Bab 2. Hamil dan Diusir

1553 Words
2 Bulan Kemudian Wina menatap strip tespek di tangannya dengan mata membelalak. Dua garis merah. Ia tahu artinya ia tengah berbadan dua. Sayangnya, Wina tidak menyukai hasil tes kehamilan itu. Dengan lemas, Wina pun berdiri. Ia menyiramkan air seninya ke dalam kloset lalu membuang napas panjang. "Aku harus memberitahu pak Ian." Yah, Wina yakin ia hamil dengan Ian karena ia hanya sekali tidur dengan seorang pria dan pria itu tak lain adalah mantan wali kelasnya. Wina agak takut, apakah Ian akan percaya padanya atau tidak. Sebab, ia tak pernah bertemu lagi dengan Ian sejak kejadian itu. Wina tak ingin hidupnya kacau. Ia akan mulai kuliah minggu depan, tetapi ia mendadak hamil. Dan ia belum menikah. Ya, Tuhan! Entah apa yang akan dikatakan ibunya nanti. Wina menyambar kardigan lalu memasukkan tespeknya ke saku. Ia meninggalkan kamar dengan cepat. "Kamu mau ke mana, Win? Kamu inget malam ini Mama tunangan sama om Andra?" Erlin mendelik pada putrinya yang baru saja mengambil kunci mobil. "Aku tahu, Ma. Aku cuma mau pergi sebentar. Ada hal penting," ujar Wina. "Jangan bikin masalah apalagi malu-maluin Mama!" gertak Erlin. Wina mengangguk. Ia meremas tespek di dalam sakunya dengan tangan kiri. Ia akan meminta pertanggungjawaban Ian malam ini juga lalu ia akan pulang. Ia akan makan malam dengan calon ayah tirinya dan semuanya akan baik-baik saja. Wina segera melajukan mobil ibunya dengan cepat. Ia menggigit bibirnya hingga pasti memerah. Ia berdebar tak keruan. Ia akan mengatakan pada Ian bahwa ia tengah hamil dan ia ingin Ian menikahinya. Apakah ini masuk akal? Apakah pria itu akan bertanggung jawab? Keluarga Ian sangat kaya, sedangkan ia hanyalah anak dari ibu tunggal yang tak bisa dibanggakan. Ibunya terkenal sebagai seorang p*****r murahan yang senang menggoda pria kaya. Belum-belum, Wina sudah merasa sangat malu. "Aku nggak peduli. Aku harus bicara sama pak Ian," gumam Wina. Ia menginjak gas dengan lebih keras. Ia hanya ingin segera sampai di rumah Ian. Wina menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang. Seorang sekuriti menyambutnya dan ia menurunkan kaca mobil. "Saya teman Meli, Pak. Boleh saya masuk?" "Oh, temennya mbak Meli?" Sekuriti itu menatap Wina lekat-lekat. Ia melihat Wina hanya memakai pakaian rumahan, bahkan Wina tak berdandan. "Di dalam baru ada pesta, Mbak." "Saya harus bicara penting. Ada masalah dan ... saya harus masuk." Wina mengintip ke balik pintu gerbang. Ia bisa melihat tenda besar dan banyak orang di sana. "Saya mohon, bentar aja kok, Pak." "Oke. Tapi mobilnya nggak bisa masuk." "Nggak masalah." Wina menepikan mobilnya. Ia lalu turun dari mobil dan mulai melangkah masuk. Wina dibuat terkaget ketika ia melihat di beberapa tempat ada banner dengan tulisan "Happy Wedding Ian & Resta". Wina mengangkat tangannya ke bibir. Ia merasa hampir muntah saat ini. Ia ingin meminta pertanggungjawaban Ian, tetapi Ian baru saja menikah? Oh, Tuhan! "Bukannya kamu teman Meli?" Wina menoleh cepat. Ia menatap wanita anggun di depannya dengan gugup. Ia mengenali wanita itu sebagai nyonya rumah alias ibu dari Ian dan Meli. "I-iya, Tante. Saya ... saya mau ketemu pak Ian sebentar," kata Wina. Wanita bernama Rosa itu menatap Wina dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu nggak lihat, di sini sedang ada pesta? Kamu bahkan nggak pantas berada di sini dengan pakaian semacam ini." "Sa-saya nggak tahu ada pesta di rumah ini," ungkap Wina. Ia menggenggam tespeknya yang tersembunyi di saku kardigan. "Kamu ngapain mau ketemu sama Ian? Bukannya kamu temenan sama Meli? Kamu nggak mau ketemu Meli aja?" tanya Rosa. Wina menggeleng pelan. "Saya mau ketemu pak Ian. Bentar aja, Tante. Saya harus ngomong penting." Rosa menatap Wina lebih jeli. Gadis muda ini tampak takut-takut dan pucat. Ia lantas menangkap gestur Wina yang tengah meremas sesuatu di sakunya. Sontak, ia langsung menarik pergelangan tangan Wina. "Apa ini?" tanya Rosa kaget. Ia memaksa Wina menunjukkan apa yang ia sembunyikan. Ia terperanjat menatap tespek yang ada di tangan Wina. Apalagi tespek itu memiliki dua garis merah. "Apa yang hendak kamu lakukan? Jangan katakan, ini anak Ian?" "Tante, plis, saya harus ngomong sama pak Ian," kata Wina dengan nada memohon. "Kamu nggak bisa seenaknya. Ikut dengan saya!" Wina menoleh ketika lengannya ditarik. Ia mengikuti langkah Rosa, tetapi kepalanya menatap ke belakang—ke mana saja—karena ia ingin menemukan sosok Ian. Wina hampir terisak, di sini terlalu banyak orang hingga ia tak bisa melihat Ian. "Masuk ke sini!" desak Rosa sambil mendorong daun pintu. Ia melepaskan tangan Wina lalu mengedikkan dagu. "Duduk di sana. Kita harus bicara." "Tante, saya mohon. Saya harus bicara berdua dengan pak Ian," kata Wina. "Nggak akan pernah!" hardik Rosa. Ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu. Ia menyusul Wina duduk di sofa lalu meletakkan beberapa lembar cek di meja. "Apa ini, Tante?" tanya Wina. "Ini uang sebagai ganti kamu harus tutup mulut atas kehamilan kamu," jawab Rosa. Wina menggeleng pelan. Ini tidak seperti yang ia bayangkan. "Saya tidak menginginkan uang." "Bohong jika kamu tidak menginginkan uang!" Rosa menatap Wina dengan ekspresi mencela. "Saya tahu seperti apa ibu kamu. Dia hanya seorang p*****r rendahan. Dan kamu pikir, kamu pantas bersanding dengan putra aku? Hah? Kamu pasti tak ada ubahnya dengan ibu kamu yang hina itu!" Wina mengepalkan tangannya. Ia sangat marah sekarang. "Saya bukan ibu saya!" Rosa tertawa mencela. "Aku nggak percaya. Seorang p*****r hanya bisa melahirkan p*****r murahan. Kamu pasti sudah menggoda Ian hingga kamu hamil. Atau jangan-jangan, kamu tidur dengan pria lain dan mengaku-ngaku itu adalah anak dari Ian? Apa kamu belajar dari ibu kamu?" "Berhenti menghina ibu saya seperti itu!" Wina tak tahan lagi. Ia tahu ibunya sangat buruk, tetapi ia juga tak suka ada yang merendahkan ibunya. "Saya hanya ingin bicara dengan pak Ian sekarang juga." "Udah aku bilang, kamu nggak pantas untuk Ian. Dia baru saja menikah dan kamu mau mengatakan apa? Kamu hamil? Jangan konyol, Wina." Rosa menekan cek di bawah jarinya lalu menggesernya ke arah Wina. "Lebih baik kamu terima ini dan pergi. Kamu bisa menggugurkan kandungan kamu atau pergi ke mana aja. Ini uang yang banyak. Ibu kamu suka dengan uang, aku yakin kamu juga." Wina merasa hatinya tengah diremas-remas. Ini sungguh memalukan. "Saya nggak butuh uang. Saya hanya ingin anak ini diakui." "Tidak akan pernah!" gertak Rosa. Wina tak peduli. Ia segera berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan. Ia mengabaikan panggilan Rosa lalu mulai berlari. Ia mengedarkan matanya, ia harus bicara sendiri dengan Ian lalu mendengarkan pendapat pria itu. Wina terengah-engah ketika ia tiba di taman belakang. Masih ada beberapa tamu, tetapi suasana pesta sudah cukup lengang. Wina berharap bisa melihat Ian atau setidaknya Meli. Namun, hingga ia memutari taman, ia tak melihat siapa pun. "Wina!" Wina menoleh, ia hampir menyerah untuk mencari Ian, tetapi kini Ian memanggilnya. Ian berdiri tak jauh darinya lalu pria itu mendekat. Wina menelan saliva keras-keras. Ian terlihat sangat tampan, dewasa dan indah dengan setelan tuksedo putih. Ian baru saja menikah dan itu saja sudah cukup menyakiti hati Wina. "Kamu ... di sini?" Ian tersenyum tipis pada mantan muridnya. "Ada apa?" Wina bisa merasakan tatapan Ian menari di tubuhnya. Ia yakin Ian merasa janggal karena ia tidak memakai gaun pesta. Ia masih menggenggam erat tespek di tangannya. Ini mudah, ia hanya perlu menyodorkan benda tipis itu pada Ian lalu bicara. Sayangnya, seorang wanita cantik tiba-tiba muncul di sebelah Ian. Wina tahu, itu adalah istri Ian. "Siapa dia, Sayang?" tanya Resta. Ian menoleh pada Resta dengan senyuman lebar dan Wina sangat iri pada wanita itu. "Ini Wina, dia mantan murid aku. Teman Meli." Ian kembali menatap Wina. "Apa kamu nyariin Meli?" Wina mengangguk pelan. "Ya. Saya nggak tahu ada pesta dan ... Pak Ian ... Anda baru saja menikah?" "Ehm, ya." Ian menjawab canggung. Menatap betapa bahagianya pasangan di depannya, Wina pun merasa semakin hancur. Ia mundur selangkah. Rosa benar, ia tak pantas untuk Ian. Ia bukan apa-apa sementara Ian adalah bintang yang bersinar. "Saya harus pulang." Wina membalik badan cepat lalu berjalan menuju ke mobilnya di luar. Tangis Wina tertahan. Ia mengusap pipi kasar sambil sesekali mendongak. "Win, tunggu!" Wina hampir mencapai mobilnya ketika Ian memanggil. Dan sekali lagi, pria itu mendekat. Bibir Wina bergetar, ia ingin mengungkapkan semuanya pada Ian, tetapi sungguh sialan, ia sama sekali tak bisa bicara. "Aku mau minta maaf," kata Ian. Pria itu menunduk lalu mengusap tengkuknya. "Malam itu ... kita sama-sama mabuk." Wina mengangguk, ia memang mabuk parah, tetapi ia tak yakin apakah benar Ian juga mabuk. Kenapa sebagian dari dirinya merasa Ian sengaja? Apakah Ian seberengsek itu? "Malam itu adalah kesalahan. Jadi, aku ingin minta maaf," kata Ian lagi. "Kesalahan," desis Wina. Ia mengalihkan tatapannya dari Ian ke ujung jalan. "Ya. Kamu bisa lupakan apa yang terjadi dan ... kamu akan segera kuliah. Aku harap kamu bahagia. Ehm, semoga sukses!" ujar Ian canggung. Wina menggigit bibirnya. Malam itu hanyalah kesalahan bagi Ian. Bahkan jika ia mengatakan ia sedang hamil anak hasil hubungan malam itu, Ian mungkin akan berkata bahwa anak ini juga adalah kesalahan. Semuanya hanyalah kesalahan! Wina merasa muak seketika. "Saya harus pulang. Dan Pak Ian nggak perlu khawatir. Malam itu emang cuma kesalahan. Malam itu ... nggak pernah terjadi!" Ian menatap kilatan penuh amarah di mata Wina, tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Wina lebih dulu masuk mobil. Dan tak lama, mobil itu memelesat meninggalkan dirinya. "Sial!" umpat Wina. Ia memukul setir dua kali lalu mulai menangis. Sungguh air mata sialan, pikir Wina. Ia hancur. Hidupnya hancur dan ia yakin, ibunya akan murka jika tahu ia tengah hamil tanpa ada yang mau bertanggung jawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD