CEPAT-CEPAT

1207 Words
"Maaf Kak, aku harus menegaskan ini berulang kali supaya tidak ada di antara kita yang melewati batas." "Sssh, batas apa sih, Dini?" Rio meliriknya saat Dini juga memindainya. "Dengar! Aku tentu saja tidak akan membiarkan wanita yang akan mengandung putriku apalagi sudah berstatus sebagai istriku tinggal di rumah kontrakan kecil yang kumuh, Dini. Apa kamu nggak mikir bagaimana kondisi kesehatan janin di dalam perutmu?" "Iya maafkan aku. Tentu aku pikirkan! Tapi mungkin Kak Rio harus menjelaskan kalau rumah itu hanya dipinjamkan dan kami akan pergi setelah aku selesai melahirkan anaknya Kak Rio." Dini lagi-lagi berusaha mengelak. "Kamu gak akan pergi dari sana, Dini." "Kak Rio!" Dini jadi gemas sendiri karena dia memang tidak mau tinggal di rumah orang, apalagi ini rumah Rio. Pria Dini harap selalu bisa menjaga jarak dengannya. "Kamu mengandung anakku nanti tentu aku harus memberikan bayaran yang setimpal untukmu. Dan rumah itu nantinya akan jadi rumah kalian. Aku akan membalik nama rumah itu, Dini." "Kak Rio--" "Itu untuk jasa yang sudah kamu berikan padaku, Dini." Rio meliriknya lagi setelah tadi memang dia bicara sambil menatap lurus ke lorong di hadapannya. "Aku sudah putuskan bayaran apa saja selain biaya pengobatan Anggia untukmu. Dan ini tidak berlebihan. Anak untuk anak. Kamu memberikanku anak yang sehat, keturunan yang aku impikan, maka aku akan memberikanmu kelayakan untuk tempat tinggal putrimu dan memenuhi kebutuhannya, Dini." Rio menekankan lagi. "Ini tidak berlebihan, Dini." Sebetulnya Dini masih ingin mengelak dan merasa semua yang diberikan oleh Rio padanya ini tidak imbang. "Dan aku nggak suka caramu mengusirku seperti tadi Dini. Aku masih ingin bicara dengan Anggia tapi kamu sudah menyuruhku pergi!" cuma Rio mengajukan protesnya, mengalihkan pembahasan. Rio jujur memang kesal karena dia masih ada beberapa hal yang ingin dibahas dengan Anggia. "Maaf Kak Rio. Tapi Anggia memang butuh istirahat. Dan bukannya Kak Rio bilang mau bertemu lagi dengannya nanti? Terus sekarang sudah siang memangnya Kak Rio mau berangkat kerja jam berapa?” "Tapi aku kan memang masih harus menunggu di sini. Handphone-nya belum datang kan." Kenapa aku bisa lupa? Benar juga yang dikatakan Rio. Dia kan tadi akan memberikan handphone untuk Dini. Tapi memang Dini sudah terlanjur sebal sekali karena banyak kata-kata Rio yang seperti memberikan harapan pada Anggia. "Gini aja, Kak Rio. Aku minta maaf sebelumnya, soalnya aku beneran lupa dan aku tadi gak sopan." "Sudahlah. Kamu juga masih kesal padaku kan? Minta maafmu gak tulus, Dini. Hehehe." "Kak Rio, aku gak becanda." Dini protes saat pria di sisinya mencoba mencairkan suasana sambil mereka berjalan belok ke koridor satunya, menuju ke cafetaria. "Iya maaf, sabar Dini, jangan negatif thinking padaku." "Aku cuma minta Kak Rio jangan terlalu banyak menjanjikan sesuatu sama Anggia. Kak Rio liat kan, ingatan Anggia sangat kuat?" Dini memperingatkan dan Rio meliriknya, tapi tak membela diri, menunggu Dini mengutarakan alasannya. "Anggia sudah pernah merasakan sakit ketika papanya udah enggak mau ngakuin dia lagi. Sakit karena tiba-tiba harus tinggal di tempat kecil yang kumuh, Anggia gak pernah hidup sulit. Dia mungkin trauma, Kak. Jadi sebagai ibu Anggia, aku mohon jangan sampai anakku punya masalah mental dan ini mengakar dalam benaknya, kak. maksudku, hubungan kita ini bukan hubungan yang selamanya dan kita tidak menikah dengan cinta! Tolong mengertilah," suara Dini semakin pelan bahkan seperti berbisik saat melanjutkan pembelaannya. "Kak Rio dan Anggia punya batasan." Kalimat yang berbeda, tapi Rio paham artinya menjurus ke mana. Lagi-lagi ini membuat hati Rio terasa sedikit sesak. "Aku mengerti Dini. Tidak perlu menjelaskan itu berulang kali. Dan aku tidak suka jika ada orang yang mendengar seperti yang kamu lakukan, mencuri dengar di koridor saat aku bicara dengan dokter Teddy!" Ya, Dini mengingat itu. Dia juga mengapit bibirnya dan menunduk sambil meminta maaf karena memang dia tidak sengaja dan terbawa emosi barusan. Untung saja koridor masih sepi. Jam segini, banyak yang sudah menunggu di depan ruang praktek dokter. Yang lalu lalang bisa dihitung jari, karena yang menjaga pasien juga sudah bukan jamnya mereka cari makan lagi. "Sudahlah tidak perlu dipikirkan, Dini." Rio tak mau berjanji apapun. "Ayo kita carikan makanan untuk Anggia dulu. Cafetaria udah deket, kan.” Rio menunjuk Cafetaria sekitar tiga puluh meter dari tempat mereka berjalan. "Apa makanan kesukaan Anggia?" "Dia bisa makan apapun." "Itu karena kondisi keuanganmu sedang dalam masalah sekarang. Tapi dia pasti punya makanan kesukaan sebelumnya, kan? Dia suka kue apa? Red velvet? chocolate mo-" "Anggia gak suka!" Rio pun menghempaskan napas ketika dia mendengar ucapan Dini yang dingin. "Kamu enggak mau ngasih tahu aku?" serunya gemas. "Anggia enggak bisa makan banyak macam makanan Kak Rio, karena dia sakit Thalassemia. Aku gak harus menjabarkan ke Kak Rio, mahasiswa terbaik lulusan kedokteran, kan?" sindir Dini yang tentu masih ingat siapa Rio dan latar belakang pendidikannya. Meski Dini tak tahu sekarang Rio kerja apa. "Dini, Maaf ya. Aku hanya berpikir kamu emang nggak mau ngasih tahu aku dan aku lupa dengan penyakit Anggia." Suara Dini tadi sedikit agak meninggi tapi Rio yang sadar kalau dia baru saja melakukan kesalahan, merendahkan intonasi suaranya. Mereka memang seperti sulit berkomunikasi. Mau bicara biasa sulit, bercanda sulit, serius lebih menyakitkan lagi. Bukan hanya Rio yang sulit, Dini juga lagi dan lagi merasa bersalah karena sudah sinis pada orang yang membantu pengobatan putrinya. "Maaf, Kak Rio. Bukan aku bermaksud untuk membentakmu." "Sudah tidak perlu dilanjutkan. Mending kita lihat apa yang bisa dibeli di sana untuk Anggia." Baru juga Rio mau membuka pintu cafe. "Sebentar Dini," handphone-nya bergetar dan Rio segera mungkin mengangkatnya Rio: Halo? Bodoh, kenapa aku gak masuk malah berdiri di sini? seru Dini yang memang malah menunggu di samping Rio. Dini juga tak tahu siapa yang menghubungi Rio. Kenapa dia harus di sisi pria yang bicara di telepon? Rio: Oh ya, saya di cafetaria. Nanti bisa langsung ke cafetaria di lantai dasar. Saya pakai jas warna hitam, saya tunggu di depan cafetaria ya. "Kurir yang bawa handphone bukan, Kak Rio?" Rio melirik Dini dan mengangguk pada wanita yang kini menatapnya sambil sedikit mendongak karena tinggi Rio beda sekitar lima belas senti dari Dini. "Aku tadi udah kasih nomor PIN ATM yang kuberikan padamu, kan?" "Sudah Kak! Aku bisa bayar cash juga.” "Nggak usah, pakai itu aja, Dini," Rio menegaskan lagi. "Oh ya, Cafetarianya bisa pakai kartu nggak?" "Bisa, Kak!" Dini menimpali lagi. "Ya udah pakai itu, ya. Tapi pegang ini kalo gak bisa pakai kartu." "Kak--" "Pegang!" Rio mengeluarkan cash dari dompetnya yang Dini juga tak tahu jumlahnya berapa karena Rio mengambil tanpa menghitung. "Bayar pakai itu kalau gak bisa pakai kartu." "Iya, Kak." Dini pasrah dan mengambil lembaran merah dari tangan Rio. "Aku nunggu kurirnya dulu di sini. Kamu masuk dan order duluan." "Iya, Kak." Fuuh! Dini menghempaskan napas pelan, agak sedikit lega saat Rio membukakan pintu dan dirinya sudah masuk ke dalam. "Mba, saya order yang ini, ini, ini, tolong agak cepat ya, Mbak," seru Dini terkesan buru-buru. Untung dia masih sibuk nunggu kurir! dan Dini sangat memperhatikan sekali gerak-gerik Rio di depan pintu. Dirinya lega, karena Rio tak membalikkan badan. Cuma, Dini agak cemas melihat wadah yang di pilih pelayan cafetaria. "Mbak, gak di piring, take away!" seru Dini yang gusar karena dia lupa memberitahu pelayan tadi, dan sempat mengamati kaca untuk memastikan Rio masih memunggunginya dan serius menunggu kurir. "Tolong masukkan ke dalam kotak kardus, ya! Maksudku dibuat ketutup jangan ada yang lihat isinya, Mbak! Tolong cepet-cepet ya, Mbak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD