Untuk Papa

1180 Words
Begitu sampai di lantai 10, Alila segera mencari nomor kamar Theo. Senyuman Alila mengembang begitu sampai sana. Alila segera memencet bel. Sayangnya setelah berulangkali memencet, pintu belum juga dibuka. Padahal Alila sudah berdiri di hadapan intercome, agar pemilik apartemen tahu bahwa benar - benar ada tamu yang datang. Siapa tahu mereka takut ada orang iseng. Alila tersentak mendengar ponselnya berbunyi. Telepon dari Theo. "Halo?" "Nona ... aku masih di toilet. Aku kasih tahu password-nya, buka sendiri pintunya." Alila berdecak kesal mendengar alasan Theo. Sungguh mengesalkan. Seharusnya dari tadi ia memberitahu, daripada membiarkan Alila dan Dio menunggu di luar seperti ini. Lagi pula, apa tidak ada orang lain di dalam sana yang bisa membukakan pintu? Deretan angka password yang diberitahukan oleh Theo diingat dengan baik oleh Alila. Ia begitu lega ketika pintu akhirnya terbuka. Alila segera masuk, masih dengan menggendong Dio. Alila begitu takjub ketika sudah berada di dalam. Ia beberapa kali main ke apartemen temannya, tapi belum pernah melihat yang semewah ini. Saat sampai di ruang tamu, Alila melihat foto keluarga super besar. Membuat Alila tersenyum, karena foto itu begitu indah. Siapa pun pasti mengulum senyum melihat foto semacam ini. Keluarga Theo benar - benar keluarga yang besar. Ayah dan Ibu bersanding di tengah. Dikelilingi oleh keenam anak - anaknya. Theo memang pernah bilang bahwa ia adalah anak ke lima dari enam bersaudara. Tapi Alila tidak percaya waktu itu. Zaman sekarang keluarga yang memiliki anak sebanyak itu sudah jarang sekali. Tapi nyatanya Theo memang tidak bohong. Dio ikut tersenyum begitu menyadari bahwa ada Namira di dalam foto itu. "Ah, aku ganteng banget, ya!" Theo mendadak muncul dan memuji fotonya sendiri. Kemunculannya yang tiba - tiba cukup mengagetkan Alila. Wanita itu segera mencubit lengan Theo karena gemas. "Kamu memuji dirimu sendiri karena nggak ada yang memujimu, kan," goda Alila. Theo hanya menggeleng karena Alila tidak jujur. Siapa pun pasti akan menganggap Theo tampan, karena ketampanannya adalah mutlak. "Duduk sana, Nona! Mau berdiri terus?" Theo mendahului Alila duduk di sofa. Alila mengikutinya. Sementara Dio yang akhirnya turun dari gendongan ibunya, terlihat asyik main dengan sebuah bola yang ditemukannya di bawah meja "Mbak cuman tahu kamu dan Nami di sana." Alila rupanya masih belum bisa mengalihkan perhatiannya dari foto itu. "Yang di tengah itu, Mama dan Ayah. Empat laki - laki di belakang, yang paling kanan namanya Mas Lintang, anak tertua. Sebelah kirinya Mas Dion. Sebelah kirinya lagi, Mas Kian. Dan yang paling ganteng itu namanya Theo." Theo sukses mendapat satu pukulan di kepala. Pelakunya Alila tentu saja. Siapa suruh jadi orang percaya diri sekali? Tapi Theo sepertinya justru sangat happy mendapat pukulan dari Alila. "Dan yang duduk bersama Nami di bawah, itu kakakku, Luna." Theo melanjutkan penjelasannya. "Yang kuliah di Inggris?" Theo mengangguk. "Lalu kamu tinggal sendiri di sini? Nggak ada anggota keluarga kamu yang lain?" "Ayah, Mama, dan Nami di rumah. Luna di Inggris, Aku di sini, dan kakak - kakakku yang lain di apartemen mereka masing - masing." "Woah ... Mbak tahu keluargamu kaya, tapi nggak tahu kalau ternyata sekaya itu." "Kenapa? Nona mau jadi istri kedua ayahku?" Theo tertawa mengucapkannya. Dan sekali lagi ia mendapat hadiah pukulan dari Alila. Theo hanya mengelus kepalanya yang lama - lama pening juga. Tapi rasa pening di kepalanya tak sebanding dengan rasa senang di hatinya. "Lalu gimana kalau kamu tiba - tiba sakit? Siapa yang merawat kamu?" Itulah hal yang membuat Alila bertanya - tanya dari tadi. Tinggal sendiri, jauh dari keluarga. Tetangga pun sepertinya sulit dimintai tolong saat darurat, karena semua ruangan di sini kedap suara. Lalu bagaimana kalau tiba - tiba terjadi sesuatu? "Aku, kan, udah besar, Nona. Aku bisa jaga diriku sendiri dong!" jawab Theo dengan gaya tengilnya. Berbeda sekali dengan sosok Theo yang dingin, yang terkenal di seantero sekolah. Bahkan keluarganya pun mengenalnya sebagai sosok yang seperti itu. Kasus yang berbeda ini hanya terjadi pada Alila. Bilang padanya bahwa Theo adalah orang yang dingin! Maka Alila akan menertawaimu. Menganggapnya sebagai lelucon. Karena sejauh yang ia tahu, Theo memang begini adanya. Tengil, suka bercanda, dan asyik. "Sudah besar dan bisa jaga diri sendiri katamu? Lalu apa tujuan kamu meminta Mbak dateng ke sini hanya karena kamu masuk angin, hah?" Alila tertawa kemudian. Jadi alasan Theo tidak datang kemarin adalah karena masuk angin. Dan ia meminta Alila menjenguknya dengan datang ke apartemen seperti ini. Alila sebenarnya ragu mau datang atau tidak. Tapi ia juga khawatir, dan juga .... Merindukan Theo mungkin. Alila memang kerap merasa bingung semenjak bertemu dengan anak muda itu. Entah kenapa, apa pun yang dilakukannya, selalu membuat Alila senang. Theo jadi malu sendiri. Tapi tidak apa - apa. Jika ia tidak masuk angin, maka Alila tidak akan pernah menjenguknya ke sini, bukan? Perhatian Alila teralih pada beberapa topeng pesta yang tertata rapi dalam etalase kecil. Ia berjalan ke sana untuk melihat dari dekat. Topeng - topeng yang bila dipakai hanya menutup sebatas mata itu terlihat begitu indah. Terdapat beberapa warna, namun yang paling mencolok adalah yang berwarna emas. "Untuk apa topeng - topeng ini?" Theo mengikuti Alila ke sana. "Ini buat nge - dance." "Kamu suka nge - dance?" Theo mengangguk. "Aku baru tahu kamu suka dance." "Oh, ya? Masa aku belum pernah kasih tahu." Alila menggeleng. Theo hanya cengengesan. "Tapi kenapa pakai topeng?" Alila lanjut bertanya lagi. "Buat nutupin wajahku. Bisa gawat kalau keluargaku tahu, bahwa aku menari dari café ke café tiap malam." Theo mengakhiri ucapannya dengan tertawa. Alila mengernyit tidak mengerti. Well, ia memaklumi hobi menari Theo. Wajar anak muda suka menari. Tapi ... menari dari café ke cafe? Apa Alila tak salah dengar? Bahkan Theo sendiri tadi yang menunjukkan bahwa keluarganya sangat kaya. Bahkan jika mereka tidak bekerja lagi, hartanya mungkin tidak habis sampai tujuh turunan. "Kamu kerja?" "Ya." "Tapi ... buat apa?" "Aku pengen beli sesuatu buat Papa." "Ah, sekarang Mbak ngerti. Kamu pengen beliin sesuatu buat ayahmu dengan jerih payahmu sendiri. Wah, Mbak salut." Alila mengacungkan jempolnya. "Hm ... kurang lebih seperti itu. Tapi ini buat Papa, bukan buat Ayah. Nggak mungkin aku beli sesuatu buat Papa, dengan menggunakan uang Ayah, kan?" Alila kembali bingung. "Buat Papa, bukan buat Ayah?" Alila mengulangi pernyataan Theo dalam bentuk pertanyaan. Theo tak langsung menjawab. Wajahnya terlihat serius. "Mama dan Papa bercerai sejak aku kecil. Lalu Mama menikah dengan Ayah," jawabnya kemudian. Dan kini kembali terdapat senyuman di wajahnya. Alila tercengang di tempat. Jadi sosok Ayah dalam foto itu bukan Ayah kandung Theo. "Papaku bekerja di Singapura sebagai TKI. Makanya aku ingin melakukan sesuatu agar ia mau pulang ke sini." Alila mengelus punggung Theo. "Kamu melakukan hal yang baik. Mbak dukung kamu," ucapnya tulus. Theo tersenyum mendengarnya. "Terima kasih." Sebentar berada di sana, Alila semakin banyak mengenal Theo. Alila akhirnya tahu bahwa anak itu tak seperti apa yang terlihat dari luar. Orang melihat dirinya hidup enak dan bahagia di bawah latar belakang keluarganya. Tak banyak yang tahu jika ternyata ia dan kakaknya Luna hanya anak tiri. Dan tiga kakak laki - lakinya adalah bawaan sang Ayah dari pernikahan sebelumnya. Sementara Namira anak pertama dari pernikahan yang sekarang. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD