"King!"
Wina berseru dari depan pintu toilet. Seruannya berhasil membuat percakapan King dan Ian terputus. Wina melangkah cepat mendekati ranjang King. Ia berdebar karena marah. Ia mendengar pertanyaan King barusan dan itu sangat berbahaya.
Ian berdiri dari duduknya lalu berpindah ke ujung ranjang, kali ini ia duduk di dekat kaki King. Sementara Wina langsung menggantikan Ian duduk di kursi kecil. "Hei, kamu baik-baik aja? Kamu ngerasa sakit atau gimana?" Wina bertanya pada King dengan nada cemas.
"Aku baik," jawab King. Ia tersenyum tipis pada ibunya yang merengut. "Aku cuma pusing. Apa kepala aku terbentur? Om itu bilang, aku ketabrak mobil tadi."
"Ya. Kepala kamu cidera dan harus dijahit. Kamu lihat, kamu juga dapat transfusi darah. Kamu kehilangan banyak darah dan Mama cemas sekali," kata Wina. Ia membelai pelan kening King. "Mama lega kamu udah bangun."
King mengedip pelan sebagai tanda agar ibunya tak perlu cemas lagi. "Ma, bola aku ilang. Bola dengan tanda tangan Robert Miller."
Wina mendesis pelan. "Kamu lupa berapa lama Mama mengantre demi mendapatkan tanda tangan untuk kamu?"
"Aku tahu," gumam King. "Aku sedih. Apa bola aku bisa ketemu lagi?"
Wina membuang napas panjang. Ia merapikan selimut King dengan hati-hati karena takut King akan merasa sakit di suatu bagian tubuhnya. "Kamu nggak perlu mencemaskan bola itu, Sayang. Kamu hanya harus sembuh sekarang. Jangan bikin Mama jantungan lagi."
"Tapi, itu bola yang berharga," gumam King lagi.
Ian berdehem pelan hingga ibu dan anak itu menoleh padanya. "Ehm ... Om bisa bantu kamu menemukan bola itu. Om pasti akan temuin bola itu untuk kamu."
"Beneran?" tanya King antusias.
"Pak Ian nggak perlu ngelakuin itu!" sergah Wina bersamaan dengan pertanyaan King.
Ian mengabaikan ucapan Wina. Ia tersenyum pada King dan mengangguk. "Om akan coba menemukan bolanya. Om akan ke sini lagi besok kalau udah ketemu. Om janji."
Wina menggeleng sementara King tertawa pelan. "Pak Ian, aku mohon. Jangan kayak gini."
"Mama ini kenapa? Om ini cuma mau bantuin aku. Mama tahu, itu bola kesayangan aku. Harusnya Mama berterima kasih sama om itu," kata King mengingatkan.
Wina membelalak. Ia menatap King lalu mendesahkan napas kesal. "Kamu nggak lupa? Om ini udah nabrak kamu! Dia yang bikin kamu sakit kayak gini."
"Tapi kalau aku nggak ketabrak, aku nggak akan ketemu sama om ini!" sergah King dengan mata berkilat-kilat.
Wina membuka bibirnya, tetapi kemudian ia langsung mengatupkannya lagi. Ia ingat pertanyaan King pada Ian. King tahu, King curiga bahwa Ian adalah ayahnya.
"Dia cuma nggak sengaja nabrak kamu. Oke? Dan om ini nggak punya urusan sama kita," kata Wina setenang mungkin.
"Ma," panggil King.
"Apa?" tanya Wina.
"Aku tahu siapa om ini," ujar King seraya melirik Ian.
"Jangan bilang apa pun. Om Roki udah di jalan. Dia bakalan ke sini," kata Wina.
Ian tak tahu siapa Roki. Namun, ia menebak Roki adalah pria yang memiliki hubungan spesial dengan Wina. Barangkali suaminya. Ian kembali melirik cincin di jari manis Wina. Ia mendadak resah.
"Mama mau panggil dokter, kamu harus diperiksa lagi," kata Wina seraya berdiri. Ia merasa tidak sanggup berada di ruangan yang sama dengan Ian. Lebih baik, ia menunggu Roki di luar, tetapi ia juga tak suka meninggalkan King bersama Ian.
"Pak Ian sebaiknya pulang. Pak Ian bisa lihat, King baik-baik aja dan Pak Ian nggak perlu cemas," kata Wina seramah mungkin.
Ian mengangguk pelan. "Aku akan pergi sebentar lagi. Tapi, aku mau ke toilet."
Ian beralasan. Ia masih ingin bicara dengan King. Ia melempar tatapan penuh makna pada King lalu masuk ke toilet.
Sementara itu, Wina langsung mengangkat tangannya ke kepala. Ia menoleh resah pada King. "Mama keluar bentar. Nanti Mama ke sini lagi."
King mengangguk. Ia bukan anak manja dan ia juga merasa baik-baik saja. Ia tahu, Wina tak nyaman dengan Ian dan ia justru sebaliknya. Ia ingin berdua lagi dengan pria yang masih ia curigai itu.
Begitu Wina keluar, King mengangkat sedikit kepalanya. Ia menatap ke arah pintu toilet yang juga langsung terbuka. Senyum tipis terbit di wajah bocah itu.
"Apa Om nggak bohong? Om bisa bawain aku bola basket aku?" tanya King antusias.
Ian mengangguk. "Om bakalan nyuruh orang buat nyari bola kamu. Semoga ketemu. Kalau ketemu, besok Om anterin ke sini sekalian jenguk kamu."
King tersenyum lebar. "Om belum jawab pertanyaan aku. Apa Om adalah papa aku?"
Ian membuang napas panjang. Ia menunjuk ke arah kantong darah di tiang. "Kamu tahu, kita punya golongan darah yang sama. Kita juga punya wajah yang mirip. Mungkin benar ... kamu adalah anak Om."
"Jadi, aku punya papa?" tanya King lagi.
Ian merasa agak sedih meskipun ia juga merasa senang ketika tahu ia memiliki anak yang begitu menakjubkan seperti King. Entah kehidupan seperti apa yang dijalani King selama ini. Mungkin Wina berkata bahwa King tak memiliki ayah.
"Ya. Tentu aja kamu punya papa," jawab Ian. Ia mendekati King dengan menggeser kursinya. "Di mana kamu bersekolah?"
"Aku belum masuk SD. Mama belum memutuskan di mana aku harus mendaftar. Mama terlalu bingung dan banyak pertimbangan. Kami baru dua minggu di Jakarta," jawab King.
Ian mengangguk. "Om punya yayasan pendidikan. Om punya sekolah. Mungkin ... kamu bisa mendaftar ke sana."
Kedua mata King membola. Ia merasa Ian adalah pria yang sangat keren. "Aku yakin mama nggak akan setuju kalau aku sekolah di sana."
Ian tersenyum tipis dan ia juga yakin akan begitu. "Mungkin ... kamu bisa bujuk Mama kamu. Om bisa bawain formulirnya buat kamu besok sekalian nganter bolanya."
Senyum King melebar seketika. Ia akan membujuk Wina nanti. Atau mungkin, ia akan melakukan trik agar ia bisa bersekolah di sana. "Oke. Nanti aku ngomong sama mama."
***
Sementara itu di luar ruangan. Wina mulai mondar-mandir, ia baru saja menerima kabar bahwa Roki telah tiba di rumah sakit dan akan segera naik. Itu bagus, ia akan lebih mudah mengusir Ian jika ada Roki di sisinya—semoga saja.
"Win! Gimana kondisi King?" tanya Roki yang melangkah dengan setengah berlari ke arah Wina. Wina menjangkau tangan Roki. Pria itu menggenggam tangan kecil Wina erat-erat. "Dia baik-baik aja?"
"Ya, tapi ...." Wina menoleh ke pintu kamar. "Ada seseorang di sana dan aku butuh bantuan kamu."
Roki mengerutkan keningnya tak mengerti. "Seseorang? Siapa?"
Wina membuang napas panjang lalu berkata, "Ayah kandung King."
"Apa?" Roki menatap Wina bingung. "Bukannya kamu bilang kamu nggak akan kasih tahu tentang kedatangan kamu ke Jakarta apalagi tentang King kalau kamu ketemu sama pria itu?"
"Ya. Tapi, ini di luar prediksi aku. Kami nggak sengaja ketemu. Jadi, King ketabrak sama mobil pak Ian. Dan King ... kamu tahu dia gimana. Dia langsung curiga kalau pak Ian adalah papanya. Aku ... aku nggak mau King berurusan sama pak Ian. Kamu harus pura-pura jadi suami aku. Oke?" Wina menatap Roki penuh harap.
"Tapi, kita belum menikah dan King nggak akan mendukung kebohongan kita," kata Roki.
"Nggak masalah, lagipula kita udah tunangan." Wina meyakinkan Roki. "Aku akan bicara dengan King setelah pak Ian pergi."
"Oke." Roki mengangguk sepakat. Toh, ia tak ingin pria dari masa lalu Wina mempengaruhi perasaan Wina. Tidak! Ia sangat mencintai Wina dan menatap kekalutan di wajah Wina sudah membuatnya cemas.
Wina sengaja menautkan tangannya dengan tangan Roki ketika mereka berjalan memasuki ruangan King. Mereka masuk tepat ketika King baru saja berkata bahwa ia akan membujuk Wina agar ia diperbolehkan mendaftar ke sekolah milik keluarga Ian.
"Om Roki!" panggil King pada Roki yang tersenyum padanya.
"Hei, Jagoan! Om dengar, kamu ketabrak mobil hari ini. Gimana keadaan kamu?" tanya Roki seraya mendekat bersama Wina yang baru saja mengeratkan genggaman tangan mereka.
Ian berdiri dari duduknya. Ia bertemu tatap dengan Wina selama sedetik. Hingga kemudian Wina memalingkan wajahnya. Ian lalu mengalihkan tatapannya pada Roki yang terlihat begitu khawatir. Ia tak tahu apakah King begitu dekat dengan Roki, tetapi ada rasa tak suka di hati Ian saat ini. Apalagi ketika ia menatap pautan tangan Wina dan Roki.
"Aku nggak apa-apa. Tapi, aku kehilangan bola basket kesayangan aku," kata King pada Roki.
"Ah, nggak usah khawatir. Besok Om beliin kamu yang baru," tukas Roki sambil tertawa kecil.
King mencebik. "Itu bola kesayangan aku. Mana bisa diganti dengan yang baru?"
"King," tegur Wina.
King semakin cemberut. Ia lalu menatap Ian dengan penuh perhatian. "Om Ian janji mau cari bola aku sampai ketemu."
Roki kini menatap Ian lurus. Tampaknya, Ian berhasil mencuri perhatian King. "Saya dengar, Anda bisa yang menabrak putra saya."
Ujung bibir Ian berkedut mendengar ucapan Roki. Putra saya. Jadi benar pria ini adalah suami Wina? "Mobil saya yang menabrak. Tidak sengaja dan saya akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap King."
"Anda tidak perlu melakukan itu. Orang tua King sudah ada di sini," kata Roki dengan nada tegas. Di sebelahnya, Wina baru saja menggeleng pada King yang hendak merespons obrolan janggal ini.
"Ah, ya. Saya mengerti. Saya hanya ... tetap saja saya harus tahu kondisi King. Dan saya yang akan menanggung biaya rumah sakitnya. Jangan khawatir, saya akan menjenguk King lagi besok karena saya ingin tahu perkembangan kesehatan King," kata Ian yang tak ingin terintimidasi dengan ucapan Roki. Ia tetap ingin dekat dengan King karena ia yakin King adalah putranya.
"Pak Ian sebaiknya pergi sekarang," ujar Wina di tengah ketegangan.
Ian sekali lagi menatap tangan Wina yang digenggam erat oleh Roki. "Ya. Aku mau pergi." Ia lalu menoleh pada King. "Om akan ke sini lagi besok. Istirahat dengan baik. Oke?"