DOKTER ANAK

1210 Words
"Maaf, aku tahu hidupmu sangat sulit sekali dengan beban anak yang ada di dalam kandunganmu, Dini." "Bukan salah Kak Rio. Dan aku tidak ingin membahas masalah ini. Kumohon jangan beritahukan apapun pada Anggia. Biarkan semuanya tetap seperti ini." Dini sebenarnya masih ingin meninggikan suaranya dan ingin marah. Tapi dia tahu kalau putrinya baru sembuh sakit. Kalau dia melakukan itu sama saja seperti dia menyakiti Anggia lebih parah lagi. Dini yang berusaha untuk bersabar kini mencoba untuk bernegosiasi dengan Rio meski hatinya sebetulnya masih enggan. "Tetep aja ini salahku. Aku dulu cuman pria miskin yang tidak bisa memberikan apapun sehingga kamu harus nikah dengan Satrio. Coba kalau aku kaya dan bisa diterima keluargamu." "Kak Rio, sudah!" "Tapi emang begitu kan kenyataannya?" "Bukan salah Kak Rio." Dini sudah mengatakan dia tak mau membahasnya tapi Rio masih mencecarnya. "Tapi memang takdir harus seperti ini. Dan ini adalah hidupku dengan Anggia. Nggak ada urusannya sama Kak Rio." "Dini jangan bilang begitu.” "Karena memang kenyataannya begitu." Dini sebenarnya tak ingin menatap Rio. Tapi karena dia ingin memberikan penegasan ini makanya memindai Rio. “Kisah kita sudah berakhir," lagi Dini bicara tegas. "Dini--" "Sudah Kak. Papaku tidak menginginkan hubungan kita. Papaku menginginkan aku bersama dengan seseorang yang kaya raya yang bisa menopang kehidupanku. Itu yang membuatnya memintamu untuk menjauh dariku. Dan aku tahu kamu tidak menginginkan itu begitupun aku yang juga tidak menginginkan itu saat itu. Kutegaskan, saat itu!" Dini mengulangnya. "Tapi kita tidak ada pilihan. Karena aku dipaksa untuk menikah dengan pria pilihan papaku. Dan saat itu aku tidak tahu kalau aku sedang mengandung anakmu. Jadi ini bukan salahmu, sudahlah Kak Rio, aku lelah dan tak mau bahas ini lagi!" Sebuah kenyataan pahit yang membuat hati Rio merasa perih. Sungguh dia menyesal sekali dengan semua yang sudah dia lakukan dulu pada Dini. "Harusnya aku mempertahankanmu dan memaksakan diri menikahimu. Harusnya aku mencarimu dan harusnya aku mengambilmu dari papamu." "Sudahlah Kak Rio, tak perlu ada kata harusnya. Kisah kita sudah berakhir." Dini bersikeras. "Biarkan ini menjadi rahasia kita. Maaf karena aku berusaha untuk menyembunyikan ini karena aku tidak mau menjadi wanita yang merusak rumah tangga orang lain." "Dini kamu enggak pernah begitu, kamu--" "Kak Rio. SUDAH!" Dini tak membiarkan Rio bicara. "Aku adalah wanita yang suamiku diambil oleh wanita lain dan seluruh harta peninggalan keluargaku diambil oleh wanita lain." Dini menekankan sesuatu pada Rio. “Dan aku tidak mau menjadi wanita yang seperti itu. Home Wrecker, aku gak mau, jadi SUDAH. Lagian rasaku untuk Kak Rio udah gak ada." Dini bersikeras dengan pendiriannya. "Gak Dini." "Udah Kak. Jangan jadikan aku wanita yang merusak rumah tangga kalian. Aku di sini hanya untuk melahirkan anakmu saja dan tolong nanti jaga buah hati kalian baik-baik. Dan kita sudah punya perjanjian. Hubungan kita sudah selesai di masa lalu jadi Kak Rio tidak perlu merasa tidak enak padaku. Anggia adalah tanggung jawabku." "Dini." "Kumohon aku butuh waktu sendiri. Pergilah dulu dan biarkan aku disini bersama Anggia." Rio sebenarnya tidak mau pergi. Dia ingin bicara dengan Dini lebih banyak lagi. Dia ingin menenangkan hati wanitanya. Dia ingin melakukan sesuatu dengan tangannya untuk menghapus air mata Dini. Dia ingin mengatakan pada Dini kalau semua akan baik-baik saja karena dia tidak akan pernah meninggalkan Dini. Meninggalkan cinta pertama yang masih sangat dicintainya itu. Keadaan yang membuat mereka berpisah. Kesalahan yang membuat mereka terikat seperti ini. Dan cinta mereka kini sudah ada dalam bentuk manusia. Haruskah dia meninggalkan wanita yang dicintainya dan kini sudah ditemukannya lagi? Apalagi ada benihnya. Anak yang sangat membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Mampukah dirinya bersikap dingin? Tapi apakah Dini akan baik-baik saja kalau dia tetap bertahan dalam ruangan itu sedang mata wanita itu sudah berkaca-kaca? "Udah selesai urusan lo sama dia?" Rio memang akhirnya pergi. Dia memilih menurut pada Dini setelah wanita itu semakin tak bisa mengendalikan dirinya dan menumpahkan air matanya. Rio ingin menenangkan tapi Dini tak mau. Dia hanya meminta Rio untuk pergi sebagai caranya bisa berpikir waras. Dini bahkan memohon karena dia tidak mau saat anaknya bangun harus melihat air matanya yang bercucuran. Dan inilah yang membuat Rio akhirnya mengangguk setuju dan keluar dari ruangan itu. Meski berat dan meski hatinya berkata tidak. "Kenapa lagi lo?" Orang yang bersama Rio makin mempertanyakan sikap Rio yang tak mau menjawabnya. Rio tak meninggalkan rumah sakit, justru masuk ke tempat praktek sahabatnya. "Lo nggak berangkat ke kantor?" Rio masih belum menjawab pertanyaan ketiga ini. "Rio. Lo baru dua hari tinggal sama cewek itu. Maksud gue balikan lagi ama dia. Tapi hidup lo udah berantakan kayak gini. Bahkan udah nggak fokus. Mau jadi apa lo?" tanya yang juga malas dijawab oleh Rio. Dia tidak peduli apapun untuk masa depannya dan dirinya sendiri saat ini. "Hidup lo masih panjang Rio. Dan inget yang gue bilang, Christa itu udah sayang banget sama lo. Masa iya lo tega mau ngehianatin dia sih?" Temannya lagi-lagi memberi wejangan karena dia melihat Rio dalam kondisi yang semakin sulit. Dia tak tega juga, "Rio, Lo denger nggak sih gue bilang apa?" Dan dia jadi kesal sendiri melihat sikap temannya yang tak acuh. "Coba lo lihat deh apa Christa subur?" Akhirnya Rio bicara yang membuat temannya tersenyum senang. "Nah gitu dong. Fokus sama kehidupan lo yang sekarang. Fokus sama rumah tangga lo. Nggak usah lagi lo pikirin cewek itu. Dia memang mungkin masa lalu lo dan lo bahagia sama dia tapi nggak masuk akal kalau lo pilih dia. Lo nggak mungkin kan ninggalin semua kehidupan lo yang udah enak kayak gini ama Christa demi dia? Kenyamanan yang nggak mungkin lo bisa dapet lagi kalau lo ninggalin Christa. Baru ini bijak dan baru gue suka." "Banyak omong lo Ted." Teddy tadi wajahnya sudah kesal sekali dengan Rio tapi mendengar pertanyaan Rio barusan hatinya merasa lebih lega. "Nanti gue bikin janji sama Christa kapan dia bisa kita cek dulu." Rio tak menjawab. Karena dia memang tidak mau menjelaskan apapun pada Teddy. "Masalah beres. Terus sekarang lo ngapain masih di sini? Lo nggak kerja?" "Ada lowongan dokter nggak di sini buat gue?" "Maen-maen lo." Makin kaget lagi Teddy mendengarnya. "Gue serius." "Lo mau jalanin profesi lo lagi? Duit dari Christa kan dah berkali-kali lipat gaji dokter." "Lowongan Dokter anak. Ada gak?" Rio menegaskan lagi, tak peduli dengan pertanyaan Teddy. "Jangan bilang kalau lo-" "Gue ini masih punya kemampuan sebagai dokter anak. Kasih gue kerjaan di sini jadi dokter anak, Ted." Bukan menjawab Teddy malah menyandarkan punggungnya disandaran kursi dan menatap Rio, sambil menghela napas. "Sebenernya apa sih yang lo cari dari cewek itu? Dia sumpah enggak ada menarik-menariknya Rio. Jauh ama bini lo, dari segi body, muka, rambut, kulit, ampun. Gak ada menriknya." "Gue enggak minta lo komentarin Dini. Gue minta lo cariin gue kerjaan sebagai dokter anak!" tegas Rio meninggikan suaranya. "Kayaknya dari semua saham yang gue miliki di sini harusnya nggak akan bikin lo sulit buat kasih gue pekerjaan yang gue minta. Lagian, semuanya mumpuni. Latar belakang gue juga. Kalau perlu dites pun bisa." "Rio, lo serius?" Teddy bisa melihat dari sahabatnya itu kalau dia memang tidak bercanda. Tapi ini malah membuatnya semakin merasa berat "Jujur sama gue!" pinta Teddy dengan rasa kepo yang besar dalam dirinya dan membuatnya sampai mencondongkan tubuhnya duduk menghadap Rio sangat serius. "Apa Lo nggak akan pernah ngelepasin Dini dari statusnya yang jadi istri lo ini meski dia udah lahirin anak lo ama Christa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD