INGKAR JANJI

1199 Words
"Anggia, ini sudah malam dan mainnya juga sudah terlalu lama. Kenapa tidak tidur dulu?" "Mau tunggu Om Rio, Mama. Katanya kan Om Rio mau ke sini lagi.” Dini tahu seharusnya dia merasa senang karena dia tidak terganggu lagi oleh Rio yang memang tidak kembali ke dalam kamar perawatan putrinya setelah tadi pagi menjelang siang Dini mengusirnya. Tapi ada perasaan sedih juga karena melihat anaknya jadi menunggu-nunggu pria itu. "Mama lupa kasih tahu Anggia kalau tadi Om Rio kirim pesan ke Mama katanya dia banyak kerja jadi dia lembur dan tidak bisa ke sini. Jadi sekarang Anggia tidur dulu aja. Mungkin besok pagi kalau urusannya Om Rio sudah selesai dia ke sini." "Ooo." Anaknya pun menurut meski sebetulnya dia ingin bertanya lebih pada Dini cuma tak ingin membuat ibunya pusing. "Anggia kenapa? Kok nggak tidur-tidur?" Cuma tetap karena ada rasa mengganjal di dalam hatinya putri Dini tidak mau memejamkan matanya. Dini yang melihat keresahan putrinya pun bertanya. "Mama tadi kata dokter besok aku udah boleh pulang kalau udah sehat. Nanti aku ketemu sama Om Rio dulu nggak?" Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang sulit. "Kata Om Rio nanti kan aku pulangnya nggak ke rumah kontrakan kecil itu lagi kan?" Dan Anggia memang cukup pandai juga memiliki ingatan yang kuat sehingga hampir semua yang dikatakan orang padanya tidak akan pernah dilupakannya. Ini juga yang membuat Dini makin kesal dan menggerutu di dalam hatinya. "Anggia nanti ya kita bahas itu. Sekarang Anggia tidur dulu saja. Mama juga tidak bisa menjawab apa-apa kalau soal itu. Lagian kalau kita minta Om Rio buat kasih rumah baru bukannya itu nanti akan merepotkan? Berapa nanti uang yang harus dikeluarkan sama Om Rio? Sedangkan mungkin dua atau tiga bulan lagi Anggia harus ke dokter lagi dan itu biayanya juga banyak. Mama harus berhutang berapa banyak lagi sama Om Rio?" "Ooo, iya Mama. Jadi nanti kita susah bayar sama Om Rio?" "Hmm. Anggia nggak usah ngebahas masalah tempat tinggal baru dulu ya. Mama nggak enak sama Om Rio. Lagian kita bisa pikirin nanti tempat tinggal yang baru tapi nggak di kontrakan lama. Mungkin tempat tinggal kos-kosan yang udah lengkap pakai AC juga tapi harganya nggak semahal tinggal di rumah dan ada dapur buat kita masak berdua." "Ada AC? Asik." Anggia sejujurnya memang merasa tak nyaman tinggal di kontrakan sederhana tapi memang Dini tidak punya uang lagi waktu itu. Dia sudah biasa dengan kehidupan mewahnya dan agak sulit dengan kondisi keterbatasan rumah barunya. Bisa punya AC sudah terbayanglah kamar tidurnya yang dulu. Ini membuat hatinya sedikit bahagia dan bisa menerima penjelasan Dini. Anggia pun mau memejamkan matanya. Meski saat anaknya sudah terlelap hati Dini malah ketar ketir tak enak. Apa kau marah padaku? Dini yakin sekali apa yang dia katakan pada Rio termasuk sikap dan penolakannya pasti membuat pria itu tidak nyaman. Tapi Dini sendiri juga tidak mau tertarik lagi ke masa lalunya apalagi sampai harus menumbuhkan perasaan yang seharusnya memang sudah dihilangkannya. Tapi seharusnya kau mengabariku dari siang atau dari sore hari kalau kau tidak kembali lagi ke sini supaya putriku tidak harus menunggu-nunggu dirimu. Cuma memang ada yang Dini kesalkan dari sikap Rio yang tidak mau memberikan kabar. Dia juga sudah berencana untuk bicara dengan Rio hari ini tapi jadi batal. Dini sudah menyusun semuanya apa yang harus dia bahas tentang Anggia dan tentang kerjasama yang mereka buat. Ssh, harusnya aku tidak marah padamu. Harusnya aku merasa senang kau tidak datang ke sini karena kau sudah kembali lagi berpikir jernih kalau hubungan kita bukan hubungan seperti dulu. Tapi kenapa kok aku malah jadi uring-uringan ya? Dini tahu jalan pikirannya ini salah. Rio tak datang. Lalu kenapa dia harus pusing sendiri? Kalau menggunakan otak sehatnya dia seharusnya senang. Tapi kenapa sekarang dia jadi gelisah bahkan tidak bisa tidur juga. "Hampir jam dua belas malam, aku masih juga tidak bisa tidur." Dini yang tidur di bed untuk penunggu pasien, sudah berdiri dan mendekat pada putrinya Dia tidur pulas sekali. Sampai selimutnya berantakan. Dini merapikan lagi selimut putrinya sambil tersenyum dan mengamati wajah yang terlihat damai sekali dalam kondisi terlelap. Seharusnya ini melegakan untuk Dini tapi dirinya justru merasa semakin bersalah. Selama aku pergi dari rumah, aku tidak pernah melihat putriku tidur terlelap. Tapi sejak aku bertemu dengan kak Rio dan dia membantu kami dari segi finansial putriku sepertinya menikmatinya. Lalu apa yang aku katakan padanya terlalu kejam kah? Dini pusing sendiri. Dia menjauh dari putrinya bukan hanya karena perasaan tidak enak setiap kali dia menata putrinya dan teringat Apa Yang Rio lakukan untuk kenyamanan mereka berdua. Wajahnya juga menggangguku. Karena setiap kali aku melihatnya aku jadi terbayang-bayang lagi dengannya. Ini makin sulit untuk Dini karena memang putrinya adalah wajah perempuan dari Rio. Jadi wajah pria itu juga jadi terus menari-nari di dalam benaknya. Bukan hanya mengingatkan kenangan antara Dini dan Rio beberapa hari terakhir ini tapi juga membuka kenangan lama yang membuat hatinya terasa semakin sakit. “Aku tidak bisa begini terus lama-lama aku bisa gila.” Dini berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil memukul-mukul kepalanya sedikit karena dia merasa pusing sekali pikirannya terus saja mengembalikan ingatan-ingatan lamanya. Semua kenangan manis yang seharusnya memberikan kebahagiaan karena memang dalam kenangan itu semua yang dilihat ini adalah hal-hal yang romantis. Tapi ini malah membuat dirinya menitikkan air mata dan semakin pengap perasaannya. “Sampai kapan aku harus begini terus?” Setengah jam berlalu. Jam juga sudah menunjukkan lewat dari jam dua belas malam. Ini sudah hampir jam satu malam tapi Dini masih belum bisa tidur. Rasanya pikirannya tidak pernah lagi memberikan kesempatan untuk memikirkan yang lainnya. Apa ini semua muncul karena rasa bersalahku? Dini jadi semakin yakin kalau semua kegundahannya ini karena seseorang yang sudah disakitinya tadi siang dan diusirnya. Apakah kalau Dini tidak mengusirnya maka perasaannya tidak akan seburuk ini? Apa mungkin sebaiknya aku meneleponnya ya dan aku minta maaf? Sampai timbul perasaan dalam hati Dini untuk melakukan sesuatu yang memang tidak pernah direncanakan olehnya. Dia menatap ke arah handphonenya dan langkah kakinya juga sudah mendekat dengan tangannya yang masih ragu-ragu mengambil benda pipih itu. Eh tapi ... Kenapa aku harus menghubunginya? Toh bukan salahku. Aku mengatakan yang sebenarnya dan aku melarangnya untuk datang ke sini karena aku tidak mau menjadi benalu dalam hubungannya dengan istrinya. Kalau aku menghubungi sekarang tengah malam begini dan dia sedang tidur dengan istrinya bukankah ini akan menjadi perkara baru untukku? Dini merasa lega karena pikiran sadarnya tidak membuatnya melakukan sesuatu yang bisa membuat suasana jadi semakin kacau balau untuk dirinya. Dia menaruh lagi handphone itu dan berusaha menjauh. Ingin melupakan semua rencananya. Dini berusaha mencoba mencari pengalihan. "Sayangnya tidak ada minuman berasa di sini." Dini mencoba mencari minuman yang bisa membuat dirinya berpikir jernih. Tapi memang tidak ada apa-apa di dalam ruangan itu selain dispenser air. Matanya pun menata putrinya yang masih terlelap. “Mungkin kutinggal dulu ke cafe tidak masalah kali ya?" Karena kalau Dini tidak melakukan apapun di dalam ruangan itu dia justru tidak akan bisa tidur sampai besok pagi. Dini pun memutuskan untuk meninggalkan kamar perawatan putrinya dan mencari sesuatu yang bisa diminumnya. Karena itulah dia sudah memakai sendalnya dan bergegas menuju arah pintu. Namun belum Dini menutup pintu dia sudah terkaget dengan seseorang yang berada di luar kamar itu dan memang tidak dilihatnya dari tadi. "Kak Rio, dari kapan ada di sini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD