Episode 6 : Panas bertemu panas

1350 Words
Saat terbangun di pagi hari, Nada nyaris berteriak kencang. Pasalnya saat ini Nada sedang memeluk tubuh Adam. Sebelum Adam terbangun, Nada bergegas menjauh dari tubuh laki-laki itu. "Kok bisa? Kenapa kak Adam tidur disini?" gumam Nada. Tak berapa lama Adam juga terbangun. Adam meregangkan tubuh sebelum akhirnya menoleh ke arah Nada. Wajah Adam tampak biasa. Sama sekali tidak menunjukkan rasa canggung seperti yang terjadi pada Nada. "Apa kau sudah memesan sarapan?" tanya Adam. Nada menggeleng. "Apa mbak Yati dan pak Gion sudah datang?" tanya Adam lagi. Nada kembali menggeleng. Terbangun sambil memeluk tubuh laki-laki, adalah pengalaman pertama bagi Nada. Jantung gadis itu masih berdebar kencang mengingat kulitnya baru saja berpisah dari kulit Adam. Menyadari itu, wajah Nada memerah. "Kau sakit? Apa kau demam?"  Adam mendekat dan bermaksud menyentuh kening Nada. Sebelum tangan Adam berhasil menyentuhnya, Nada sudah lebih dulu berdiri. "Cuacanya sedikit dingin. Aku tidak kuat dingin." bohong Nada. Adam mengerutkan kening. "Dingin? Kenapa aku justru kepanasan?"  "Itu, ah aku harus siap-siap. Aku punya janji bertemu Panji dan Denias hari ini. Kakak libur kan?" tanya Nada mengalihkan pembicaraan. Adam mengangguk. "Memangnya kenapa?" "Bukan apa-apa." ujar Nada sebelum meninggalkan Adam ke lantai atas. Di depan pintu kamar, Nada berdiri mematung. Gadis itu tampak ragu untuk masuk ke kamar. Adam yang melihatnya, segera menghampiri Nada. Tanpa meminta persetujuan Nada, Adam masuk dan memeriksa daerah sekitar jendela.  "Ulatnya tidak ada. Kau aman." ujar Adam. "Kakak sudah memastikannya dengan teliti?" tanya Nada. Adam mengangguk. "Jika masih ada ulat, kau bisa teriak." Nada mengangguk pelan sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Karena jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, Nada buru-buru mandi sebelum Panji dan Denias menjemputnya. Hari ini mereka berencana pergi ke taman wisata alam mangrove angke kapuk di Jakarta utara. Seperti biasa, jika Panji kencan dengan pacarnya, Nada dan Denias dipaksa ikut. Sebenarnya Panji melakukan itu agar Nada dan Denias bisa menumbuhkan perasaan lebih dari sekedar sahabat. Sayangnya, sejauh ini hanya Nada yang punya perasaan lebih. Denias belum menunjukkan ketertarikan yang sama. *** "Apa kau tau kalau Panji itu sangat m***m?" tanya Nada setengah berbisik. Mereka baru saja sampai di tempat tujuan beberapa saat yang lalu. Nada sengaja mengajak Denias menjauh dari Panji dan pacarnya agar Panji bisa leluasa mengumbar kemesraan. "m***m? Memangnya apa yang Panji lakukan?" tanya Denias. "Kemarin aku melihat mereka berciuman di lorong gedung. Untung saja keadaan kampus masih cukup sepi." jawab Nada. Mendengar jawaban Nada, Denias tertawa. Denias tau kalau Nada belum pernah pacaran. Tentu saja bagi Nada hal tersebut masih sangat tabu. "Kenapa ciuman malah dibilang m***m? Itu namanya romantis Nada." jelas Denias. "Romantis sih romantis. Tapi tidak harus ditempat umum kan?"  "Apa kau tidak memperhatikan sekeliling kita? Disini tempat umum tapi lihat mereka." tunjuk Denias pada sepasang kekasih. "Mereka berpelukan, gandengan tangan, bahkan berciuman tanpa risih. Itu biasa dilakukan oleh mereka yang pacaran. Kalau kau punya pacar kau pasti ingin seperti mereka." lanjut Denias. "Setidaknya aku tidak akan melakukan hal-hal seperti itu di tempat umum. Tidak semua orang menganggap ciuman dan pelukan adalah hal yang wajar." bela Nada. "Cie yang sudah punya calon pacar." ejek Denias. "Kau cari mati ya?"  Denias segera berlari saat Nada berusaha mencubit lengannya. Selama ini Nada selalu jadi olok-olokan Denias tanpa Denias tau kalau Nada diam-diam menyukainya. Setelah lelah berlarian, Denias mengajak Nada duduk di bawah pohon rindang. Dari tempat mereka duduk, mereka bisa menyaksikan kemesraan Panji dan pacarnya. "Aku iri. Aku juga ingin seperti mereka." ujar Denias. "Tinggal cari pacar, beres kan?" seloroh Nada. "Kau tau siapa orang yang kusukai. Tidak mudah mendapatkan hatinya. Apalagi dia begitu cantik dan penuh pesona. Selama ini aku menahan diri agar tidak dibenci. Kau mungkin tidak tau seperti apa rasanya. Cinta sepihak itu lumayan menguras emosi dan perasaan." jujur Denias. Hati Nada bagai diiris. Walau sudah sering mendengarnya, perasaan sakit itu masih sama.  "Jika kau sedikit lebih berani, bisa saja Dita akan menerima cintamu. Tidak ada yang tau seperti apa perasaannya. Kau hanya tidak percaya diri. Kau itu tampan, kau juga kaya, kau berprestasi, apa yang kurang?" Nada berusaha menyembunyikan luka dengan kalimat-kalimat penyemangat. Walaupun bibirnya tersenyum, hatinya hancur berkeping-keping. "Andai semudah yang kau katakan. Kalau ditolak, bisa jadi Dita tidak ingin melihat wajahku lagi. Kalau itu terjadi, aku harus apa?" ujar Denias. "Cih memangnya dia siapa? Kau terlalu mengagung-agungkan Dita." ejek Nada. "Kau sendiri, apa kau tidak punya seseorang yang kau suka? Jika kau menyukai seseorang, kau pasti berhati-hati sama sepertiku." jawab Denias. "Kenapa jadi aku yang dibahas?" cibir Nada. "Intinya, apa yang kau katakan tidak semudah kedengarannya." jelas Denias. "Serius amat sih. Apa yang kalian bicarakan?" tanya Panji. Panji dan pacarnya, ikut duduk di bawah pohon setelah bosan menikmati pemandangan. "Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong sebaiknya kita makan siang dulu. Sudah hampir jam 1 siang." usul Denias. Nada dan yang lain mengangguk setuju. Setelah sepakat apa yang akan dilakukan selanjutnya, Nada dan rombongan meninggalkan wisata alam taman mangrove. *** Pukul 9 malam Denias mengantar Nada pulang. Rumah tampak sepi. Nada memastikan kalau Adam ada di rumah sebelum meminta Denias pergi. Adam tengah menonton televisi saat Nada sampai. Laki-laki itu tampak cuek, sama sekali tidak tertarik dengan kedatangan Nada. Melihat Adam yang tidak menanyakan apapun, Nada langsung naik ke lantai atas. Gadis itu sangat gerah setelah seharian berpergian. Karena begitu lelah, Nada segera membersihkan diri. Nada bahkan lupa perihal ulat yang dia hebohkan kemarin sore. Sialnya, selesai mandi, saat hendak mengganti baju, Nada tidak sengaja menangkap sosok kecil berwarna hijau yang melekat di cermin hiasnya. Sontak Nada berteriak sambil berlari keluar kamar. Dengan wajah pucat Nada menuruni tangga dan langsung memeluk Adam yang masih tenang menonton TV. "Ulatnya datang lagi." ujar Nada nyaris menangis. Adam masih mematung, bingung harus melakukan apa. Nada memeluknya sangat erat. Hal itu membuat harum tubuh Nada yang baru selesai mandi, tercium jelas di hidung Adam. "Astaga! Kau nyaris membuatku jantungan, Nada." cecar Adam. "Aku bersumpah ulatnya menempel di kaca. Aku ketakutan setengah mati kak."  Nada tidak berani mengangkat wajah. Meski sudah memeluk tubuh Adam, ketakutan Nada belum kunjung reda. "Hari ini pak Gion tidak datang. Mungkin besok daun kelapanya baru bisa di pangkas. Semua daunnya nyaris habis dimakan ulat. Dibawah pohon, ulatnya malah lebih banyak. Wajar jika ada yang masuk ke kamarmu." jelas Adam. Penjelasan Adam justru membuat Nada semakin takut. Nada terisak. Adam paham kenapa Nada sangat ketakutan. Dulu sekali, saat Nada berusia 7 tahun, mereka pernah main petak umpet. Karena tidak ingin ditemukan, Nada bersembunyi di semak-semak. Siapa sangka semak-semak itu penuh dengan ulat. Nada baru menyadarinya saat seekor ulat hinggap di rambut dan berjalan ke wajahnya. Alhasil, Nada menjerit ketakutan. Seluruh tubuh Nada dipenuhi bentol-bentol berwarna merah karena alergi terhadap ulat. Setelah kejadian itu, Nada sangat takut terhadap ulat. Setiap melihat ulat, tubuhnya langsung bergidik ngeri. "Ayo naik. Aku akan membantu menyingkirkannya." ajak Adam. Nada menggeleng. "Aku disini saja." "Kau tidak bermaksud memakai handuk sampai pagi kan?" tanya Adam. "Tapi aku takut."  Adam memegang pundak Nada dan memberi sedikit jarak pada mereka. "Aku akan menyingkirkan ulat itu. Kau bisa ganti baju di kamar mandi selama aku membereskannya. Setelah itu kau boleh tidur disini sama seperti semalam." jelas Adam. Nada menengadah. Wajahnya nyaris menyentuh wajah Adam. Sekali lagi Adam meyakinkan Nada kalau semuanya akan baik-baik saja. Nada akhirnya menurut. Gadis itu memegang ujung baju Adam dan mengikuti Adam menuju kamar. Setelah membereskan ulat yang Nada maksud, Adam meminta Nada segera mengganti pakaian. Tanpa diperintah dua kali, Nada langsung mengambil baju ganti dan berlari masuk ke kamar mandi. Hanya butuh waktu beberapa saat, Nada sudah keluar dan menyeret Adam turun. Adam ingin tertawa. Melihat Nada yang seperti itu, Adam ingin sekali mengejeknya.  Begitu sampai di lantai bawah, Adam langsung menggelar kasur dan meminta Nada tidur. Meski lelah, sulit bagi Nada memejamkan mata saat bayangan ulat di depan cermin terus menghantuinya. "Apa malam ini kakak akan tidur disini lagi?" tanya Nada memastikan. "Semalam aku tidak sengaja tertidur. Kali ini, setelah memastikan kau sudah tidur, aku akan kembali ke kamar." jawab Adam. "Jangan pergi. Ku mohon tidur disini saja." pinta Nada. Adam sedikit terkejut mendengar permintaan Nada. Meskipun ketakutan, biasanya Nada selalu gengsi. Nada bahkan tidak pernah memohon dan meminta tolong. Adam sekarang mengerti, ketakutan Nada terhadap ulat, tidaklah main-main. To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD