HARUS MELUPAKANNYA

1128 Words
"Mama Om Rio mana?" "Anggia kamu baru bangun udah nanya orang lain. Padahal ada Mama kamu di sampingmu tapi kamu malah lebih peduli sama Om Rio. Emangnya kamu nggak sayang sama Mama kamu?" Dini sebenarnya merasa kesal pada dirinya sendiri karena dari tadi dia tidak bersikap kooperatif pada putrinya. Dan selepas kepergian Rio, Dini merasa tak nyaman di hatinya dan dia memilih mendekat pada putrinya meminta maaf pada bocah yang masih terlelap itu. Dini merasa kalau dirinya tidak menjadi seorang ibu yang baik tapi sayang semua rasa bersalahnya itu tiba-tiba hilang ketika telinganya mendengar sendiri siapa yang dicari oleh putrinya. "Sayang Mama." "Terus kenapa harus tanya Om Rio? Memangnya nggak bisa main sama Mama?" Seumur-umur Dini belum pernah merasa iri atau cemburu pada putrinya seperti hari ini. Dirinya benar-benar tidak tahan melihat Anggia yang menginginkan pria itu. "Bisa Mama." Ya Tuhan apa sebenarnya aku terlalu kejam pada anakku sampai aku membuat dirinya merasa sangat bersalah sekarang? Dini juga sebenarnya tidak mau menyakiti putri kesayangannya apalagi wanita itu tahu kalau putrinya baru sembuh sakit. Makanya saat mendengar jawaban dari Anggia dan sikap patuh dari Anggia yang tak mau lagi menyakiti hati mamanya malah membuat dirinya merasa bersalah. "Om Rio itu kan harus kerja, makanya dia nggak ada di sini. Tapi kan di sini ada mama dan seharusnya kamu tanya itu Mama bukannya tanyanya Om Rio." Dini akhirnya berusaha memelankan suaranya dan tidak lagi mengumbar emosinya. "Iya Mama. Tapi tadi Om Rio bilang kalau aku udah bangun tidur aku mau diajak main lagi makanya aku tadi tanya Om Rio ada di mana." Anggia memang anak yang cukup pintar. Dia punya alasan kenapa dia harus berkata begitu dan bersikap seperti ini. "Ya sudah. Om Rio janji begitu bukan berarti nanti kamu bangun tidur dia langsung ada di sini. Mungkin saja dia ingin bilang kalau nanti setelah dia bekerja baru dia akan ke sini. Bukannya dia harus bekerja? Kalau nggak dari mana dia pinjamin Mama uang buat bayar rumah sakitnya?" "Oh iya Anggia lupa Mama." Bukan lupa. Dia memang tidak mengerti karena dia memang masih seumur ini. Aku memang yang terlalu kejam padanya tapi aku memang harus membuat dirinya berpikir ya begini. Dia tidak boleh bergantung pada Rio. Mungkin aku memang salah karena meminta bantuan padanya. Tapi bagaimana aku bisa melewati semua ini kalau aku tidak minta tolong padanya? Dini sudah benar-benar buntu tapi sekarang dirinya jadi gamang. Dia tak tahu apakah yang dilakukannya kemarin itu baik atau tidak. Yang pasti sekarang dia merasa sangat bersalah sekali pada putrinya dan mendekap gadis itu sangat erat. "Anggia mau makan dulu sekarang?" "Mau Mama." Dini tak tahu lagi harus berkata apa dan dia berusaha mengalihkan pikirannya saja dengan mengajak Anggia melakukan sesuatu yang lain. Dini yakin ini lebih baik untuk mereka berdua daripada harus terus-terusan membicarakan Rio yang membuat emosinya bertambah dan harus mengomeli putrinya tanpa ada kesalahan dari Anggia. Dini tak suka. Dia belum pernah memaki-maki putrinya seperti tadi dan meninggikan suaranya seperti itu. "Sebentar ya Mama ambilin makananmu." Dini sudah berdiri dan mengambil makanan pasien yang memang sudah disiapkan oleh catering rumah sakit "Nah ayo Anggia makan dulu." Dini yang sudah mendekat kini duduk di sisi tempat tidur dan sudah mendekatkan satu sendok makanan untuk putrinya. "Enak nggak?" Dan Anggia yang tadi menyuapnya tanpa berkata-kata membuat Dini penasaran. Saat anak itu sudah menelan makanannya Dini pun bertanya. Dia hanya penasaran saja karena tidak ada ekspresi di wajah putrinya. "Enak Mama." "Anggia nggak boleh bohong sama Mama. Kalau memang Anggia nggak suka nanti Mama nggak akan suapin lagi. Mama kasih makan aja yang disuka. Soalnya rasa makanannya emang agak hambar sih. Hehehe. " Dini sudah menyuap satu suapan dan dia memang merasakan makanan rumah sakit memang berbeda dengan rasa makanan yang ada di restoran. "Enak Mama." Tapi Anggia tidak komplain. Dia tetap menjawab seperti jawaban yang tadi. “Anggia yakin nggak bohongin Mama?" "Enggak Mama ini enak." "Ya udah kalau Anggia bilang enak Mama suapin lagi ya." Anggia menurut. Dia melakukan apa yang diperintahkan oleh Dini dan membuat hati wanita itu sedikit melupakan semua rasa kesalnya karena Anggia tadi menanyakan Rio. "Syukurlah makanan Anggia sudah habis. Mama senang lihat makanannya habis. Sekarang Anggia mau ngapain? Mau minta apa? " Dua pertanyaan pun diberikan oleh Dini karena dia ingin sekali memberikan sedikit hadiah untuk putrinya yang sudah menghabiskan makanan. Seperti reward untuk putrinya yang sudah berhasil melakukan perintahnya. "Anggia sekarang mau diem aja di sini sama nonton TV terus Anggia mau minta Mama kirim pesan ke Om Rio kalau nanti Anggia mau main bareng lagi." Kupikir setelah waktu yang kami habiskan dari dia bangun tidur sampai sekarang sudah bisa membuatnya melupakan pria yang sebenarnya tak ingin lagi kuingat. Tapi malah dia memberikanku permintaan yang sulit. Wajah Dini memang terlihat senyum dan dia tidak mempermasalahkan permintaan Anggi tapi jauh dari dalam lubuk hatinya dia merasa sangat terganggu sekali. Itu bukan sebuah permintaan yang mudah Tapi mampukah dia mengecewakan putrinya? "Asik. Nanti mama bilang sama Om Rio ya." Cuma mata anak itu yang penuh harap berhasil membuat Dini memilih mengangguk meski ujung-ujungnya dia kembali mengumpat dirinya sendiri. "Sayang Om Rio itu lagi sibuk. Lagi kerja. Kalau Mama telepon nanti Om Rio keganggu. Nanti dia nggak bisa jualan ke kliennya. Dia nggak bisa fokus rapat karena mikirin Anggia pengen maen. Anggia nggak pengen kan kalau nanti Om Rio jadi nggak bisa kerja dan kepikiran terus sama Anggia?" "Oh iya Mama." Dan untunglah anaknya Dini memang sangat pengertian sekali. Ini yang membuat ibunya tersenyum lega. "Ya sudah. Sekarang Anggia jangan tanya-tanya Om Rio terus ya. Biarin saja Om Rio lakuin apa yang Om Rio mau kerjakan. Lagian dia sekarang lagi kerja. Anggia ngerti?" "Iya Mama." "Nah sekarang yang harusnya Anggia lakukan kita main aja sambil belajar mau?" "Iya Mama." Lega sekali hati Dini karena dia memiliki putri yang mengerti tentang apa yang dia inginkan. Maaf ya Anggia. Mama bukannya nggak mau ngebiarin kamu main. Mama tahu harusnya Mama enggak melarangmu untuk memikirkan tentang ayah biologismu yang memang sudah menyelamatkan kita. Tapi dia adalah pria dari masa lalu Mama. Pria yang gak mau Mama ingat dan Mama khawatir sikap memanjakan yang dilakukan padamu yang akan membuat masalah baru untuk keluarga kita. Jauh di dalam hati Dini dia yang sedang mengajak main anaknya dengan mainan-mainan yang diberikan oleh Rio tak kuat dan sudah meminta maaf. Tapi memang Dini berusaha untuk membuat putrinya tidak lagi mengingat pria itu. Dan apakah yang dilakukan Dini ini berhasil untuk membuat Anggia seterusnya tidak akan lagi mengingat Rio? Syukurlah dia sudah lelap. Kurasa dia tidak mengingatnya lagi. Dia bermain denganku dan fokus pada permainannya sampai kecapean. Aku hanya perlu memperingatkan Rio. Dini yang sedang menaikkan selimut untuk menjaga putrinya agar tetap hangat sudah berpikir sesuatu di dalam benaknya. Mungkinkah sebaiknya aku bertemu dengan Rio di luar ruangan ini saja untuk menghindari Anggia bertanya tentang dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD