TEMPORARY RELATIONSHIP

1084 Words
"Iya, Anggia tahu. Kan Mama uangnya abis buat ke rumah sakit terus Mama bilang mo jual emas buat Anggia ke rumah sakit." "Anggia!" Dini memang tidak pernah bicara begitu tapi putrinya mengambil kesimpulan sendiri. "Jangan mengasarinya, Dini! Dia gadis pintar, biar aku bicara sebentar." Tapi sebenarnya Dini bukan ingin memarahi. Hanya ingin mengoreksi tapi dia sudah kena omel oleh Rio yang tampak tak suka. "Anggia dengerin mama ngobrol ama yang punya toko emas, ya?" Rio menebak. "Iya Om. Kata mama tambahin, biar cukup buat ke rumah sakit ama beli s**u Anggia." Tak sanggup Dini menatap putrinya. Dia membuang wajahnya sambil menyeka air matanya kembali. Dini tak mungkin meninggalkan Anggia saat dia menjual perhiasannya. Dini terpaksa mengajaknya karena tak ada yang menjaga. Dan Anggia bocah yang cukup pintar. Dini mungkin berpikir seumuran Anggia tidak mungkin mengerti, tapi putrinya sangat cerdas. Keadaan juga memaksa pikirannya untuk berpikir di atas usianya. Fisik Anggia memang lemah tapi daya pikirnya tak bisa disepelekan. Dia pintar sepertimu! bisik hati Dini yang kesal karena dia selalu saja jadi yang paling bodoh. Bahkan tak bisa menyembunyikan kesulitannya dari putri kesayangannya. "Oh, Anggia suka sekolah di tempat yang bagus itu?" "Suka Om Rio. Anggia mau sekolah di sana lagi." Rio pun tersenyum lalu mengecup dahi Anggia tanpa melepaskan genggaman tangan kecil Anggia. Posisi Rio membungkuk, sehingga tubuhnya sejajar dengan Anggia saat bicara. "Oke! Om nanti sekolahin Anggia ke sekolah bagus itu lagi, tapi dengan satu syarat!" "Apa, Om?" "Anggia harus sehat! Jadi Anggia nggak harus di rumah sakit terus." "Tapi beneran kan, Om nggak bohong?" "Iya! Kalau nanti Anggia udah sehat, Om juga kasih Anggia rumah baru buat tempat tinggal Anggia sama mama.” "Ada AC-nya, Om?" "Ada, Anggia mau tidur pakai AC?" "Mau, biar ga digigitin nyamuk." Tuhan! mencelos hati Rio mendengar ini, begitu pun Dini yang tak berani menatap Rio maupun putrinya. Tapi Rio tetap lebih baik berpura-pura karena dia bisa tersenyum menyembunyikan kesedihannya. "Hmm, di rumah baru nanti gak akan ada nyamuknya, Sayang," seru Rio semangat. "Anggia bisa pulang ke rumah itu terus nanti Om juga sekolahin Anggia di sekolah yang bagus yang Anggia suka. Nanti ada mobil yang nganter jemput Anggia kayak dulu waktu Anggia sekolah, ada AC juga di dalamnya." "Jadi Anggia enggak harus jalan kaki capek-capek lagi, Om?" Aku gak tahu pertemuanku denganmu ini adalah berkah atau justru ini akan menghancurkanku jauh lebih dalam lagi dengan janjimu pada Anggia. Melihat kedekatan Rio dan Anggia, apalagi putri Dini itu tersenyum sangat senang mendengar penjelasan dari Rio hatinya begitu pilu. Tuhan, lindungi aku dari menjadi seorang pelakor. Dini merasa hidupnya berantakan karena wanita yang merebut suaminya dan ini terus-terusan digaungkan dalam hatinya kalau dia memang tidak mau menjadi wanita yang seperti itu. Tapi saat ini memang dia membutuhkan bantuan dari Rio. Bukan sebuah bantuan yang memanfaatkan. Ini simbiosis mutualisme karena Dini juga akan mengandung janin untuk Rio dan istrinya. Makanya Dini berusaha tegar dan berpikir positif sambil mendengar jawaban Rio "Enggak dong, Sayang. Anggia nanti tinggal di rumah yang bagus, terus nanti ada mobil yang nganterin Anggia kayak yang tadi Om Rio bilang. Nggak akan lagi Anggia susah. Nanti Anggia juga punya baju-baju yang bagus sama mainan-mainan yang baru. Tapi Anggia harus sehat dulu, ya! Harus keluar dari rumah sakit, ya.” "Iya, Anggia mau! Anggia di sini juga sehat, Anggia enggak sakit lagi.” Obrolan keduanya membuat hati Dini makin pilu. Anaknya makin dekat dengan Rio. Bahkan mereka mengobrol tanpa menghiraukan keberadaan Dini yang masih berdiri di sana. Setengah jam sudah! Mau sampai kapan mereka ngobrol dan gak peduli sama aku? Awalnya Dini diam. Tapi lama-lama kesal juga dirinya karena mereka bicara lebih lama dari yang diperkirakannya. Dan ini malah menambah rasa sakit dalam hati Dini. Rasa yang membuat dirinya tak nyaman. Sungguh terluka.Entah bagaimana ceritanya Dini juga tak bisa menjelaskan apapun. "Anggia sayang, ngobrol sama Om Rio enggak bisa lama-lama, ya. Soalnya Om Rio kan harus kerja. Tuh, lihat Om Rio udah pakai jas kan mau kerja," senyum Rio mendengar ucapan Dini. "Ooo, jadi Om Rio mau kerja, ya?" “Iya Anggia sayang, mama Anggia benar. Om minta maaf, ya. Om harus berangkat sekarang karena ini sudah hampir siang. Nanti Om mampir lagi ke sini!" "Tapi bener kan Om Rio bakalan ke sini?" "Hmm, iya dong. Tadi Om Rio udah janji kan bawain unicorn buat Anggia?" "Asik! Makasih, Om Rio!" Senyum, putriku bisa tersenyum lagi seperti dulu, senyumnya lepas dan dia terlihat bahagia! perih hati Dini yang tak mau mengakui ini, tapi kenyataan memang seperti yang dilihatnya. Memilukan. "Mmuuuah! Cepat sehat ya, Sayang!" Sebelum pergi Rio menyempatkan diri untuk mengecup dahi Anggia barulah dia menatap Dini dengan senyum di bibirnya. "Iya, Om." "Boleh mamanya anterin Om sebentar keluar?" "Iya Om bole." Dini baru mau beralasan tak bisa mengantar karena menjaga Anggia, tapi Rio selalu setahap lebih dulu berinisiatif darinya. "Tapi Mama." Anggia menatap Dini yang sedang menutupi kekesalannya. "Anggia mo kue, Ma." "Anggia emang suka kue apa?" "Rio, ayok. Biar Anggia gak kelamaan nunggu." Belum juga Anggia menjawab, Dini sudah memotong dan membuat Rio berdiri. "Om pergi dulu ya, nanti ada suster temenin Anggia di sini sebentar ya, Sayang." "Iya, Om." Rio yang tadi melihat Anggia di dalam sendirian sebetulnya agak sedikit kesal karena suster tidak berinisiatif menjaganya padahal ibu Anggia tidak ada di sana. Makanya, setelah keluar dia ke meja perawat dulu untuk menjaga Anggia sekaligus memberitahukan kekecewaannya karena tadi Anggia ditinggalkan sendiri. "Kak Rio, seharusnya tidak bicara begitu pada susternya." "Loh, kenapa? Aku kan cuma minta mereka jaga Anggia, aku gak akan pelit dan kalau mereka kerja memuaskan aku pasti memberikan tambahan ke mereka, Dini." Rio tegas mengutarakan alasannya saat mereka sudah ada di dalam lift. "Aku memasukkan Anggia di kamar super VVIP. Ruangan termahal di rumah sakit ini dan hanya ada tiga ruangan. Aku memilih itu karena previlage yang ditawarkan rumah sakit ini untuk pelayanannya. Jadi itu sesuai dengan hakku." Lagi dan lagi Dini memang selalu saja kalah setiap kali dia bicara dengan Rio dan memilih diam berbarengan dengan pintu lift yang terbuka. "Kak Rio mau bicara apa?" tanya Dini, yang ingat kalau Rio memintanya untuk mengantarnya. "Kamu marah padaku karena aku berusaha dekat dengan Anggia, Dini?" Rio memelankan suaranya dan berjalan sangat dekat dengan Dini karena tidak ingin suaranya didengar oleh siapapun. "Sebenarnya kesal, Kak Rio." Dini berusaha jujur karena tidak mau sampai hubungan mereka dipenuhi dengan intrik yang membuat sulit hidupnya ke depan nanti. "Hmm, kamu gak suka aku deket Anggia?" Rio menebak, masih sambil mereka berjalan. "Seharusnya Kak Rio nggak menjanjikan macam-macam ke Anggia karena kita hanya terikat dengan temporary relationship."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD