"Ulat, ada ulat." ujar Nada gemetar.
Adam ingin tertawa tapi tidak tega saat melihat Nada sangat ketakutan. Gadis itu memeluk tubuh Adam dan menyembunyikan wajahnya di bawah ketiak Adam. Adam menepuk-nepuk punggung Nada agar Nada sedikit tenang.
"U-ulatnya ada banyak. War-warnanya hijau."
Nada terbata, masih enggan mengangkat wajah dari tubuh sang kakak.
"Kau masih takut ulat? Apa kau jadi trauma gara-gara kejadian waktu dulu?" tanya Adam.
Nada menengadah. "Jangan ingatkan aku pada kejadian waktu itu. Kalau ingat, aku jadi ketakutan setengah mati."
Adam membuang muka. Bukan apa-apa, jaraknya dan Nada jadi sangat dekat. Saat Nada menengadah, wajah Nada nyaris menyentuh rahang Adam.
"Dimana ulatnya?" tanya Adam.
"U-ulatnya di dekat jendela. Sepertinya ulat itu berasal dari daun pohon kelapa yang menjuntai sampai ke jendela." jawab Nada.
Adam sedikit mendorong tubuh Nada untuk melepaskan diri. Bukannya terlepas, Nada justru memeluk semakin erat.
"Kalau kau terus seperti ini, aku tidak bisa membuang ulatnya." ujar Adam.
"Tapi aku masih takut."
"Kau tunggu disini. Biar aku yang masuk untuk membuang ulat-ulat itu. Disini tidak ada ulat, kau aman." perintah Adam.
Nada akhirnya mengalah. Dengan pelan, Nada mulai melepas pelukan. Adam segera masuk ke kamar dan membersihkan ulat-ulat hijau yang Nada maksud. Di luar kamar, Nada menunggu dengan gelisah. Nada bahkan tidak sadar kalau dia hanya mengenakan handuk.
"Apa ulatnya sudah dibuang?" tanya Nada saat melihat Adam keluar.
Adam mengangguk. "Aku sudah menutup jendela. Ulatnya masuk melalui jendela yang terbuka. Besok pagi suruh pak Gion memangkas daun yang mengarah ke kamarmu. Kalau daunnya belum dibereskan, kemungkinan ulat itu akan masuk lagi."
"Kalau jendelanya sudah di tutup, ulatnya tidak bisa masuk lagi kan?" tanya Nada khawatir.
"Entahlah. Ulat juga bisa masuk melalui lubang angin." jawab Adam.
Seketika wajah Nada kembali pucat. "Bagaimana kalau ulatnya masuk lagi?"
"Kau tinggal ambil sapu atau buang pakai sesuatu yang panjang." jawab Adam enteng.
"Kalau semudah itu, mana mungkin aku berteriak memanggil kakak." gerutu Nada.
"Sekali-sekali kau harus berani melawan rasa takut. Bukan hanya takut ulat, kau juga takut ke dapur sendirian. Memangnya di dapur ada hantu? Masuklah, ulatnya sudah tidak ada. Kau juga harus mandi." perintah Adam.
Nada baru sadar kalau dia hanya mengenakan handuk. Seketika wajah Nada memerah. Nada berlari ke dalam kamar dan menutup pintu dengan kuat. Nada malu dilihat Adam dalam kondisi seperti itu.
***
Pukul 7 malam Nada turun ke lantai bawah dengan rambut yang masih basah. Nada menghabiskan lebih banyak waktu di kamar mandi untuk menghilangkan ketakutan karena melihat ulat. Saat Nada turun, Adam sudah membeli makanan untuk makan malam mereka. Laki-laki itu dengan telaten menyiapkan alat makan dan meminta Nada duduk.
"Kakak tidak jadi kerja kan?" tanya Nada pelan.
Adam menggeleng. Seketika raut wajah Nada berubah tenang. Sepertinya Nada masih ketakutan dengan insiden ulat sore tadi.
Nada dan Adam makan dalam diam. Tidak ada obrolan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Pun selesai makan, mereka duduk dan nonton di ruang keluarga yang sama tanpa berniat untuk membuka percakapan.
"Apa kakak pernah ciuman?" tanya Nada tiba-tiba.
Nada menanyakan hal itu setelah melihat adegan ciuman di layar televisi.
"Lain kali nonton televisi lokal saja. Hal-hal seperti ini tidak layak untuk di tonton." ujar Adam.
"Astaga! Aku sudah 22 tahun kak. Aku bukan bocah SMA." tegas Nada.
"Aku yang sudah 27 tahun saja masih malu menonton adegan seperti itu. Umur bukan jaminan kedewasaan seseorang dalam mengambil sikap. Bisa jadi setelah menonton yang begituan kau jadi ingin melakukannya." terang Adam.
"Memangnya kenapa? Ciuman ya ciuman. Memangnya manusia bisa hamil hanya karena ciuman?"
Adam berdecak kesal. "Awalnya memang cuma ciuman. Tapi apa kau yakin setelah ciuman tidak akan terjadi apapun?"
"Memangnya apa yang bisa terjadi?" tanya Nada serius.
"Lihat adegan itu." tunjuk Adam pada layar televisi.
"Awalnya mereka cuma ciuman. Lama-lama seluruh tubuh mereka dialiri hawa nafsu yang menyeret mereka ke atas ranjang. Setelah itu kau tau sendiri apa yang akan terjadi." lanjut Adam.
"Apa efek ciuman selalu seperti itu? Kakak pernah mengalaminya? Berarti kakak pernah ciuman dong?" tanya Nada.
"Mana ada laki-laki yang belum pernah ciuman di usia 27 tahun. Itu pertanyaan yang sangat konyol." jawab Adam.
"Lalu rasanya seperti apa?"
Kali ini Nada sangat antusias. Sejak melihat ciuman Panji dan pacarnya pagi tadi, ditambah adegan yang Nada lihat di layar televisi, Nada jadi semakin penasaran seperti apa rasanya berciuman.
"Entahlah. Sesuatu seperti itu mana bisa diceritakan. Ngomong-ngomong kenapa sejak tadi kau terus mengajakku bicara? Biasanya kau sangat cuek dan menghindar setiap kali kita berdekatan. Malam ini kau sangat aneh. Kau juga tidak langsung pergi ke kamar seperti yang biasa kau lakukan." selidik Adam.
Nada tersenyum kecut. "Sebenarnya aku masih takut. Setiap kali menatap ke arah jendela, ulat itu seakan-akan masih ada di sana. Aku juga tidak berani tidur di kasur. Jangan-jangan ada ulat di dalam selimutku."
Adam berdecak pelan. "Sudah kuduga. Kau tidak pernah bersikap seperti ini kalau tidak ada sesuatu."
"Malam ini anggap saja hubungan kita sangat dekat. Dengan begitu, aku bisa tertidur tanpa harus kembali ke kamar. Kakak tidak keberatan kan?" tanya Nada.
"Lakukan sesukamu." jawab Adam.
Nada tersenyum meskipun tidak tau apakah Adam akan menemaninya atau tidak. Sejenak suasana kembali sunyi. Adam dan Nada sama-sama fokus menatap layar televisi.
"Adegan yang cukup panas." ujar Nada.
"Nikmati saja. Bukannya tadi kau ngotot mengatakan kalau kau sudah dewasa."
Sekilas Nada melirik ke arah Adam. Laki-laki itu fokus pada layar ponsel. Sepertinya televisi sama sekali tidak menarik perhatian Adam.
"Apa kakak punya pacar?" tanya Nada.
"Kita tidak sedekat itu untuk membicarakan hubungan asmara masing-masing." jawab Adam.
"Sepertinya tidak punya." tebak Nada.
"Tidak ada bedanya punya pacar atau tidak punya."
Nada mengerutkan kening. "Benarkah? Orang bilang kalau punya pacar, dunia berubah menjadi merah jambu. Ya semacam berseri-seri setiap hari."
"Kenapa harus mendengarkan pendapat orang lain? Memangnya kau tidak pernah pacaran?" tanya Adam.
Nada memeluk lutut. "Kakak mungkin tidak percaya kalau aku belum pernah pacaran. Mungkin ini terdengar aneh. Setiap laki-laki yang kusuka, selalu menyukai Dita. Aku sangat tidak beruntung dalam urusan laki-laki."
"Benarkah? Kok bisa? Memangnya tidak ada yang menyatakan perasaan padamu?" tanya Adam.
"Ada sih. Tapi kalau mereka suka, akunya tidak suka. Kalau aku suka, mereka tidak suka. Pacaran hanya bisa terjadi jika kita saling suka, benar kan? Mana mungkin aku harus pacaran dengan orang yang tidak kusuka. Itu namanya menyiksa diri." ujar Nada.
"Lebih baik fokus kuliah. Toh nantinya kau pasti menemukan laki-laki yang kau suka dan juga menyukaimu." terang Adam.
"Iya juga sih. Tapi aku ingin merasakan perasaan berdebar-debar saat bergandengan tangan dengan laki-laki yang aku suka. Atau perasaan seperti melayang saat ciuman pertama dengan orang yang disayang. Perasaan seperti itu pasti sangat menggembirakan."
Wajah Nada tampak berseri saat membayangkannya. Adam hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Nada. Sejauh yang Adam lihat, Nada tidak sedingin yang selama ini Nada tunjukkan.
"Apa kau tidak mengantuk? Sudah jam 10 malam." ujar Adam.
"Sebenarnya aku sangat mengantuk. Tapi jujur, aku takut kembali ke kamar."
"Jadi kau mau tidur di sofa?" tanya Adam.
"Entahlah, aku tidak yakin."
Adam mendesah pelan. "Aku akan mengambilkan kasur lipat dan selimut. Kau bisa jatuh jika tidur di sofa."
Nada cuma mengangguk. Sejujurnya, Nada takut tidur sendirian di ruang yang menghadap ke arah dapur. Tapi, untuk meminta Adam tinggal, Nada tidak punya keberanian. Tak berapa lama Adam kembali dan langsung menggelar kasur. Tak lupa laki-laki itu mengambil bantal dan selimut untuk Nada. Saat Adam sudah bersiap ke kamarnya di lantai 2, Nada langsung menarik baju Adam.
"Apa kakak tidak bisa tinggal lebih lama lagi?" tanya Nada.
Saat melihat sorot ketakutan dari mata Nada, Adam akhirnya mengalah. Adam duduk di samping Nada dan memintanya segera tidur. Nada menuruti perintah Adam. Kali ini Nada menjadi gadis penurut karena begitu takut.
"Apa kakak membenciku?" tanya Nada dengan mata terpejam.
"Justru aku merasa kau yang membenci kami." jawab Adam.
"Aku tidak benci. Aku hanya tidak suka. Kehadiran kalian membuat papa melupakan mama. Jika aku juga semakin dekat dengan kalian, lambat laun aku akan kehilangan kenangan bersama mama." jelas Nada.
"Itu alasan yang sangat kekanak-kanakan Nada. Pada dasarnya, kenangan bersama ibumu tidak akan pernah bisa diganti oleh kenangan bersama siapapun. Dalam sudut hatimu, beliau punya tempat tersendiri. Pun kami tidak pernah memaksa agar kau melupakan beliau."
"Kakak benar. Aku memang kekanak-kanakan. Ah kurasa itu terjadi karena aku sangat merindukan mama." lanjut Nada.
"Tidurlah. Jangan pikirkan apapun. Aku akan disini sampai kau benar-benar tidur." ujar Adam.
Nada menurut. Tak berapa lama gadis itu terlelap. Tanpa sadar Adam juga tertidur karena sudah sangat mengantuk.
To be continue