Bab 4. Apa Om Adalah Papa Aku?

1522 Words
Wina melayangkan tatapan mencemooh ke arah Ian. Ia tak menjawab lantas kembali menatap wajah pucat King. Tidak! Ia tak akan mengatakan apa pun pada Ian. King adalah putranya sendiri. King tidak pernah diinginkan di keluarga Ian dulu, jadi kenapa Ian harus tahu? "Wina, dengar," ucap Ian hati-hati. "Aku cuma ... dia mirip dengan aku. Siapa namanya tadi? King?" Wina menahan tangisnya mengeras ketika ia menoleh pada Ian. "Kenapa Pak Ian bicara hal konyol? Tentu saja, King bukan anak Pak Ian. Dia anak dari suami aku." Ian menelan keras. Ia melirik cincin yang melingkar di jari manis Wina lalu mengangguk pelan. Yah, mungkin saja Wina sekarang telah menikah. Dengan gusar, ia memutar cincin pernikahannya sendiri. Mungkin Wina benar. Ia konyol. Tak mungkin King adalah putranya. Namun, kedua mata Ian terus terpaku pada King. Bahkan, Egi menganggap anak ini sangat mirip dengannya. Ian berpikir dalam hati. Berapa usia King? King terlihat seperti anak berumur 7 tahunan dan terakhir ia bertemu Wina adalah 7,5 tahun yang lalu. Dan mereka pernah tidur sekali. "Maaf sudah bicara ngawur," kata Ian tanpa mengalihkan tatapannya dari King. Apakah kesalahan semalam itu telah membuahkan benih? Ia meraba keningnya kasar. "Pak Ian nggak perlu minta maaf." Wina mengangkat dagunya. "Apa rumah sakitnya masih jauh?" Ia bertanya pada petugas paramedis. "Nggak, Bu. Bentar lagi sampai," jawab salah seorang dari mereka. "Apa kondisi putra saya parah?" tanya Wina lagi. "Sepertinya luka pasien tidak dalam. Tapi, dia kehilangan banyak darah karena benturan. Mungkin diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi pastinya," jawab petugas. Wina meletakkan telapak tangan di bibir. Ia tak ingin hal buruk menimpa King. Tidak, King sudah cukup menderita selama ini. Ia menggeleng pelan, menahan tangisnya semakin menjadi. "King, kamu kuat. Bertahanlah, Sayang." Wina membisikkan itu berkali-kali dan di sebelahnya Ian bisa mendengar. "Jangan tinggalin Mama. Mama cuma punya kamu, Sayang." Ian melirik kembali cincin yang melingkar di jari manis Wina. Ia merasakan hal yang janggal sekarang. Jika Wina telah menikah, kenapa Wina berkata bahwa ia hanya memiliki King? Kenapa Wina tidak menelepon suaminya untuk menyusul ke rumah sakit? Lamunan Ian terputus karena mobil ambulans tiba-tiba berhenti dan pintu belakang dibuka. Ian melompat turun disusul oleh Wina lalu brankar King ditarik keluar. Mereka mengikuti brankar itu menuju ruang UGD. Wina terus menggigit ujung jarinya sementara dokter memeriksa kondisi King. Lukanya cukup parah hingga King kehilangan banyak darah. Namun, beruntung selain itu tak ada hal serius menurut dokter. "Kami butuh donor darah," ujar salah seorang perawat. "Tapi saat ini stok golongan darah A sedang habis. Apa ad—" "Golongan darah saya A," sahut Ian cepat. Wina meremas tangannya sendiri. Ia tak protes pada Ian karena King memang membutuhkan donor darah. Dan itu adalah hal yang tak bisa ia berikan pada King karena golongan darah mereka berbeda. "Silakan ikuti saya," ujar perawat itu pada Ian. Ian mengangguk. Ia memberikan tatapan penuh makna pada Wina yang masih termangu. "Jangan khawatir. King pasti akan baik-baik aja." Wina tak merespons. Ia menunggui King yang sedang dijahit lukanya dengan perasaan tak keruan. Ia datang ke Jakarta dengan harapan bisa tetap bersembunyi dari Ian, tetapi mereka justru bertemu dan King bahkan akan mendapatkan donor darah dari Ian—ayah kandungnya. Wina tak bisa tenang meskipun King kini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Sekantong darah terhubung ke tubuh King—darah Ian! Wina tak bisa mempercayai ini semua. "Wina," panggil Ian. Wina menoleh ke arah pintu. Ia memperhatikan Ian bersandar di kusen selama beberapa detik. Pria itu tak lagi mengenakan jas. Jasnya tersampir begitu saja di lengan kirinya yang terlipat. Lalu jemarinya dengan terampil menurunkan lengan kemeja dan mengancingkan lengan tersebut. "Kenapa Pak Ian masih di sini?" tanya Wina dengan nada mencela. Ian membuang napas panjang. Ia meninggalkan kusen pintu dan mendekati Wina. "Aku masih harus melihat kondisi King." Wina mengerutkan keningnya. "Itu nggak perlu. Pak Ian sudah melakukan yang seharusnya. Apa Pak Ian butuh ucapan terima kasih karena udah ngasih donor darah?" Ian menggeleng. "Nggak. Nggak kayak gitu, Win." Ia berdiri di dekat ujung ranjang King. "Aku tunggu sampai King sadar. Dokter bilang, kita harus memantau kondisinya. Benturan di kepala bisa saja berbahaya. Jadi, aku harus tahu bagaimana kondisinya." Wina mendengkus keras. Ia tak ingin peduli dengan keberadaan Ian di sini, tetapi ini tidak baik. Jika King melihat wajah Ian, ia yakin King akan penasaran. Ia tahu, King bukan anak biasa yang tidak peka pada suatu hal. King akan segera tahu! "Aku bisa menunggu anak aku sendiri. Dokter bilang dia baik-baik aja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Wina mencoba mengusir Ian dengan halus. "Aku masih mau di sini," ujar Ian tak mau kalah. Wina menatap lurus ke arah pria yang kini berusia 35 tahun itu. "Kenapa? Kenapa Pak Ian melakukan ini?" "Karena aku yakin ... kamu menyembunyikan sesuatu. Anak ini ... King, aku yakin dia adalah anak aku," ujar Ian. Ia membalas tatapan Wina. Ia bisa melihat kedua mata basah dengan sorot penuh amarah. Dan bagi Ian, itu justru menegaskan bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Ian ingat, malam itu Wina datang ke rumahnya. Ia tak bisa melupakan ekspresi Wina. Kalut, marah, sedih dan bingung. Mungkin ketika itu Wina hendak memberitahukan perihal kehamilannya. Namun, malam itu adalah malam pernikahannya dengan Resta. Seharusnya semuanya pas, usia King cocok dengan situasi ini. Jika Wina menikah dengan pria lain tak lama setelah hari itu, tak mungkin Wina memiliki anak berusia 7 tahunan. "Jangan mengada-ada!" gertak Wina dengan napas naik-turun. "Win, kita pernah tidur bareng. Aku nggak lupa," kata Ian. Wajah Wina sontak membara. Jantung mendesak tulang rusuknya dengan sangat kuat hingga ia hampir hilang akal. Oksigen seolah dicuri darinya. Tidak! Tidak! Setelah sekian lama, Ian akhirnya tahu! Namun, tidak! Wina tak ingin Ian berhubungan dengan King. "Usia King sangat cocok dengan kejadian itu. Dan golongan darahnya bahkan sama kayak aku. Wajahnya!" Ian menunjuk ke arah King. "Adalah wajah aku. Kamu nggak buta, orang lain nggak buta. Udah banyak perawat dan dokter yang melihat itu dan semua menebak aku adalah ayah dari King." Wina berdiri seketika. Ia tak tahan lagi. "Kalau Pak Ian masih melantur kayak gitu, lebih baik Pak Ian keluar. Aku capek, aku butuh ketenangan sementara anak aku belum sadar!" Ian membuang napas panjang lalu mengangguk. "Ya, maafin aku, Win." Wina menggeleng pelan. Ia melewati tubuh Ian untuk menuju ke toilet. Ia harus mencuci wajahnya yang panas. Wina menutup pintu toilet rapat-rapat. Ia memutar kran wastafel dan menunduk di sana. Ya, Tuhan! Wina tak bisa berpikir jernih. Wina tak pernah tahu bagaimana kehidupan Ian selama ini. Ia menutup semua akses mengenai Ian selama ini karena semua terasa begitu menyakitkan baginya. Dan kini, Ian seenaknya mengakui King. Wina tertawa sambil menangis. Ia membasuh wajahnya berkali-kali, tetapi tetap saja ia tak bisa tenang. Sementara itu, Ian masih memandang wajah King. Ia duduk di kursi Wina tadi lalu menggenggam tangan King. "Hei, kamu punya nama yang keren. King Asher. Ayo bangun, King." Dengan lembut, Ian membelai pelipis King. Wajah ini tak bisa menipu dan ia tak akan melepaskan King begitu saja. Ia harus membuat Wina mengakuinya. "Ehm ...." King mengerutkan keningnya tiba-tiba sambil menggumam. "King?" Ian memanggil lebih keras. "Kamu udah bangun?" King membuka matanya perlahan. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya ia bisa melihat lebih jelas wajah Ian. Ia terkesiap karena tak mengenali pria di depannya sekaligus bingung karena wajah pria itu tampak tak asing. "Om siapa?" tanya King. "Kamu tahu nama kamu? Kamu nggak pusing?" Ian balik bertanya. King kembali mengerutkan kening. Ia mengedarkan matanya dan sadar, ia ada di rumah sakit. Ada kantong infus dan darah di tiang. Dan tubuhnya terasa nyeri semua. "Nama aku King. King Asher. Dan aku pusing setengah mati," jawab King. Ian tersenyum sempurna. Anak ini sangat menarik perhatiannya. "Kamu akan segera sembuh. Tenang aja. Tadi, kamu tiba-tiba muncul di depan mobil Om dan kamu tertabrak. Maaf." King mencoba mengingat, ia lalu mengangguk. Ia sedang mengejar bolanya yang berharga. "Dan di mana bola aku?" "Bola?" Ian bertanya tak mengerti. "Ya. Bola itu punya tanda tangan Robert Miller, atlet basket idola aku!" ujar King. Ian ternganga. Ia tak menyangka King bicara dengan nada seperti itu. Anak ini terasa sangat spesial. "Kamu punya bola yang ditandatangani langsung oleh atletnya?" "Dan bola itu pasti udah ilang. Mama pasti marah." King melebarkan matanya. "Om, di mana mama aku?" Ian mengedikkan dagunya ke toilet dan serta-merta King membuang napas panjang. "Mama kamu khawatir melihat kamu seperti ini." "Pasti. Mama selalu bersikap berlebihan. Dia akan khawatir sama aku selama aku sakit dan setelah aku sembuh, mama akan mengomel," cibir King. Ia menatap Ian yang tersenyum begitu lebar. Ia penasaran dengan pria ini. "Sebenarnya Om siapa?" Ian menggigit jarinya. "Om ... pemilik mobil yang udah nabrak kamu. Nggak sengaja dan sopir Om yang nyetir." King tampak tak puas dengan jawaban Ian. "Kenapa aku merasa Om bukan orang asing. Dan Om ... Om mirip sama aku. Kenapa? Apa Om adalah papa aku?" Ian membelalak. Bagaimana bisa anak 7 tahun bertanya hal seperti ini? Namun, wajah mereka memang tak bisa menipu? "Apa kamu berpikir kayak gitu? Kita mirip?" tanya Ian. King mengangguk. "Aku pernah memergoki mama sedang menatap foto seorang pria di laptopnya. Dan pria itu mirip denganku. Dan pria itu ... aku pikir itu adalah Om. Jadi, apakah Om adalah papa aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD