Bab 14. Keluarga Ian

1539 Words
"Kamu nggak perlu khawatir, Roki." Wina meraih tangan tunangannya. Ia lalu beringsut ke arah Roki untuk merapatkan tubuhnya. "Aku nggak akan sering-sering ketemu pak Ian. Kami hanya ... yah, King hanya ingin mengenal ayah kandungnya dan pak Ian, aku yakin dia juga begitu." Roki mendengkus keras. "Ian itu duda! Dia pasti akan memikat kamu dengan cara apa pun untuk mendapatkan hati kamu dan juga King." Wina mengerutkan keningnya. Ia memang sangat jarang membicarakan Ian bersama Roki. Ia juga tak pernah mencari tahu kabar tentang Ian. Ia bahkan tak tahu jika Ian telah lama menduda. "Kamu tahu dia duda?" tanya Wina spontan. Roki menoleh pada Wina seketika. "Tentu aja aku tahu. Aku mencari informasi tentang Ian sejak aku mendengar cerita kamu tentang pria b***t itu." Wina meremang. Ia ingat, ia telah mengenal dengan Roki selama hampir dua tahun. Ia menceritakan semuanya ketika ia yakin mereka saling mencintai. Roki tak pernah mengatakan apa pun mengenai Ian selama itu. Dan ia selalu mengira, Ian masih hidup bahagia bersama istrinya. "Jadi, kamu tahu istri pak Ian udah lama meninggal dunia?" tanya Wina lagi. "Tentu aja aku tahu. Aku tahu istrinya meninggal sekitar ... mungkin dua tahun setelah pernikahan mereka," jawab Roki. Wina menelan saliva keras. Jadi, ketika ia berkenalan dengan Roki, Ian telah menduda. Wina hanya membatin. "Win, aku cemas. Aku bisa melihat sorot matanya yang mendamba ke arah kamu ketika kita ketemu dia di rumah sakit. Dia pasti masih suka sama kamu," tebak Roki dengan nada tak senang. Wina menggeleng meskipun kini hatinya berdebar keras. Ia ingat apa yang dikatakan Ian tadi di sekolah. Ian menginginkannya. Ia tak akan mengatakan itu pada Roki karena ia tak ingin Roki semakin cemas. "Pak Ian hanya ingin dekat dengan King. Aku yakin kayak gitu," ujar Wina. Roki menatap Wina penuh perhatian. Ia lalu merangkul Wina dan membawanya lebih dekat ke tubuhnya. "Aku cinta sama kamu, Win. Aku nggak akan rela jika ada yang mencoba mengambil kamu dari aku." Wina mengangguk. Ia ingin berkata bahwa ia juga mencintai Roki, tetapi bibirnya justru kelu. Ia terbayang dan terbayang sosok tinggi Ian ketika menyeduh kopi untuknya. Ini kurang ajar! Ia berada di pelukan Roki, tetapi pikirannya justru tertuju pada Ian. "Kamu jangan khawatir," gumam Wina. "Aku nggak akan terjerat sama pak Ian." Roki merenggangkan pelukannya. Ia menangkup pipi Wina lalu mendaratkan ciuman di sana. Wina membalas ciuman itu dengan lembut seperti biasa. Yah, Roki tak ingin meragukan perasaan Wina saat ini. Lagipula, baru beberapa kali Wina bertemu dengan Ian. Ian sudah membuat hidup Wina berantakan. Wina tak akan jatuh hati pada Ian, pikir Roki seraya menikmati bibir Wina. Wina merasakan bibir lembut Roki melumat bibirnya. Biasanya, ia tak suka berciuman dengan Roki di ruangan terbuka seperti ini karena ia cemas King akan muncul tiba-tiba. Namun, kali ini ia membiarkan Roki melakukannya. Ia menikmatinya lumatan dan hisapan dari pria itu karena ia berharap otaknya akan kembali normal. Wina ingin menikmati Roki, pria baik yang sudah banyak membantunya selama ini. Dan ia berharap, Roki mampu membantunya mengusir sisa-sisa Ian dari kepalanya. Hapus Ian! Hapus Ian! Sembari membuka bibirnya, Wina membatin kata-kata itu. "Sayang, gimana kalau kita ke kamar?" tanya Roki seraya mengedikkan dagunya ke lantai dua. Wina menelan keras. Ia ingin sekali menepis bayang-bayang Ian. Mungkin, bercinta dengan Roki akan mampu membuatnya melakukan itu. Namun, entah bagaimana Wina menggeleng. "Ada King," ujar Wina. Roki mendekatkan kening mereka berdua. Ia menahan amarahnya yang seketika menggelora. King! Selalu King! Dan ia harus mengalah. "Maaf," lirih Wina. "Aku mengerti," tukas Roki dengan senyuman tipis. Ia membelai pipi Wina dengan penuh hasrat. "Aku harap, keputusan kamu menyekolahkan King di sekolah itu tidak membuat hubungan kita goyah, Sayang. Karena aku nggak mau kehilangan kamu." Wina menggeleng. Ia pasti sudah gila jika terjerat dengan Ian lagi. Ia merasakan sentuhan lembut Roki di rahangnya dan tak lama mereka kembali berciuman. Wina tak tahu berapa lama mereka b******u di ruang tengah, tetapi aksi itu terhenti tiba-tiba ketika mereka mendengar suara pintu ditutup. Wina terkesiap sementara Roki agak kesal. "Roki, maaf. King pasti udah selesai main ponsel dan ...." "Ya. Aku tahu. Aku pulang aja," ujar Roki. "Aku yang minta maaf karena aku terlalu menggebu-gebu ketika bersama kamu." Wina mengangguk. "Jangan marah. Kita akan menikah bentar lagi. King bakal ngerti." "Ehm, aku nggak sabar menanti kita menikah." Roki berdiri, mengulum bibirnya lalu meraih kunci mobil di atas meja. "Kamu temani King aja. Aku keluar sendiri." "Ya. Makasih kamu udah mau temani King sementara aku rapat tadi," kata Wina seraya berdiri. Rasa tak enak menjalari Wina. Dulu, King tak akan peduli jika ia ketahuan berciuman dengan Roki, tetapi belakangan ini ia tahu King sedang dalam fase protes. Tampaknya ia harus bicara dengan King. *** Sore itu, Ian berniat melayangkan protes pada ibunya. Sejak menikah, ia tidak tinggal lagi bersama keluarga ibunya. Ia membeli rumah lain dan kini, ia hanya tinggal di sana bersama Azka dan beberapa pelayan serta Egi. "Tuan, apa Anda akan makan malam di sini?" tanya Egi yang menyetir untuk Ian. "Kayaknya nggak," jawab Ian. Ia yakin, obrolan hari ini tidak akan menyenangkan dan ia tak akan berselera makan dengan ibunya. "Kamu tunggu di sini aja." "Baik, Tuan." Ian meninggalkan mobil. Ia berjalan memasuki rumah dan disambut beberapa pelayan. Tak lama, ia mendengar langkah kaki menuruni anak tangga. Ia menoleh ketika menatap Meli sedang berjalan ke arahnya. "Astaga, Kak! Aku kangen!" seru Meli. "Ya, aku juga kangen" Ian tersenyum ketika Meli memeluk tubuhnya erat-erat. Ia mengusap punggung adiknya dengan lembut. Ia jadi ingat dengan Wina, mereka seumuran. 26 tahun adalah usia yang masih sangat muda, dan Wina telah menjadi ibu selama tujuh tahun terakhir. "Ehm, Mama mau bahas hal penting. Ayo!" Meli memeluk lengan kakaknya lalu menggiringnya pelan menuju ruang keluarga. "Meli, tunggu!" Ian menghentikan langkahnya. Ia jadi penasaran setengah mati. "Apa selama ini, kamu nggak denger kabar dari temen kamu ... Wina?" "Kenapa tiba-tiba Kakak bahas Wina?" Meli ikut-ikutan menghentikan langkahnya. Ia melipat kedua lengannya dengan longgar di depan d**a. Sudah lama sekali ia tak mendengar Ian menyebut nama Wina. "Nggak ada yang tahu kabar Wina, ada apa?" "Nggak apa-apa. Ayo ke sana aja. Aku kebetulan mau ketemu Mama," kata Ian. Meli mengangguk. Gara-gara pertanyaan Ian, Meli jadi memikirkan Wina. "Abis lulus SMA ... Wina nggak kelihatan lagi. Dia juga left grup alumni dan nggak ada satu orang pun yang ngomongin dia. Kakak kenapa tiba-tiba ...." "Wah! Anak ganteng Mama!" Rosa memotong ucapan Meli. Ia mendekati Ian lalu mengulurkan tangannya ke atas untuk menyentuh pipi Ian. "Kebetulan, Mama mau ngomong sesuatu sama kamu." "Duduk!" Meli nyengir lebar pada Ian lalu duduk di sofa. Rosa langsung menarik Ian untuk duduk di seberang Meli. Rosa membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa lembar foto di atas meja. "Yan, kamu lihat gadis-gadis cantik ini. Kamu pilih, mana yang paling kamu suka?" "Apa?" Ian membulatkan matanya. Ia menatap Rosa dan Meli bergantian. "Aku bantu milihin jodoh buat Kakak. Dua dari mereka adalah temen aku. Masih muda, pasti ada yang menarik di mata Kakak," ujar Meli sambil cengengesan. Ia menunjuk ke foto teman-temannya lalu mengangkat alis pada Ian. Ian menggeleng pelan. "Apa Mama mau aku menikah lagi?" "Tentu aja. Kamu udah 35 tahun dan kamu harus menikah lalu ... memiliki anak," kata Rosa. Ian mengepalkan tangannya. Ia semakin marah sekarang. Ia sudah marah sejak mendengar dari Wina bahwa ibunya yang mengusir Wina bertahun-tahun lalu. "Mama mau aku menikah dengan rencana Mama lagi?" tanya Ian dengan nada jengkel. Rosa tersenyum tipis. "Itu karena kamu nggak pernah kelihatan dekat sama wanita, Yan. Kamu harus ingat usia kamu. Kamu harus menikah dan memiliki keturunan, gimana nasib yayasan kalau kamu nggak punya anak?" "Aku punya anak!" gertak Ian. Rosa membuang napas panjang. "Ya, Mama tahu. Tapi, Azka ...." Wanita itu mengibaskan tangannya di udara. "Resta udah lama meninggal dunia. Lima tahun, Yan. Dan Mama nggak mau kamu menduda lagi. Kamu harus menikah secepatnya!" "Hanya demi kepentingan Mama!" Ian menumpuk foto itu dan mendapatkan pelototan dari Rosa—juga Meli yang kecewa karena Ian tak memilih temannya. "Aku nggak akan terjerumus dalam rencana Mama lagi. Cukup sekali aku menikahi wanita yang nggak aku cintai!" Rosa menepuk d**a Ian dua kali. "Kamu mencintai Resta, buktinya kamu bertahan dengan wanita itu sampai dia meregang nyawa. Kalian bahkan memiliki anak. Tapi, yah ... anak itu nggak bisa diharapkan untuk menjadi pewaris." "Anak itu cucu Mama!" Ian bicara dengan nada meninggi. "Mama tahu. Anak cacat itu ... maksud Mama ... down syndrome. Itu nggak bisa diperbaiki, Yan. Kamu harus punya anak lain. Anak yang sempurna," kata Rosa dengan nada membujuk. Ian menepis tangan ibunya. "Mama pikir, aku mau melakukan itu lagi? Menikah dengan wanita yang Mama inginkan dan melahirkan anak? Aku udah pernah melakukan itu. Dan Mama ... tidak terima dengan anak yang dilahirkan Resta." Ian hampir tertawa sekarang. "Aku nggak akan menikah dengan satu pun wanita yang Mama pilihkan. Dan kalau aku mau menikah, aku hanya akan menikah dengan wanita yang aku cintai." Rosa dan Meli bertatapan. "Apa Kakak punya pacar?" Meli bertanya penasaran, sudah lama ia tak melihat Ian bersama di seorang wanita. "Nggak. Tapi, aku akan menikahi dia." Ian menatap sengit ibunya. "Aku hanya mau menikah dengan dia." "Siapa wanita itu?" tanya Rosa tak mengerti. Ian tersenyum. "Wanita yang sudah melahirkan anak aku. Dan wanita itu Mama usir tujuh setengah tahun yang lalu." Rosa ternganga seketika. "Apa? Dia ... Wina?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD