Kegalauan Elsya masih terus berlanjut. Gadis itu bahkan sampai kembali ke kampusnya dan menyusuri jalan yang ia lewati sewaktu sebelum ke restoran bersama Windi. Sahabatnya itu dengan sigap menemaninya dan membantu untuk menemukan dompet milik Elsya. Meski pada akhirnya tak ada hasil yang mereka dapatkan karena tak ditemukan dompet berwarna biru muda itu.
Windi menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “ Namanya dompet ya. Susah deh kalo udah ilang gini. Kampus kita bener-bener kekurangan orang jujur,” ucapnya yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Elsya terlihat pasrah. Pasti merepotkan sekali jika harus mengurus dokumen untuk kartu identitasnya lagi. Padahal ia sudah mulai kuliah dan pasti tak ada waktu untuk itu. Menyebalkan.
“ Atau lo coba deh janji ke diri lo sendiri,” ucap Windi yang membuat Elsya semakin bingung. “ Misalnya kalau yang nemuin cewek mau lo jadiin sahabat, kalo yang nemuin dompet lo cowok... lo jadiin pacar. Kali aja nanti ada yang balikin.”
Elsya mengerutkan keningnya, menatap Windi dengan serius. “ Lo ngeledek gue ya?” balasnya sebal.
Windi terkekeh. “ Kalo di sinetron sih worth it ya. Nggak tahu di dunia nyata. Eh tapi lo udah punya pacar. Jangan deh.”
Elsya memutar bola matanya dengan malas. “ Mager banget ngurus surat-suratnya. Ambil duitnya aja nggak apa-apa deh asal dompetnya tinggalin aja gitu.”
“ Hmmm... lo sih teledor. Dompet aja bisa jatoh. Ngaku aja deh lo, lagi serius ngintipin kak Farel kan kayak mahasiswi lain?” tuduh Windi yang memang saat pelatihan tadi banyak mendapatkan tatapan dari para mahasiswi tertuju ke arah seniornya—Farel.
“ Nggak lah! Ngaco.” Elsya langsung memalingkan wajahnya dan pergi dari sana. Bukan karena ia sengaja mengintip Farel tapi memang ia tak sengaja melihat badan kotak-kotak pria itu. Matanya sudah ternodai sekarang.
“ Tapi emang sih badannya tuh bikin siapapun nggak ingin berpaling. Pelukable banget tau!” Windi menyusul Elsya sembari terus mengoceh.
“ Berisik deh lo!”
Windi hanya cengar cengir melihat temannya yang kesal itu. Lalu ia melihat Elsya tengah menghubungi seseorang. Sepertinya dia sedang minta jemput. “ Oppa mau jemput lo?” tanyanya penasaran.
Elsya menggelengkan kepalanya. “ Enggak. Dia masih ada kegiatan di kampus. Gue nelpon sepupu gue.”
“ Oh yang jurusan bisnis itu? Enak ya punya sepupu sepantaran, satu kampus pula. Berasa punya gebetan di kampus,” ucap Windi yang selalu membahas soal gebetan atau percintaan dan semacamnya.
Elsya memutar bola matanya dengan malas. “ Kata siapa enak? Lo nggak tahu aja secerewet apa dia. Kayaknya dia harusnya keluar jadi cewek deh bukan cowok,” ucapnya.
“ Nggak apa-apa asal ganteng,” ucap Windi yang tak peduli. Baginya asal pria itu good looking, maka semua kekurangannya akan tertutup sudah.
“ Ati-ati lohh. Omongan tuh doa. Mau dapet yang ganteng tapi b******k?” balas Elsya.
“ Emang biasanya gitu, kan?” Windi tertawa karena melihat Elsya langsung membuang nafas dengan kasar. “ Tuh sepupu lo!” ucapnya saat melihat Brian berjalan ke arah mereka. Beberapa kali pria itu menyapa orang-orang di sekitarnya terutama perempuan padahal ia yakin sekali mereka tak saling kenal.
Namun memang seperti itulah Brian, sok kenal sama cewek alias genit. Makanya sampai sekarang masih jomblo. Siapa yang mau sama cowok genit gitu? Makan hati terus yang ada ceweknya nanti.
“ Tebar pesona terusss tapi yang nyangkut mah nggak ada,” cibir Elsya sembari melipat kedua tangannya di depan d**a.
Brian malah cengengesan. “ Lo ngapain sih emang? Dompet sampe ilang gitu. Sok kaya banget.”
“ Lo pikir ada orang yang mau rela dompetnya ilang terus ngurus semua dokumennya serba ribet?” balas Elsya dengan sengit. “ Udah ah gue mau pulang. Capek!”
“ Iya iya. Terus temen lo?” Brian mengedikkan dagunya ke arah Windi.
“ Lo mau balik bareng nggak?” tanya Elsya berbasa basi.
“ Nggak usah sok nawarin deh. Sepupu lo kan bawa motor. Lo ngajak gue jadi cabe-cabean? Sorry lah ya.” Windi mengibas-ngibaskan tangannya. “ Mending gue naik ojol. Kali aja dapet abang yang ganteng terus jomblo.” Ia kembali senyam senyum.
“ Kebanyakan liat toktok lo. Ya udah gue balik duluan ya!” ucap Elsya kemudian.
“ Hati-hati. Ngebutnya pelan-pelan ya!” sahut Windi sembari melambaikan tangannya.
Brian sedikit menggaruk kepalanya sembari berjalan di samping Elsya menuju pelataran parkir universitas. “ Biasanya kalau punya temen satu circle emang cocok sih. Sama-sama aneh,” ucapnya.
“ Yeeee ati-ati lo ntar naksir sama Windi. Biar aneh gitu, manis kan anaknya?” balas Elsya tak mau kalah.
Brian bergidik ngeri membayangkan dirinya berpasangan dengan Windi yang super aneh dan centil itu. Seketika ia jadi teringat akan dirinya sendiri. Gue kan juga genit? Hayolohhh jodoh kan cerminan diri.
Amit-amit. Brian langsung menggelengkan kepalanya dengan kuat. “ Mending gue sama kembang kampus deh.”
“ Kembang kampus apa ayam kampus?”
“ Boleh juga tuh. Ada kenalan?”
Elsya menggeleng-gelengkan kepalanya. Semakin heran kenapa dirinya bisa tahan memiliki sepupu absurd seperti Brian. Sampai rela masuk ke universitas yang sama pula. Harusnya ia biarkan saja Brian di kampus ini sendirian meski dia memang merengek ingin satu kampus. Katanya nggak seru kalo nggak sekampus. Padahal sama saja.
“ Mau sempolan nggak?” tanya Brian yang menghentikan motornya di dekat tukang sempolan. Padahal mereka baru pergi beberapa meter dari gedung kampus.
“ Sumpah ya kalo pulang sama lo jadi lama nyampenya. Ya udah mau goceng aja!” balas Elsya.
“ Lo yang bayar ya?”
“ k*****t lo! Bilang aja lo mau menggadaikan sepupu lo yang manis ini. Udah tau dompet gue ilang nyet!”
“ Itu mulut kotor amat.” Brian tertawa. Tapi kemudian pria itu turun dari motornya dan membeli salah satu cemilan kaki lima yang ia sukai. Terutama saos buatannya yang encer, manis, pedes, asem yang entah bahannya dari apa. Setidaknya dia tidak pernah sakit perut mengkonsumsinya, malah bikin nagih.
Jika tidak ada yang tahu hubungan sebenarnya antara Elsya dan Brian, sudah dipastikan orang-orang akan mengira keduanya adalah pasangan. Apalagi kadang Brian tak malu menyuapi Elsya walau jelas gadis itu tak meminta tapi terkadang tangannya terlalu malas untuk menyuap sendiri.
Tapi bukankah hubungan seperti ini memang menyenangkan? Membuat semua orang salah paham atas hubunganmu sampai mereka sangat ingin tahu. Seru kan bikin orang jadi kepo.
***
Daripada memikirkan dompetnya yang hilang dan segala proses merepotkan yang harus dijalani sebentar lagi, Elsya memilih untuk berdiam diri di kamarnya sepulang diantar oleh Brian. Sepupunya itupun tengah merecoki ibunya alias tantenya itu di dapur yang sedang membuat brownies. Memang ibunya Elsya—Vio sedang suka membuat kue. Apalagi saat ayahnya—Ethan bilang menyukai kue brownies buatan ibunya, jadi hampir setiap hari ibunya menyediakan kue itu di meja kerja ayahnya.
Sampai Ethan seolah muak dengan brownies. Tapi karena menghargai istrinya, dia tetap memakannya. Walau setelahnya ia akan mual-mual seolah telah keracunan. Berlebihan memang, tapi sekonyol itulah hubungan kedua orang tuanya.
Namun jelas Elsya merasa beruntung. Seabsurd apapun hubungan kedua orang tuanya, jelas lebih menyenangkan dibanding melihat sang ibu hanya terbaring dengan bantuan alat-alat kedokteran demi bisa bertahan hidup. Mengingat masa-masa itu membuat Elsya sesak. Kehangatan pelukan sang ibu tak bisa ia rasakan di tahun-tahun pertama kelahirannya di dunia ini.
Elsya menatap buku sketsa miliknya. Diam-diam ia memang sering menggambar semua hal yang ia sukai. Namun begitu melihat isi buku sketsanya, ternyata ia lebih banyak menggambar wajah Alga. Entah sadar atau tidak, tapi memang wajah pria itu masih stuck di pikirannya sejak beberapa tahun lalu. Kata orang cinta pertama memang sulit dilupakan, dan itulah yang dirasakannya kini. Namun ia jauh lebih merasa bersalah pada Aksa, pria yang terus berusaha menarik perhatiannya tapi tak juga bisa memenangkan hatinya. Sementara pria menyebalkan seperti Alga begitu mudah menetap lama di hatinya sampai saat ini.
“ Elsya. Kamu nggak mau menyelamatkan daddy?” tanya Ethan yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar putrinya.
“ Kenapa, dad?” tanya Elsya yang langsung tahu jawabannya begitu mencium aroma kue brownies buatan sang ibu. Memang kuenya sangat enak, manis pahitnya pas. Tapi kalau disuruh memakannya setiap hari, apa nggak ‘gumoh’?
“ Dicariin juga malah di sini. Ngapain kamu gangguin anak kita? Dia lagi istirahat tau!” ucap Vio yang membawa piring berisi potongan kue buatannya.
“ Ini... aku... “ Ethan terlihat tergagap di depan istrinya sendiri. Satu-satunya hal yang membuat Elsya sering menahan tawanya. Sebegitu takutnya sang ayah pada istrinya. Padahal kalau sedang berhadapan dengan klien, ayahnya sangat terlihat berwibawa.
“ Mommy. Mommy nggak mau ganti hoby gitu? Bikin cookies dong jangan brownies terus,” ucap Elsya. “ Atau yang asin-asin gitu. Mommy mau bikin kami diabetes ya?”
“ Bikin apa dong?” tanya Vio dengan wajah memelas—wajah yang jelas membuat suaminya jadi tak tega. “ Kalau bikin makanan lain, belum tentu enak.”
“ Emhhh...” Elsya tampak berpikir keras. “ Bikin dimsum aja, mom. Mentai dimsum. Kan mommy pernah bikin sekali terus enak deh.”
Vio langsung terlihat bersemangat kembali. “ Oke deh. Malam ini kita makan dimsum!” Ia mengacungkan garpu di tangannya, membuat Ethan yang berada di dekatnya sedikit ngeri dan memilih mengambil sedikit jarak dari sang istri. Wanita itu kemudian langsung berbalik membawa kembali piring berisi kue buatannya.
“ Kira-kira... berapa lama kita akan makan dengan menu dimsum mentai, sayang?” tanya Ethan yang terlihat pasrah.
Elsya hanya senyam senyum pada sang ayah. “ Seenggaknya daddy terlepas dari kue brownies itu. Nanti kita cari ide lain buat kabur lagi.” Ia mengedipkan sebelah matanya pada sang ayah.
Ethan menghela nafas panjang. “ Ngomong-ngomong... dompet kamu beneran hilang?”
Kali ini Elsya mengangguk, memasang wajah tak bersemangat. “ Iya. Tapi semua kartu debitnya udah aku urus, dad. Paling ngurus kartu identitas aja yang ribet.”
“ Ya udah kalau mau ngurus bilang daddy ya, biar daddy anterin,” ucap Ethan penuh perhatian pada putrinya.
“ Makasih daddy! Ayah terbaikku di dunia!”