega melakukan hal yang sama sampai akhirnya Radit terlelap. Melihat suaminya jatuh terlelap, Mega bersiap siap untuk pergi ke rumah orangtuanya. Dan satu hal lagi yang disembunyikan Mega dari Radit, yakni dirinya menyembunyikan motor besarnya di parkiran apartemen. Dia meminta penjaga untuk menjaganya secara khusus sehingga tidak ketahuan. Hanya butuh lima belas menit sebelum akhirnya sampai, apalagi jalanan sangat sepi dan Mega menyalip dengan sangat lihai. Ketika sampai, dia melihat Mila sudah menunggu di luar, membuat Mega khawatir. “Mamah, kok di luar?” Wajah Mila terlihat sedih. “Mah? Kenapa?” “Mamah udah bilang sama Papah kamu.” Mega mengangguk, dia masuk ke dalam. Di mana Tom sudah menunggu di ruangan keluarga. Dan saat Mega mendekat. “Pah, Meg⸻.” PLAK! Tamparan keras itu membuat sudut bibir Mega berdarah. Bukannya menangis, mengumpat atau berontak seperti biasanya. Mega menampilkan wajah datarnya. Bukan datar yang menantang, tapi datar yang menerimanya. “Jangan benci Kakak lagi, Pah. Ini salah Mega.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD