Bab 12. Wina Marah pada Ian

1545 Words
"Kenapa Mama bilang kayak gitu?" King menyatakan protes. "Aku tahu, Om Ian adalah papa aku. Jangan bohong lagi!" Wina menyugar rambutnya dengan penuh amarah. Ia langsung mondar-mandir di depan King karena ia tak ingin bertengkar, tetapi semua ini juga sangat mengejutkan baginya. "King, dengerin Mama. Selama ini, Mama yang membesarkan kamu. Selama ini, kamu baik-baik saja tanpa papa kamu. Oke? Jadi kena—" "Apa Mama pikir aku baik-baik aja?" King memotong ucapan Wina. Ia meletakkan seragam sekolahnya kembali di dalam kotak. Dengan keras ia kembali duduk di kursinya. "King." Pertanyaan King berhasil membuat Wina tertohok dan ia berhenti mondar-mandir. Ia menatap putranya yang murung dengan tangan memeluk gelas s**u. Ia membuang napas panjang. "Aku nggak pernah punya banyak temen. Mereka bilang ... aku nggak punya papa. Mereka bilang aku anak haram. Dan aku nggak suka mereka ngomong kayak gitu, Ma. Aku punya papa! Kenapa Mama nggak mau aku deket sama papa aku?" King kembali meluncurkan protesnya pada Wina. Wina dengan bibir gemetar langsung duduk di sebelah King. Ia membelai belakang kepala putranya dengan lembut. Ia tak lupa bagaimana King selalu kesusahan menjalani masa kanak-kanaknya hanya karena King tidak memiliki figur seorang ayah. "King, maaf," ujar Wina. Ia menempelkan keningnya di sisi kepala King. "Mama cuma ... Mama cuma mau kamu hati-hati." "Om Ian baik! Dia nggak akan nawari aku sekolah di sana kalau dia jahat. Dia juga nggak akan bawain bola basket aku. Dia baik, Ma!" gertak King. Wina menarik King ke pelukannya. Ia bisa merasakan ketegangan dalam tubuh King. Ia membelai lengan putranya dengan lembut. "Mama tahu. Tapi ... Mama nggak bisa percaya begitu aja dengan pak Ian." "Kenapa?" tanya King dengan nada menuntut. Ia menoleh pada Wina yang baru saja memundurkan kepalanya. Ia menunggu beberapa saat, tetapi Wina tak lantas bicara. "Apa Mama cemas istrinya marah? Dia nggak punya istri. Istrinya udah lama meninggal dunia." Wina mengepalkan tangannya. "Bukan masalah itu, King. Tapi ...." Wina membelai wajah King dengan lembut. "Kalian berdua terlalu mirip. Itu pasti akan menimbulkan masalah dan gosip dan Mama ... Mama takut kamu akan terluka suatu hari nanti. Asalkan kamu tahu, keluarga pak Ian bukan orang yang begitu baik. Selama ini Mama yang berjuang membesarkan kamu seorang sendiri. Mama nggak terima jika pak Ian tiba-tiba datang dan bersikap baik sama kamu." King mengerjap pelan. "Aku cuma pengen ngerasain dekat sama papa aku, Ma. Nggak lebih. Aku janji bakalan bersikap baik. Dan aku nggak akan bikin Mama repot. Janji." "King, kamu bisa bicara dengan mudah. Tapi semuanya nggak bisa kita prediksi. Mama nggak sanggup kalau ada yang menjahati kamu. Mungkin... keluarga pak Ian belum bisa menerima kamu," kata Wina seraya mengusap pipi King. King menggeleng pelan. Ia punya firasat yang baik mengenai Ian. "Aku nggak butuh diakui sebagai anak om Ian. Aku cuma pengen kami sering ketemu. Aku bakalan betah di sekolah itu, Ma. Plis, aku mohon sama Mama! Pokoknya aku mau sekolah di sana." Wina kehilangan kosa kata. Di satu sisi ia sangat mencemaskan King. Ia tak tahu apa motif di balik tindakan Ian, tetapi ia tak bisa bisa menerimanya. Ia yakin Ian memiliki tipu muslihat. "Aku tahu Mama marah sama om Ian, tapi aku mohon Mama pikirkan perasaan aku," ujar King lagi. Wina menatap kotak itu dengan jengkel. Ia berdiri lalu membukanya. Selain seragam ia juga menemukan undangan wali murid untuk menghadiri rapat dua hari lagi. Ia akan bertemu dengan Ian dan ia akan melayangkan protes pada pria itu. "Mama harus bicara sama pak Ian lebih dulu," ujar Wina seraya meletakkan surat undangan itu ke dalam kotak lagi. "Mama bisa telepon om Ian. Aku hafal nomornya," kata King sambil nyengir. Wina mengepalkan tangan. "Kamu tahu, King, kamu udah keterlaluan. Kamu tahu ... Mama akan menikah tahun ini. Seharusnya kamu tidak perlu khawatir tentang figur seorang ayah untuk kamu. Om Roki ... adalah pria yang baik. Dia bisa jadi ayah yang sempurna buat kamu." King mengangkat bahunya. "Om Roki emang baik. Aku tahu dia bisa jadi suami yang baik untuk Mama, tapi menjadi papa aku ... aku nggak tahu." Bahu Wina melemas seketika. Ia kembali membelai kepala King. "Jangan percaya dengan pak Ian semudah itu. Oke? Mama minta, kamu tetap hati-hati." King mengangguk. "Ayo kita sarapan kalau gitu. Aku yakin, Mama nggak bakal nyesel biarin aku sekolah di sana." Wina tak merespons. Ia melangkah ke dapur dengan tungkai yang seolah tak bertulang. Wina tahu, King terlahir berbeda. King baru tujuh tahun dan terkadang memiliki pola pikir yang tak biasa. Wina menumpu tangannya di konter dapur lalu mengatur napas. Ia bisa melewati ini. Ia hanya perlu bicara dengan Ian. *** Wina tak pernah membayangkan dirinya akan masuk ke kawasan sekolah milik yayasan Permata Hati. Tidak, ia bahkan pernah bersumpah dalam hati bahwa ia tak akan terlibat dengan keluarga Widyatmoko—sang empunya yayasan. Wina masih sangat sakit hati jika mengingat penolakan dan pengusiran yang dilakukan oleh ibu Ian. Dan hari ini, Wina baru saja memarkir mobilnya di depan SD Permata Hati. Ia mengintip lewat kaca spion, menatap beberapa wali murid yang pastinya sama seperti ia. Mendapatkan undangan untuk rapat wali murid. Wina membuang napas panjang. Ia tak ingin lemah dan memutuskan untuk keluar dari mobilnya. Wina mencoba membaur dengan para ibu-ibu yang kebanyakan dari kalangan menengah ke atas. Ia tahu sekolah ini adalah salah satu sekolah elit. Beruntung, kini ia memiliki pekerjaan yang tidak memalukan bagi King. Rapat berlangsung selama hampir satu jam dan hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan selama satu semester ke depan. King akan bergabung sebagai murid pindahan dan langsung masuk di semester dua. Kini, Wina merasa sangat berdebar. Ia sudah bertekad untuk menemui Ian. "Permisi, Bu, boleh saya tahu di mana ruang kepala sekolah?" tanya Wina pada Siska, calon wali kelas King. "Oh, ada di lantai tiga. Ibu bisa naik lewat lift atau tangga sebelah tengah di lobi," jawab Siska. Wina mengangguk. Bersyukur Siska tidak bertanya apa niatnya menemui kepala sekolah. Wina segera mendekati lift yang berada tak jauh dari ruang rapat. Ia berharap degupan di dadanya tidak sekeras saat ini, tetapi berkali-kali ia mengatur napas pun tidak berhasil meredakannya. "Ayolah, Win. Kamu pasti bisa bersikap biasa aja sama pak Ian," batin Wina ketika ia keluar dari lift. Langkah Wina memelan sementara kedua matanya mengedar untuk menemukan di mana letak kantor kepala sekolah. Hingga akhirnya ia melihat apa yang ia cari. Wina berhenti di depan pintu selama beberapa saat. Ia memberanikan dirinya mengetuk pintu dua kali. "Masuk!" Wina mendengar suara berat Ian di seberang pintu. Ia menelan saliva sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Dengan tatapan tajam, Wina masuk ke ruangan Ian. "Oh, hai, Win." Ian tidak terlalu terkejut melihat Wina. Ia justru senang melihat wanita itu muncul di ruangannya. "Apa mau Pak Ian? Apa Pak Ian tidak mengerti dengan apa yang aku katakan di rumah sakit?" tanya Wina. Ian berdiri dari kursi kerjanya. Ia lalu menunjuk sofa di bagian depan ruangan dengan telapak tangannya. "Duduk dulu. Kita bicara baik-baik." Wina mendengkus, tetapi ia melakukan apa yang diminta Ian. Ia duduk di sofa sementara Ian membuat kopi di sudut ruangannya. Wina mencoba untuk tidak menatap Ian. Namun, itu bukanlah hal yang mudah baginya. Ian selalu terlihat tampan di mata Wina. Ian selalu menarik bagi Wina dan itu membuat Wina merasa kesal sendiri. "Sekolah ini pasti sangat cocok untuk King. Aku jamin itu," kata Ian seraya menoleh pada Wina. Ia tersenyum ketika mendapati Wina buru-buru memalingkan wajahnya. "Banyak sekolah lain yang juga cocok untuk King. Walaupun aku datang ke pertemuan wali murid, aku masih belum memutuskan untuk menyekolahkan King di sini," ujar Wina. Ian duduk di sebelah Wina usai meletakkan cangkir di atas meja. Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat Wina lebih lekat. "Papanya di sini, kenapa kamu masih ragu?" Wina mendorong d**a Ian ketika ia menyadari pria itu begitu dekat dengannya. Dan sialnya, itu membuat d**a Wina bertalu-talu dengan liar. "Pak Ian nggak pernah jadi ayah King selama ini." "Itu semua karena kamu yang menyembunyikan keberadaan King!" gertak Ian tak mau kalah. Ia mengulurkan tangannya ke pipi Wina hingga wanita itu berjengit. "Tujuh tahun lebih, Win. Kenapa kamu bisa setega itu sama aku? Aku bahkan nggak tahu kamu hamil anak aku!" Wina menggigit bagian dalam pipinya. Seharusnya ia yang marah saat ini, tetapi di depannya Ian terlihat begitu kesal. "Aku sengaja nggak kasih tahu Pak Ian." Wina tersenyum miring. "Pak Ian terlihat bahagia dengan istri Bapak. Jadi, kenapa aku harus kasih tahu kalau aku hamil setelah satu malam penuh kesalahan itu?" "Andai kamu kasih tahu aku malam itu, aku pasti akan memilih kamu," ujar Ian seraya membelai pipi Wina. Ia menggeleng. "Aku kecewa kamu nggak kasih tahu aku sama sekali, kamu pergi begitu aja dan nggak pernah ada kabar tentang kamu selama ini." Kepala Wina berputar keras. Ian akan memilihnya? Kenapa? "Aku tahu kamu suka sama aku," lanjut Ian. Ucapan itu membuat Wina ingin sekali pingsan sebab ia ketahuan. Sungguh sial. "Aku tahu kamu memandang aku berbeda sejak dulu, Win. Aku bukan hanya wali kelas kamu, aku bukan sekadar kakak dari teman kamu. Tapi ... di dalam sana ...." Wina berhenti bernapas ketika ujung telunjuk Ian menyentuh dadanya. Ia merasa seperti hendak meledak sekarang juga. "Aku tahu kamu menyukai aku." Ian tersenyum miring di depan wajah Wina. "Dan seharusnya kamu tahu, aku punya perasaan yang sama dengan kamu." Dunia Wina luluh lantak sekarang juga. Kenapa Ian bicara seperti ini? Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak mempercayai pria di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD