‘ Ya Allah, kenapa mereka begitu membenciku dan juga keluargaku?’ bisik Anin dalam hatinya. Tapi walau bagaimana pun juga, tidak ada kekuatan buat Anin untuk mendebat Reva yang memang kehidupannya jauh diatasnya saat ini. Rangga suaminya adalah pengawas di pabrik Garment yang terletak tidak jauh dari kampungnya, dan juga merupakan tempat kerja Romi laki – laki yang menjadi kebanggaan Haji Sanusi dan terus mengejar cinta Anin sampai saat ini.
Berbeda dengan Dimas yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Penghasilan yang didapat oleh Dimas hanya dari hasil upah setelah menyelesaikan pekerjaan yang disuruh oleh tetangga – tetangganya. Bahkan tidak jarang Dimas bekerja dipasar menjadi kuli panggul sayuran.
Wajar kalau mereka merendahkan Dimas karena keadaan yang menjadikan mereka berbuat seperti itu. Tinggal dirumah sederhana yang merupakan warisan dari almarhum kedua orang tua Anin, yang juga semasa hidupnya serba kekurangan.
Ghozali Ayah Anindya hanyalah seorang kuli bangunan dan juga guru ngaji. Begitu juga dengan Rukmi yang sama – sama mengambdikan diri untuk mengajari anak – anak ilmu agama dan membaca Al-Qur’an. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Sugara yang seorang Dokter dan juga Hamdan yang memiliki peternakan Sapi dan Zaini yang memiliki toko di pasar.
Makanya sejak kecil Anindya hidup serba kesulitan bahkan pendidikannya pun hanyalah sebatas SMA saja. Tidak mampu untuk meneruskan sampai keperguruan tinggi karena tidak ada biaya.
Menikah dengan Dimas lima tahun lalu, karena Anin menyukai sifatnya yang baik, dan juga segi agamanya yang sagat kuat. Hingga membuat Anin merasa yakin kalau Dimas akan menjadi Imam yang sempurna buatnya. Dan hal itu didukung oleh restu kedua orang tuanya yang juga sama – sama mengagumi Dimas dalam masalah keimanannya.
Walau pun kata Haji Sanusi dan kedua keluarga pamannya yang selalu menganggap Dimas itu bodoh dan tidak berguna, tapi justru sebaliknya. Anin merasa kagum dengan kerja kerasnya dan juga perjuangannya yang sama sekali tidak pernah mengeluh walau pun sesulit apa pun kehidupan yang di jalaninya.
Bahkan Dimas selalu menemukan jalan keluar Ketika mereka mendapatkan keulitan. Seperti halnya yang terjadi dua tahun yang lalu, disaan Anin membutuhkan biaya Operasi untuk kelahiran Saffa yang cukup besar, Dimas dengan mudah mampu menyelesaikannya tanpa harus mengemis kepada keluarga besar Anin. Dan tentu saja hal itu membuat tanda tanya bagi Anin sampai saat ini, darimana Dimas mendapatkan uang sebanyak itu?
Selesai mengulek bumbu dan membersihkan kangkong serta memotongnya, Anin dan Samsiah melanjutkan dengan memasukan ayam yang sudah di bersihkan oleh Dimas tadi kedalam panci untuk diungkep, sementara kangkong rencananya akan di bikin masakan biasa saja seperti di oseng, namun aka nada penambahan Jamur dan beberapa bahan lagi.
“ Neng, kalau kamu cape sebaiknya istirahat aja dulu. Biar urusan ini bibi yang negrjain,” ucap Samsiah sambil tangannya mengiris daging sapi yang sudah direbus selama satu jam sebelum dibikin gepuk yang merupakan kesukaan Sugara dan juga keluarganya.
“ Gak apa – apa bi, aku baik – baik saja. Justru aku lebih suka seperti ini daripada harus istirahat apa lagi bergabung dengan mereka didalam. Yang ada aku akan menjadi bahan ocehan abah dan juga mang Hamdan beserta semua anak istri menantunya,” jawab Anin sambil membantu Samsiah mengiris daging sapi.
Anin lebiih senang didapur dengan Samsiah dari pada harus ikut nimbrung dengan saudara – saudara yang lain. Anin tidak tahan dengan mulut mereka yang tidak akan berhenti menyindiri dan membicarakan tentang Dimas, merendahkan bahan menghinanya habis – habisan. Walau pun sering terdengar nada sumbang kalau Anin dan Dimas selalu dianggap orang yang tidak mau akur dengan saudara, tapi itu dilakukan karena tidak tahan dengan ocehan mereka.
Kalau mereka ikut ngobrol, yang ada kehidupan susah Anin dan Dimas akan terus jadi masalah dan jadi bahan hujatan Haji Sanusi juga Hamdan dan keluarganya. Apalagi terdengar kalau anak keempat Haji Sanusi Zaini pun sudah datang Bersama kedua anak dan istrinya, Hanifah, Yoga dan Rian. Tentu saja suasana akan menjadi tambah rame kalau Anin datang dan ikut gabung dengan mereka.
Tidak beberapa lama, Haji Sanusi dan Zaini diikuti oleh Reva masuk kedapur. Sementara Anin dan Samsiah masih sibuk mengiris daging sapi, sementara Dimas hampir selesai membakar ikan guramenya. Wajah mereka tampak sangat tidak ramah seperti biasa. Tentu saja hal ini sering terjadi dan Anin sudah tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
“ Percuma punya wajah cantik kalau hanya mampu mendapatkan suami yang tidak berguna. Itu sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Seharusnya, Kak Anin itu mendapatkan suami seorang CEO bukan kuli panggul pasar,” sindir Reva sambil mendelik kearah Anin dan tangannya mencomot tempe goreng yang sudah matang dari tadi.
Mendengar perkataan Reva seperti itu, Anin hanya bisa menarik Nafas berat. Entah kenapa mereka selalu saja mempermasalahkan tentang kehidupannya. Padahal, walau pun kehidupan Anin dan Dimas susah, tapi selama ini mereka tidak pernah sekali pun meminta pertolongan pada keluarga besarnya.
“ Itulah Namanya orang bodoh, mau – maunya dinikiahi laki – laki miskin kaya si Dimas. Apa istimewanya si Dimas di bandingkan dengan den Romi?” sahut Haji Sanusi menimpali ucapan Reva.
“ Kalau dibandingkan seperti langit dan bumi, abah. Pak Romi itu seorang Manager, keluarganya juga kaya dikampung kita, wajahnya tampan. Tentu sangat jauh kalau dibandingkan dengan Bang Dimas, sudah asal usulnya tidak jelas darimana asalnya, bahkan sampai saat ini kita belum tahu siapa kedua orang tua Bang Dimas,” jawab Reva sambil kembali mencomot tempe.
“ Sepertinya si Dimas itu bukan orang baik – baik,” ucap Zaini, “ Bisa jadi di aitu buronan yang sengaja bersembunyi disini. Mamang juga belum tahu siapa orang tua si Dimas? Darimana dan dari keluarga seperti apa dia berasal,” sambungnya.
Anin hanya bisa menulikan telinganya agar tidak terpengaruh dengan perkataan Haji Sanusi, Zaini dan juga Reva. Sementara Samsiah hanya bisa mengelus d**a sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka yang tidak pernah berhenti menghina dan menjelekan Dimas.
“ Bisa jadi begitu, Zaini. Kalau memang si Dimas itu orang baik – baik, sudah pasti saat dulu menikah keuarganya akan datang. Ini mana ada, satu pun tidak terlihat batang hidungnya,” jawab Haji Sanusi sependapat dengan pemikiran Zaini.
‘ Ya Allah, kenapa pikiran mereka selalu jelek terhadap sumiku? Padahal sampai saat ini Bang Dimas belum pernah sekali pun membuat mereka sakit hati. Bahkan bang Dimas selalu mau disuruh apa pun oleh mereka tanpa imbalan,’ lirih Anin dalam hatinya sambil tak terasanya tangannya menyeka kedua matanya yang mulai berair.
“ Kenapa sih kalian selalu saja mengusik Anin dan Dimas? Memangnya pernah disusaih apa kalian oleh Anin dan Dimas? Apa pernah mereka meminta bantuan pada kalian semua walau pun hidup mereka susah?”
Melihat Anin yang sepertinya begitu tertekan, Samsiah pun akhirnya berkata dengan begitu lantang dan tegas, sehingga membuat semua terdiam taka da satu kata pun terucap. Sepertinya perkataan Samsiah mengenai pangakalnya, sehingga mereka tidak mampu menjawab setiap pertanyaan Samsiah, karena apa yang dikatakan Samsiah benar adanya.