Bab 3. Bertemu Kembali dengan Ian

1521 Words
Wina berjalan lemas memasuki rumah ibunya. Ia tersenyum getir. Ibunya adalah seorang p*****r, w************n yang sudah membuat ia dihina habis-habisan malam ini. Ia sangat marah, tetapi ia juga sangat takut pada ibunya. "Kenapa kamu baru pulang?" tanya Erlin dengan tangan menekuk di pinggangnya. "Mama ... bisa nggak sekali aja Mama nggak bikin aku malu?" Wina mencoba untuk tak menangis, tetapi hidupnya sangat tak beruntung. "Apa maksud kamu?" gertak Erlin tak terima. Wina mengeluarkan tespek dari kantong kardigannya. "Aku hamil, tapi keluarga pria itu nggak mau menerima aku gara-gara Mama. Mama terlalu menjijikkan hingga aku yang terkena imbasnya! Seharusnya, Mama nggak kerja di tempat murahan!" Tamparan keras mendarat di pipi Wina seketika. Wina meraba pipinya yang panas—mungkin juga memerah. "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu! Kamu tahu kenapa Mama bekerja kayak gitu? Tentu aja, itu semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu harus lahir di dunia ini, Mama harus mengurus kamu! Mama bekerja demi membiayai hidup kamu, Bodoh! Kamu pikir, sekolah kamu itu murah? Kamu pikir, makanan kamu itu dibeli pakai daun? Kamu nggak berterima kasih sama Mama dan kamu hanya bisa membuat masalah!" Wina membalas tatapan sengit ibunya. Namun, ia kehabisan kosa kata. Ibunya juga menganggap ia sebagai beban dan mungkin ia hanyalah sebuah kesalahan dalam hidup ibunya. "Kamu hamil?" Erlin menatap tespek di tangan Wina. Ia lantas berdecak jengkel pada putrinya. "Ah, Mama udah capek ngurus kamu dan sekarang ... kamu mau menambah beban Mama dengan bayi itu? Gugurkan bayi itu, Win. Kamu hanya akan menderita kalau kamu merawat bayi itu. Dan Mama juga!" Wina menggeleng. Ia tak ingin menggugurkan bayi ini. "Mama jangan keterlaluan. Ini cucu Mama!" "Mama nggak butuh cucu dari kamu. Mama nggak akan mau ngurus kamu lagi kalau kamu mau mempertahankan bayi itu. Pergi! Pergi dari sini!" gertak Erlin seraya mendorong bahu Wina. Sayangnya Wina tak punya tujuan. Ia harus pergi ke mana? Ia tak tahu. "Kenapa kamu diam aja? Mama bilang pergi!" hardik Erlin lagi. "Kamu harus pergi ke luar negeri! Susul papa kamu yang menjijikkan itu dan mulai hari ini, Mama nggak akan peduli dengan kamu lagi!" Wina menatap ibunya tak percaya. Ia tak pernah tahu di mana ayah kandungnya. Dan kini, ia akan dikirim ke luar negeri di mana ayahnya tinggal? Wina hampir protes, tetapi ia tak punya pilihan lain. Ia berkemas malam itu juga dan meninggalkan Indonesia siang harinya dengan diiringi tatapan sengit Erlin. *** 7,5 Tahun Kemudian Wina terus merasa gugup. Kembali ke Indonesia adalah pilihan yang membuat ia tidak tenang meskipun ia sudah sangat lama meninggalkan tanah kelahirannya. Wina tinggal di Jerman sejak ibunya meminta ia pergi. Ia bertemu dengan ayahnya yang baik—beruntung—dan ia bisa membesarkan King di sana. Wina memutuskan untuk kembali karena ia mendapatkan tawaran pekerjaan di Jakarta. Tentu saja, ia tidak pulang ke rumah ibunya. Ia bahkan tak tahu di mana ibunya berada. Ia membeli sebuah rumah sederhana dan tinggal di sana dengan King yang kini hampir berusia 7 tahun. "Kamu tunggu di sini, Sayang," ujar Wina seraya berdiri. Mereka baru saja makan di sebuah kedai. "Mama mau bayar dulu." "Ya." Dengan mata tajamnya, King menatap sang ibu. Ia tersenyum. Sudah hampir dua minggu ia berada di Jakarta dan ia merasa cukup betah. King mengeluarkan bola basketnya sementara Wina mengantre di depan kasir. King mulai memantulkan bola basketnya hingga ia merasakan tatapan seorang pramusaji yang seolah berkata bahwa ia tak boleh memainkan bola di dalam restoran. King mengangkat bahu. Ia lantas berjalan pelan menuju pintu keluar. Ia melirik ibunya yang masih berdiri di depan kasir. Ada setidaknya dua orang di depan Wina. Akan sangat lama jika ia menunggu. Jadi, dengan rasa tak sabar akhirnya King melangkah ke luar. "Wah! Bolaku bisa melambung," ujar King ketika ia memantulkan bolanya di trotoar berkali-kali. Bola itu sesekali melambung cukup tinggi. Hingga tiba-tiba, tanpa sengaja bolanya mengenai kepala seorang pejalan kaki. "Hei! Kenapa kamu bermain di sini?" Pria itu tampak kesal lalu mengambil bola King. "Maaf. Kembalikan bola aku, Kak," pinta King dengan tangan terulur. "Enak aja! Kamu udah bikin kepala aku pusing!" gertak pria itu. "Aku udah minta maaf. Aku nggak sengaja, aku nggak akan main lagi di sini," ujar King. Pria itu mendesis kesal lalu mengembalikan bola King. Ia mengacak rambut King sekilas. "Lain kali, main di lapangan. Di sini berbahaya, dekat jalan raya. Dan ... di mana orang tua kamu?" King menunjuk ke arah restoran cepat saji di mana ia tadi makan dengan Wina. "Aku mau balik ke mama." "Bagus. Sana." King mengangguk sementara pria itu kembali berjalan cepat. King sepakat dengan pria tadi, rasanya tidak asyik bermain di sini. Namun, ia kembali memantulkan bolanya sembari berjalan menuju restoran. Sayang, bolanya tiba-tiba mengenai tong sampah dan memantul lebih jauh. "Hei, stop!" seru King. King mengejar bolanya, ia tak sadar bahwa bolanya sudah menggelinding ke jalanan. Dan ia terus mengikuti. Ia akhirnya menjangkau bola tersebut lalu berdiri lebih tegak. Namun, tiba-tiba sesuatu yang besar meluncur ke arahnya lalu bola itu kembali menggelinding bebas sementara tubuhnya ambruk di tengah jalan. King merasa pusing, kepalanya sakit sekali hingga ia tak bisa melihat apa pun saat ini. Sementara itu di dalam mobil, si sopir langsung melotot. Ia tak mengira akan menabrak seorang bocah di sini. Dengan napas terengah-engah, ia mengintip dari atas kemudi. Bocah itu tergeletak di tengah jalan dan tak bergerak. "Apa yang kamu lakukan? Kamu menabrak orang?" tanya Ian yang duduk di jok belakang mobil. "Maaf, Tuan. Saya nggak sengaja. Saya cek dulu." Ian mendengkus kesal karena ia sedang buru-buru. Sungguh sial sopirnya justru membuatnya repot dengan sebuah kecelakaan. Ia melihat ke depan, dan ia bertambah kesal lantaran Egi tak segera kembali ke mobil. "Apa anak itu parah?" Ian segera membuka pintu mobilnya. Ia menatap Egi yang gemetaran dengan tangan menempel di bibir. "Kamu udah telepon ambulans?" "Ya!" Egi mendekati Ian. Ia menunjuk ke arah anak yang masih pingsan itu. Beberapa orang tampak berkerumun penasaran lalu dengungan komentar mulai terdengar di sekitar Ian dan Egi. "Tuan harus lihat anak itu!" "Kenapa? Apa kondisinya parah?" tanya Ian panik. "Saya nggak tahu. Kepalanya berdarah dan dia nggak sadar. Tapi ... tapi, Tuan, dia mirip banget sama Tuan." Egi masih gemetar, tetapi ia justru dibuat kaget dengan wajah bocah yang baru saja ia tabrak. "Apa?" Ian mengerutkan kening. Ia pun berjalan mendekati kerumunan lalu menatap si bocah yang terbaring di atas aspal. Ini gila! Bagaikan pinang dibelah dua, ia memiliki paras yang sangat mirip dengan anak asing itu. "Benar, 'kan, Tuan? Dia mirip dengan Anda!" Egi kembali bicara, kali ini agak berbisik. Ian menggeleng sempurna. Ini tak mungkin. Apakah ayahnya diam-diam memiliki anak di luar sana? Apakah anak ini memiliki hubungan darah dengannya atau hanya kebetulan mirip? Bukankah di dunia ini ada orang-orang yang mirip seperti ini? Ian belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Dan tiba-tiba, ia mendengar seseorang berlari mendekat. Ia menoleh dengan sangat terkejut pada seorang wanita muda yang pucat. "King! King!" Wanita itu berseru lalu menyibak kerumunan. "Apa yang terjadi? Ya, Tuhan! King!" Ian merasa jantungnya sudah tidak normal. Detak jantung itu meningkat secara drastis ketika ia menatap Wina berlutut di sebelah bocah yang kini ia ketahui namanya. King. Wina mengusap pipi King dan menangis tersedu-sedu. Ian bisa melihat Wina gemetar setengah mati. "Wi-Wina?" Ian memanggil nama wanita itu. Wina berhenti menangis. Suara yang tak asing membuat ia langsung menoleh. Ia terkejut mendapati Ian berdiri di belakangnya. "Apa yang terjadi? Apa Anda yang menabrak anak saya?" Anak! Ian semakin merasa kehilangan kemampuan bicaranya. Itu anak Wina. Dan anak itu mirip sekali dengannya. Ini sangat aneh, pikir Ian. Ia tak berani menerka-nerka, tetapi ia juga tak bisa tenang. "Saya yang menabrak anak Anda, Nona," ujar Egi penuh sesal. "Saya sudah memanggil ambulans. Saya minta maaf, saya kurang hati-hati." Wina memeluk King dengan erat. Tangannya bersimbah darah hingga ia kembali menangis. Ia tak percaya semua ini terjadi, ia bahkan harus bertemu dengan Ian—seseorang yang sangat ia hindari. Ambulans datang dengan cepat lalu King dibawa naik dengan brankar. "Apa kalian wali dari anak ini?" tanya petugas paramedis seraya menatap Wina dan Ian. Karena King sangat mirip dengan Ian, ia mengira Ian adalah ayahnya. "Saya ibunya." Wina melompat naik ke ambulans. Ia menoleh kaget ketika Ian juga masuk dan duduk di sebelahnya. "Apa yang Anda lakukan?" "Aku mau ikut ke rumah sakit," jawab Ian tanpa mengalihkan tatapannya dari King. "Kenapa?" Wina mengepalkan tangannya. "Pria tadi ... adalah sopir aku. Yang nabrak King. Nggak sengaja," kata Ian seraya menatap Wina. "Aku minta maaf, Win." Rahang Wina mengeras. "Mobil Anda yang menabrak anak saya?" "Aku minta maaf. Ini kecelakaan. Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab," ujar Ian sungguh-sungguh. "Bertanggung jawab?" tanya Wina dengan nada mencela. Setelah ia membesarkan Ian seorang diri selama hampir 7 tahun, Ian berani berkata tentang tanggung jawab. Ia langsung memalingkan wajahnya dari Ian. Ia menggenggam tangan King erat-erat. "Dia pasti akan baik-baik saja," kata Ian penuh harap. Wina tak merespons. Ia sangat muak. Bagaimana mungkin King akan baik-baik saja? Mobil ayah kandungnya yang menyebabkan ia terluka seperti ini! "Wina ... aku mau tanya sesuatu sama kamu." Ian mencoba bicara setelah mereka terdiam selama beberapa saat. Wina masih terdiam hanya fokus menggenggam tangan King. "Anak ini ... apa anak ini adalah anak aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD