OM RIO

1250 Words
"Kak Rio!" "Dini, tanpa handphone aku akan sulit berkomunikasi denganmu. Jangan menolakku. Bagaimanapun usiaku denganmu tiga tahun lebih tua. Aku sudah memikirkan matang-matang apa yang harus kulakukan." Bisa apa Dini sekarang? Semua yang dikatakan Rio benar. Jika ada sesuatu yang penting akan makan waktu jika Dini tidak mempunyai handphone. Rio harus mencarinya ke rumah sakit padahal mungkin saja dia masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dini terpaksa membiarkan Rio mengikutinya. "Dini, jangan pencet nomor lantai itu. Bukan di sana kamarnya, lantai atas lagi." "Kak Rio memindahkan kamar putriku?" Dini mencoba memastikan lagi dan pria itu tersenyum tipis membuat Dini sebetulnya ingin protes. "Maaf ya Dini. Tapi buatku lebih nyaman kalau Anggia ada di ruangan VIP. Dia akan lebih relax. Anggia tidak harus mendengar suara tangisan anak-anak yang berbagi ruangan dengannya. Kondisinya mungkin akan cepat pulih. Dengan begitu, kondisimu yang menjaganya akan lebih fit juga. Kamu bisa beristirahat dan tubuhmu akan siap jika ada benihku nanti." Rio memang cukup pandai dalam memilih diksi saat bernegosiasi dengan Dini. Alasannya juga cukup masuk akal. Cara bicaranya yang santai dan tenang membuat Dini jadi sungkan untuk menolak. Karena lagi-lagi semua yang dikatakan Rio benar. Anggap saja dia memang hanya konsen mempersiapkan kondisiku menerima bayinya. Dini mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh supaya tidak terlalu Ge-Er dan bisa menempatkan posisinya untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat dirinya menjadi wanita yang hina. Sudah cukup rumah tanggaku porak poranda oleh pelakor dan aku tidak boleh melakukan hal yang sama karena karma akan selalu kembali pada yang berbuat. Dini mencoba mengingatkan dirinya sendiri sambil menunggu pintu lift terbuka. Rio dengan gesture tubuhnya seakan memberikan perintah Dini untuk lebih dulu meninggalkan lift sebelum dirinya menyusul. "Ini kamarnya!" meski ujungnya Dini harus menunggu Rio dan berjalan beriringan karena yang tahu di mana kamar Anggia hanya pria itu. Rio tentu tahu berapa nomor kamarnya karena dokter Teddy sudah memberitahukan padanya lebih dulu. "Kak Rio, maaf! Aku tidak bisa biarkan Kak Rio masuk, bukan karena aku tidak sopan tapi Anggia akan bertanya-tanya tentang siapa Kak Rio!" Dini tahu ini tidak pantas dia katakan ke Rio yang sudah membantunya. Tapi anaknya akan berkata apa nanti di dalam? Ini sangat sensitif. Dini belum kepikiran ingin beralasan apa. Kemarin ibunya tidak bersama dengan laki-laki lain dan saat ini membawa teman laki-laki. Dini tahu, Anggia masih sangat kecil sekali untuk memikirkan sampai jauh ke sana. Tapi dia hanya mencoba berhati-hati. "Kalau begitu perkenalkanlah padanya kalau aku adalah temanmu. Kamu masuk lebih dulu dan nanti kamu keluar lagi kenalkan aku padanya. Kurasa dia gak akan masalah Dini" Tapi Rio cukup memaksa kali ini. "Kak Rio--" "Dini, kamu cerita padaku putrimu tahu kamu tidak punya uang. Kalau kamu memindahkannya ke sini, kamu harus memberikan alasan apa?" Rio kembali mencecar. "Apa kamu akan membohongi putrimu? Kamu tahu orang tua berbohong pada putrinya itu tak baik kan?" "Jadi Kak Rio ingin bilang kalau Kak Rio ini temanku dan nanti aku akan memperkenalkan Kak Rio sebagai orang yang membantu kami untuk biaya rumah sakit?" Dini mencoba memastikan dan pria itu pun membenarkan dengan anggukannya lagi. "Ini fair untuknya. Dan mungkin aku bisa berteman dengannya. Setidaknya kalau dia mengenalku dan nanti sudah ada anakku di dalam kandunganmu, akan lebih mudah untukku menjelaskan padanya, meski mungkin Anggia akan berpikir lebih jauh soal ini dan akan kebingungan di awal. Tapi aku hanya ingin kita berusaha untuk jujur ke Anggia." Ya, Dini juga memang tidak suka dengan konsep harus membohongi putrinya. "Kalau begitu, tunggu sebentar." Rio sudah membantu putrinya untuk cuci darah. Kondisi Anggia juga sudah lebih baik saat ini. "Mama!" Bahkan senyum Anggia bisa menunjukkan kalau kondisinya lebih fresh. Meski suaranya lemah, tapi Anggia terlihat senang melihat mamanya sudah menemaninya. "Apa papa pindahin kamar Anggia, Mama?" Dan pertanyaan ini cukup menyakitkan untuk Dini karena memang kenyataannya tidak seperti itu. Putrinya masih terlalu kecil untuk mendapat jawaban tidak dan harapannya sangat besar. Bisa terlihat dari matanya yang berbinar. Tapi Dini tak bisa berbohong karena Anggia cukup cerdas untuk tahu kalau ruangan tempatnya sekarang lebih baik dari kamar yang sebelumnya. "Bukan sayang. Mama juga nggak bisa bayar kamar ini. Soalnya untuk kondisi sekarang, Mama masih terbatas uangnya. Tapi temen Mama yang bantuin bayar." "Temen Mama?" Anggia terlihat bingung. "Hmmm. Temen Mama ada di luar. Waktu Mama mau ketemu dokter ada temen Mama semalem. Dia nanya Mama ngapain di sini, terus Mama kasih tahu kalau Mama lagi jagain anak Mama. Dia tanya anak Mama sakit apa. Terus, temen Mama bilang dia punya uang buat nolongin kita. Jadi dia yang kasih uang ke dokter sama pindahin kamar Anggia ke sini." "Ooooo!" Bocah itu mencoba mencerna apa yang dikatakan mamanya. Meski Dini tahu kalau anaknya pasti belum mengerti betul maksudnya. "Temen Mama udah baik mau bantuin kita, Sayang! Nah, sekarang apa Anggia mau ketemu sama temen Mama terus nanti Anggia bisa bilang makasih, soalnya kita udah ditolongin? Kan kalau udah ditolong kita harus bilang makasih, bener gak?" "Iya." Anak itu pun mengangguk pelan. "Mau, Mama!" "Yeayy, pinter anak Mama!" Dini pun tersenyum lebar sambil mendekat pada putrinya, memeluk dan mengecup dahinya. "Makasih ya, Sayang! Nanti Mama ajak temen mama masuk ke sini terus nanti Anggia bilang sama temen mama, oke. 'Makasih, Om.' Gitu, ya?" "Iya, Mama." "Tunggu sebentar, Mama panggil temen mama masuk, ya!" Cepat-cepat Dini berdiri setelah anaknya mengangguk, dia segera mungkin membuka pintunya dan walaupun sungkan, Dini mengangguk pelan sebagai kode mengizinkan pria yang masih menunggu di luar bertemu putrinya. "Makasih Dini." Rio berbisik pelan saat Dini masih berada di pinggir pintu, lalu secepat mungkin dia menatap bocah yang duduk di tepat tidurnya dengan senyum lebar. "Hai, Anggia!" "Mungkin dia masih malu-malu, Kak Rio! Masuk sini, lebih dekat biar kuperkenalkan padanya." Dini bicara pelan lalu dia berjalan tanpa menatap Rio yang kini mengikutinya. Dini memilih memberikan senyum hangatnya pada putrinya yang terlihat belum terbiasa dengan kehadiran Rio. "Anggia ini teman Mama, namanya Om Rio. Nah, Om Rio nih yang udah bayarin kita pindah ke kamar sini. Om Rio juga yang bayarin Anggia cuci darah, kayak yang tadi mama bilang itu loh.” "Ooooh!" Maklum saja Anggia masih kecil sehingga responnya hanya seperti itu sambil menatap Rio. "Sayang kok cuman oh? Tadi kan Mama bilang supaya bilang makasih ke Om Rio. Anggia lupa, ya?" "Makasih, Om Rio." "Sama-sama, Sayang!" senyum Rio merekah saat mendengarnya. Lalu pria itu pun melangkah mendekat sambil mengulurkan tangannya. "Anggia cantik sekali! Anggia anak hebat! Pasti Anggia bisa cepat sembuh. Om yakin." "Anggia bisa maen ayunan lagi entar kalo udah sembuh?" "Hmm! Bisa dong! Kalau udah sembuh, Anggia besok bisa main ke taman. Anggia mau jalan-jalan ke taman?" "Taman?" "Dia bingung Kak Rio, dia gak main ayunan di taman." Dini mencoba menjelaskan. "Oh, iya, taman, itu loh, Sayang. Tempat main ayunan. Di sana ada bunga juga, ada tempat duduk-duduk, bisa main banyak mainan, ada perosotan, ayunan, banyak deh!" Rio berusaha lebih dekat lagi dengan Anggia. "Oooo, kayak di sekolah Anggia dulu kan? Ada ayunannya, ya Mama?" perih hati Dini ketika putrinya mengatakan itu sambil menatapnya. Yang Anggia tahu memang ayunan itu di sekolahnya bukan taman. Makanya Dini mengangguk dengan air matanya yang membumbung. Dia tak ingin air mata itu tumpah, Dini membuang wajah sebentar dengan jarinya menyeka sudut matanya, lalu kembali mentap Anggia dengan senyumnya lagi. Seberapa besar penderitaanmu selama ini, Dini? hingga Rio yang tak sengaja melihat sikap Dini merasakan getir pahit dalam hatinya. "Oh, Anggia udah sekolah ya, Sayang?" Rio tahu, Dini sulit bicara, jadi dia meng-cover-nya. "Anggia udah sekolah, Om. Sekolah Anggia bagus. Tapi kata mama, Anggia gak bisa sekolah dulu soalnya papa kan udah gak bayarin." "Anggia kapan Mama bilang gitu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD