Bab 13. Kemauan Keras Ian

1557 Words
"Itu tujuh tahun yang lalu, Pak Ian. Sekarang, aku bukan Wina yang dulu," ujar Wina seraya mencoba menegakkan tubuhnya. Sial, sungguh sial. Ian menahan tubuhnya di depan Wina yang menyandar di lengan sofa. "Mungkin benar, dulu aku naksir sama Pak Ian. Tapi, sekarang perasaan itu udah sirna. Lagipula, aku udah punya suami sekarang." Tawa mencela Ian pecah seketika. "Ah, suami? Itu cuma bohongan. Kamu belum menikah dengan Roki." Ian tersenyum miring ketika melihat wajah Wina memerah sempurna. "Kamu bohong sama aku, karena kamu masih punya perasaan yang sama seperti dulu, Win. Nggak perlu menyangkal." "Pak Ian jangan salah paham," ujar Wina gelagapan. "Aku bohong karena ... itu demi King. Nggak ada hubungannya dengan perasaan aku. Aku cuma ... aku mau Pak Ian tahu kalau King udah punya sosok pria yang bisa jadi ayahnya. Dia nggak butuh ayah kandungnya." "Oh, kamu bercanda?" Ian memiringkan kepalanya. "King jelas-jelas butuh aku. Dia nggak akan menerima tawaran aku untuk sekolah di sini kalau dia emang nggak butuh aku. Dan kamu jangan mencoba menghalangi hubungan dengan King lagi, Win. Aku udah terlanjur tahu semua kebohongan kamu!" Wina menggeram pelan. "Kenapa Pak Ian nggak fokus sama keluarga Pak Ian sendiri? Aku tahu, istri Pak Ian udah lama berpulang, tapi ... bukannya Pak Ian juga punya seorang anak?" Wajah Ian mengerut seketika. Ia berdebar dan menarik dirinya sedikit ke belakang. Itu membuatnya lengah hingga Wina bisa mendorong dadanya. Jarak tercipta di antara mereka. "Pak Ian lebih baik urus anak itu dan aku juga akan mengurus anak aku sendiri," kata Wina. Ian menggeleng. "Nggak, Win. King juga anak aku. Mereka berdua adalah anak-anak aku." Wina membuang napas panjang. "Aku nggak mau King sekolah di sini. Aku akan bawa dia ke tempat lain." "Nggak akan. Dia udah diterima di sini," tukas Ian. Ia mengambil tangan Wina dan meremasnya. Sontak, wanita itu membulatkan matanya. "Aku janji sama kamu, aku bakalan jaga King. Aku minta kesempatan sama kamu, aku nggak akan menyakiti anak kita, Win." "Pak Ian udah lama menyakiti King. Keluarga Pak Ian nggak pernah menginginkan King," ungkap Wina. Ian mengerutkan keningnya kali ini. "Keluarga aku?" Ian mencoba mencerna semuanya ketika ia melihat rahang Wina mengeras. "Maksud kamu, keluarga aku tahu kamu mengandung bayi aku?" Wina memalingkan wajahnya dari Ian. "Ya. Ibu Pak Ian." Ian mengepalkan tangannya seketika. "Kamu bicara dengan mama aku?" Wina mengangguk pelan. "Nyonya Rosa menawarkan aku uang, jadi aku bisa melanjutkan hidup aku setelah menggugurkan kandungan aku. Aku nggak boleh mengusik kehidupan Pak Ian dan istri Pak Ian." Rahang bawah Ian seolah terjatuh ke lantai begitu saja. Ia membenci ini. "Win, jadi gara-gara itu kamu pergi tanpa memberitahu aku?" Wina mengangkat bahunya. "Pak Ian juga bilang sama aku bahwa malam itu hanyalah kesalahan semata. Itu lebih menyakitkan dibandingkan kata-kata yang diucapkan Nyonya Rosa." Wina berdiri sekarang juga. "Aku akan membiarkan King bersekolah di sini selama satu semester. Tapi, jika ada sesuatu yang menimpa King, aku akan pindahkan sekolahnya." Ian ikut-ikutan berdiri. "Tunggu, tunggu dulu, Win. Aku masih mau bicara." Ian meletakkan kedua tangannya di bahu Wina. Ia mendorong wanita itu agar kembali duduk dan Wina tak punya pilihan lain. "Kamu harus tahu, pernikahan aku ... itu juga kemauan ibunya. Aku terpaksa dan aku minta maaf sudah mengatakan itu pada kamu." Ian membuang napas panjang seraya menggeleng. "Malam itu ... adalah malam terbaik dalam hidup aku." Wina memerah sempurna di depan Ian. Namun, ia tak ingin terbuai dengan kata-kata Ian yang baginya penuh muslihat. "Sayang sekali, malam itu adalah malam neraka bagiku. Hidup aku berantakan dan itu semua gara-gara Pak Ian." Ian menggeleng lagi. Ia meremas tangan Wina dengan lembut. "Aku akan memperbaiki segalanya. Aku nggak akan mengecewakan kamu dan King lagi. Aku akan menjaga kamu di sisi aku." "Terlambat. Pak Ian udah telat. Aku bukan Wina yang dulu. Aku nggak ingin terlibat dalam hal apa pun dengan Pak Ian, jadi berhenti bersikap seperti ini," ujar Wina. "Aku nggak bisa! Aku menginginkan kamu dan King saat ini. Udah cukup kamu menyembunyikan semuanya selama tujuh tahun lebih. Sekarang, saatnya aku mengambil kalian berdua," kata Ian dengan penuh hasrat. Wina ternganga. "Aku nggak percaya sama Pak Ian. Aku harus pergi sekarang. Aku udah nggak cinta sama Pak Ian dan aku akan segera menikah. Jadi, jangan bertingkah konyol. Aku hanya ... wali murid di sekolah ini. Jadi, jangan kurang ajar." "Aku akan menghentikan rencana kamu menikah, kamu liat aja nanti," ujar Ian seraya melepaskan tangan Wina. "Kamu bisa pergi sekarang, tapi kamu harus tahu aku nggak akan melepaskan kamu seperti dulu lagi." Wina meremang. Ia menggenggam tali tasnya dengan erat lalu berdiri. "Itu nggak akan terjadi. Aku mencintai Roki dan aku hanya akan menikah dengan dia." "Kita liat aja nanti," tukas Ian sambil tersenyum miring. Menatap gelagat Wina yang langsung terlihat panik membuat Ian semakin senang. Ia sudah sangat lama mengenal Wina dan ia yakin sekali bahwa Wina masih mencintainya. Ia hanya perlu bertindak untuk mendapatkan Wina kembali. Dan tentu saja, ia harus mengurus ibunya yang telah membuatnya terpisah dari Wina dan King. Ian menikmati kopinya yang telah dingin. Wina bahkan tidak menyentuh cangkir kopi yang ia sajikan, tetapi itu bukan masalah. Bicara dengan Wina selama beberapa menit cukup baginya. Ia jadi tahu bagaimana perasaan wanita itu dan ia bisa merencanakan banyak hal untuk mendapatkan hati Wina. *** Sementara itu, Wina begitu kesal dengan dirinya sendiri. Bicara dengan Ian ternyata adalah kesalahan. Ia pasti sudah dimanipulasi oleh pria itu. Selalu seperti itu. Entah apa yang diinginkan oleh Ian. Setelah tujuh tahun berlalu akhirnya ia tahu bagaimana perasaan Ian. "Gimana kalau Pak Ian cuma bohong?" Wina menendang ban mobilnya keras-keras. Ia meringis karena ujung kakinya terasa sakit sendiri. "Ingat, Win. Dia nggak mungkin suka sama kamu. Kalau dia suka sama kamu, dia nggak akan nikah sama wanita lain." Wina meyakinkan dirinya lalu segera masuk mobil. Lebih baik ia segera pulang dan menemui King. Ia meninggalkan King seorang diri di rumah dan ia agak cemas meskipun ia sudah sering melakukan itu. King terkadang melakukan hal-hal tak terduga dan cukup berbahaya. Ketika Wina tiba di rumah, ia bernapas lega. King tak lagi sendirian karena ia melihat mobil Roki di rumah. Ia tersenyum lebar karena Roki memang selalu bisa ia andalkan. "Hei, Mama pulang!" seru Wina. Ia memasuki ruang tengah dan mendapati Roki dan King tengah bersaing dalam video game. Ia mengangkat bahunya pada Roki yang baru saja mengedipkan satu mata padanya. "Tunggu bentar, Ma. Aku udah mau bikin om Roki kalah," kata King penuh semangat. "Tidak semudah itu, Jagoan. Om pasti bisa mengalahkan kamu," ujar Roki berapi-api. Wina membuang napas panjang. Ia senang melihat Roki dan King seperti ini. Ia ingin mereka sering-sering melakukan banyak hal bersama. Mereka akan menjadi keluarga dalam waktu dekat. "Oh! Tidak!" pekik Roki. King hampir tertawa. Ia hanya melirik Wina sedikit. Ibunya baru saja duduk dan sebenarnya ia sudah sangat penasaran dengan apa saja yang terjadi di sekolah barunya. Apakah, ia benar-benar bisa bersekolah di sana ataukah Wina memiliki pendapat lain? King menggempur Roki dengan cepat. Ia membuat pria dewasa di sebelahnya mendesahkan napas panjang dengan nada kesal sementara ia berdiri lalu bersorak mengelilingi meja dan sofa saking senangnya. "Om liat, aku pasti bisa menang!" King berseru sebelum akhirnya ia duduk di sebelah Wina. Kedua matanya berbinar penuh harap pada sang ibu. "Gimana, Ma? Mama suka sekolah baru aku?" "Ehm ... sekolah itu bagus." Wina menukas dengan ragu. "Mama udah liat-liat gedungnya." "Tuh, 'kan! Aku yakin sekolah itu emang bagus!" King berseru dengan senang karena tampaknya Wina akan mengizinkan ia sekolah di sana. "Jadi, aku bisa mulai sekolah di sana, Ma?" Wina membuang napas panjang. Menatap wajah putranya yang begitu antusias itu, ia pun mengangguk. "Ya. Kita bisa coba dulu satu semester." "Yes!" King kembali berseru. Ia memeluk Wina erat-erat lalu melepaskannya. "Thank you, Mama!" Wina membelai kening King dengan lembut lalu mengangguk. "Ya, sama-sama, Sayang. Semoga kamu suka sekolah di sana." Roki memutar bola matanya mendengar obrolan ini. "King ... jadi mendaftar sekolah di mana? Bukan di Citra Bangsa?" "Nggak. Aku bakalan sekolah di sekolah milik papa aku," kata King dengan nada penuh kebanggaan. Roki mengerutkan keningnya. Ia menatap Wina dengan ekspresi penuh tanya. Tentu saja, ia tidak menyukai hal ini. Ia yakin, ia sudah merekomendasikan sekolah yang terbaik untuk King. Ia juga tak ingin Wina terlibat dengan pria seperti Ian. "King, bisa kamu naik ke kamar?" Wina kembali membelai puncak kepala King. "Mama mau bicara dengan om Roki sebentar." "Ya. Tentu. Aku boleh pinjam ponsel Mama?" tanya King seraya melirik tas Wina. Ia merasa perlu bicara dengan Ian sekarang juga, atau mungkin mengiriminya pesan singkat. "Ya." Wina mengulurkan ponselnya pada King, tetapi ia masih menggenggamnya. "Jangan berbelanja apa pun tanpa izin Mama." King hanya nyengir. Lalu tak lama anak itu menghilang dari lantai satu. Wina menyugar rambut ke belakang. Ia merasa tak enak pada Roki karena cemas pria itu akan salah paham dengannya. "Roki, dengar. Aku minta maaf. King mendaftarkan dirinya sendiri di sekolah itu dan ... aku tiba-tiba mendapatkan undangan ke sana. Aku benar-benar nggak tahu kalau King melakukan itu," kata Wina menjelaskan. Roki tidak menatap ke arahnya. Pria itu menumpu tangannya di atas paha dan dagunya ditopang dengan telapak tangan. "Aku pikir, kamu nggak mau berurusan dengan Ian lagi. Kenapa kamu membiarkan King bersekolah di sana, Win? Kamu nggak mempertimbangkan perasaan aku? Kamu bisa ... kamu bakal sering ketemu dengan Ian setelah ini. Kamu lupa kita hampir menikah? Kita akan menikah dan aku nggak mau masa lalu mengusik kita!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD