Diandra POV
I hate Monday, begitulah pekerja kantoran menyebut hari ini.
Kumasuki gedung perkantoran lantai enam. Tiap lantai berbeda divisi. Sehingga antar divisi, kami agak jarang saling mengenal. Hanya sebatas tahu nama masing-masing penanggung jawab tiap divisi.
"Hai..." ucap Nina, sambil menyenggol bahuku.
"Hai, juga. Selamat pagi Nina sayang, gimana Pak Aldo" godaku.
"Gak kenapa-Napa kok, aku malu ketemu dia. Aku mabok, dan memuntahkan isi perutku di bajunya. Kasihan dia" ucap Nina menjelaskan.
"Astaga, hahaha..." ucapku tak percaya sembari terbahak-bahak.
"Dee, lo deg-degan gak sama bos baru kita, penasaran gak lo. Ganteng gak sih"
"Penasaran. Tapi bukan wajahnya, lebih tepatnya ke pola kerjanya sih. Semoga seperti Ibu Sinta" jawabku. Kami pun berjalan ke kantor naik lift ke lantai tiga Divisi Pemasaran.
Sesampainya di lantai 3, kami masuk ke kubikel kami masing-masing yang letaknya bersebelahan. Karena itulah kami lebih dekat, dibandingkan teman yang lain.
Setelah, meletakkan tas dan map presentasi buat iklan. Akupun dikejutkan dengan kemunculan tiba-tiba Pak Aldo.
"Hey, ladies.. sudah siap menyambut bos baru," ucapnya menggebu-gebu.
"Iya pak" jawab kami sekenanya. Kulihat Nina ikut menjawab sambil tertunduk malu. Mungkin saja mengingat kelakuannya terhadap Pak Aldo.
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Direktur Utama datang bersama seorang pria.
Pria ini berbadan tegap, badannya kelihatan berotot. Walaupun memakai jas, tapi tetap keliatan jelas. Wajahnya datar dan dingin, ada bulu-bulu halus diwajahnya. Kulitnya sawo matang. Rambutnya, berombak tapi karena menggunakan pomade, kelihatan rapi.
Pandangan pertama, dia sempurna, batinku menilainya.
"Waow…Dee lu liatkan," bisik Nina.
"Iya, gue liat. Jangan norak deh," bisikku.
"Perkenalkan, ini Direktur Pemasaran kita yang baru. Bapak Marcell Adiwijaya," ucap Bapak Richard Adiwijaya Direktur Utama kami.
Melihat dari marganya yang sama. Kemungkinan dua orang ini adalah keluarga tebakku.
"Yah benar. Nama belakang kami yang sama, dia adalah keponakanku. Saya berharap kalian dapat bekerja sama dengan baik," sambung Pak Richard.
Kami mengangguk bersama. Sesekali mencuri pandang ke direktur kami yang baru. Dia hanya tersenyum tipis, atas perkenalan dirinya.
"Terima kasih atas sambutannya, semoga kita bisa menjadi tim yang baik" ucapnya tegas, dan senyum tipis terkesan dipaksakan.
Marcell Adiwijaya, putra kedua dari Bapak Raymond Adiwijaya. Umur 32 tahun, lajang berparas sempurna, tinggi 180 cm. Cukup membuat leherku kelelahan saat menatapnya.
Tinggiku sebenarnya cukup ideal 165 cm, bagi perempuan. Bisalah menjadi model majalah. Majalah Flora dan Fauna.
Ayahnya salah satu pengusaha terkenal di bidang konstruksi. Sebenarnya agak mengherankan, mengapa Pak Marcell harus bekerja di perusahaan omnya. Apalagi ayahnya memiliki perusahaan sendiri. Mungkinkah hanya untuk mencari pengalaman. Entahlah, aku tidak bisa mengetahui pemikiran pengusaha.
Setelah perkenalan, bapak Direktur Utama meninggalkan tempat kami. Pak Marcell memasuki ruangannya. Tidak lama berselang, sekretarisnya dipanggil masuk ke ruangannya. Mungkin ingin mempelajari situasi kantor lewat sekretarismya.
Jam menunjukkan pukul dua belas siang, waktu istirahat dan makan siang. Aku dan Nina berjalan bersama memasuki lift. Sebelum pintu ditutup, seorang pria menahan pintu. Ternyata Pak Marcell, mungkin dia juga akan makan siang.
Kami berencana makan siang di kantin kantor di lantai bawah. Hanya acara tertentu kami biasa makan siang di luar kantor.
Pak Marcell, berdiri memunggungi kami. Kurasakan aura dingin. Parfumnya merebak di hidungku seperti pernah menciumnya, harum maskulin. Sesekali dia mengetik, di hapenya.
Mungkin pacarnya, ucapku menebak dalam hati.
Hingga di lantai bawah, kurasakan Nina tidak pernah berhenti menyenggolku, aku hanya membalas melototinya.
Tiba di lantai bawah, kami langsung belok ke kantin. Sedangkan Pak Marcell sudah dijemput mobil di Loby.
Ya iyalah, Mana mungkin dia makan di kantin staf, ucapku dalam hati.
Aku memesan nasi campur dan es teh sedangkan Nina bakso dan es jeruk.
"Dee, lu liat gak tadi Pak Marcell. Astaga punggungnya aja seksi," cerocos Nina.
"Biasa aja, sambil melahap makananku. Orang dia seperti kulkas dua pintu," jawabku ketus.
"Maksud lo, kulkas apaan?" Nina memutar bola matanya tidak mengerti.
“Iya kulkas, dingin banget. Mana gantengnya, bawaannya bikin sesak liatnya. Sok cakep" jawabku panjang lebar.
"Tapi... emang cakep kan," Nina tersenyum genit.
Yah kata-katanya tidak sepenuhnya salah. Pak Marcell mungkin saja idaman para wanita. Tapi attitudenya nol.
"Udah ah, gak usah bahas dia lagi. Eneg gue" ucapku.
"Awas lo Dee, jangan terlalu benci. Nanti jadi cinta loh" jawab Nina mengejekku.
***
Setelah makan siang
Di chat grup wa kantor. Ada pesan masuk.
Pak Aldo : Sebentar habis makan siang, semua divisi pemasaran kumpul di ruangan meeting. Kita ada klien baru.
Semua hanya membaca pesan itu tanpa ada yang membalas. Toh intinya kami sudah diberitahu.
Di ruangan meeting, kami berkumpul. Aku duduk di depan, dan Nina duduk di sampingku.
"Tadi pas makan siang, pak Marcell hubungin saya. Bahwa kita punya klien baru NW Centrall Hotel. Klien inginkan kita bikin desain dan tagline baru buat hotel mereka. Setelah perombakan hotel besar-besaran dan menambah mal dalam salah satu fasilitasnya," ucap Pak Aldo menjelaskan rencananya.
Semua mengangguk mendengarkan penjelasan Pak Aldo.
Tunggu, NW Centrall Hotel batinku.
Astaga hotel tempatku melepaskan satu-satunya hartaku yang berharga, yang kujaga selama dua puluh lima tahun, ucapku lagi dalam hati.
Untung saja, mereka tidak memperhatikan mimik mukaku yang berbeda, karena semua sibuk memperhatikan penjelasan Pak Aldo.
"So…Dee aku harap, kamu hubungi bagian desain yah. Bagaimana ide mereka mengenai desain dan tagline hotel yang baru," perintah Pak Aldo. Aku pun hanya mengangguk.
Sebenarnya kami hanya mempresentasikan hasil dari divisi lain. Kamilah yang akan tampil di depan untuk menjelaskan ke klien. Memang terkesan mudah tapi kami harus menguasai bahan yang ada.
Setelah rapat, kami kembali ke kubikel masing-masing. Aku mengirimkan teks ke Mas Alex, bagian desain bahwa aku telah mengirimkan via email, daftar keinginan klien. Mereka menjawab mungkin butuh seminggu buat draftnya.
Jam menunjukkan pukul empat sore, aku baru tersadar sejak makan siang. Pak Marcell belum kembali ke kantor.
Ehm dasar.. semaunya, batinku.
Diandra POV End