Kehilangan dompet sebenarnya bukan masalah besar bagi Elsya. Ayahnya akan dengan senang hati mengisi dompetnya dengan uang berkali lipat. Namun gadis itu tak mau terlalu dimanja. Ia memang masih butuh uang dari kedua orang tuanya, tapi tak mau dianggap sebagai anak manja dari mantan aktor dan model seperti Ethan. Sampai saat ini pun di kampusnya belum ada yang tahu siapa dirinya. Ia tidak mau jika banyak orang tahu ia adalah anak dari Ethan, lalu semua mendekatinya dengan sengaja hanya demi ketenaran.
Sosial media milik Elsya saja hanya berisi gambar-gambar buatan gadis itu. Tak pernah ia mengupload tentang keluarganya, bukan karena malu. Siapa coba yang malu memiliki ayah yang pernah menjadi aktor dan model terkenal di masanya? Bahkan di usia sang ayah yang hampir lima puluh tahun saja, pria itu masih tampan. Namun ia tidak mau mengekspos keluarga yang menurutnya sangat pribadi.
Brian pun begitu, dia tipe cowok yang cuek meski omnya terkenal seperti Ethan. Pria itu hanya membanggakan wajah tampannya sendiri dan sering memuji diri sendiri adalah hobinya. Nggak salah memang dia punya tingkat kepedean yang sangat tinggi.
“ Ini dompet baru sama ada uangnya. Untuk debitnya udah diurus, semua uangnya udah dipindah ke sini. Kartu lama kamu sudah diblokir,” ucap Ethan ketika paginya mereka masih sempat sarapan bersama.
Vio meletakkan pancake ke atas piring putrinya dan menaburinya dengan sirup apel serta taburan parutan keju. “ Untuk kartu identitasnya nanti bisa segera diproses kok. Pake surat kuasa aja biar bisa diurus Pak Diman,” ucapnya menyebutkan salah satu orang kepercayaan di keluarganya.
“ Oke, mom.” Elsya menurut saja dan mulai menyantap makanannya. Diliriknya dompet berwarna merah muda yang diletakkan di samping piringnya. Gadis itu menghela nafas, ia rindu dompet birunya. Dompet itu kan ia beli saat masih sering bersama Alga, bahkan pria itu yang menemaninya memilih dompet. Tapi sekarang dompet itu hilang. Apakah ia benar-benar harus menghilangkan Alga dari hidupnya? Tidak mungkin sepertinya mengingat dia telah lama ada di hatinya, terlebih mereka jadi lebih sering bertemu sekarang. Seolah takdir benar-benar mempermainkannya, membuatnya terus bertemu dengan orang yang sangat ingin ia lupakan.
“ Ada yang kamu pikirkan?” tanya Ethan menyadari akhir-akhir ini putrinya tak banyak bicara.
Elsya segera menggelengkan kepalanya. “ Aku nggak apa-apa, dad. Shock aja kehilangan dompet,” bohongnya.
“ Nggak apa-apa. Lain kali berarti kamu harus lebih hati-hati.” Ethan mengusap puncak kepala putrinya. “ Sekarang kamu habiskan lalu daddy anter ke kampus.”
“ Hah? Tapi daddy nggak ikut turun, kan?” Elsya seketika panik, takut ia jadi pusat perhatian di kampus apalagi jika sampai semua orang tahu siapa orang tuanya.
“ Kamu nih. Daddy jadi merasa nggak diakui deh.” Ethan memasang wajah memelas.
Elsya terlihat merasa bersalah. “ Bukan begitu, dad. Daddy nggak tau aja rasanya dimanfaatkan demi ketenaran. Padahal yang terkenal kan daddy, tapi aku kena sasaran juga. Nanti temen-temenku pada sok akrab, terus bilang eh temen aku anaknya Ethan loh. Iya Ethan yang itu. Ganteng kok. Udah tua makin ganteng.” Ia terus mencontoh beberapa percakapan temannya semasa SMA. Merepotkan sekali.
Dari sekian panjangnya kalimat yang putrinya ucapkan, Ethan justru salah fokus pada satu kata. “ Tua? Siapa yang tua?” Kening pria itu berkerut.
Elsya menutup mulutnya, menatap sang ibu yang malah terkekeh geli.
“ Loh, umur kamu kan udah mau kepala lima. Itu apa namanya kalau bukan tua?” ucap Vio seolah membela putrinya.
Ethan menggelengkan kepalanya dengan kuat. “ Bukan tua dong. Jangan panggil tua begitu. Bilang aja matang. Ya, kata matang jauh lebih tepat buat aku. Makin matang makin tampan, kan?”
Ibu dan anak itu langsung memasang wajah ingin muntah. “ Kepedean banget sih.”
“ Kalo nggak pede, bukan daddy kamu namanya, sayang.”
Setelah percakapan singkat pagi itu, Ethan pun mengantarkan putrinya ke kampus. Kebetulan dia memang akan mengecek salah satu kafe miliknya yang ada di dekat sana, jadi sekalian jalan.
Mobil mewah milik Ethan terparkir di sebrang pintu masuk kampus, seperti yang Elsya katakan. Putrinya tak mau dirinya terekspos. Jadilah Elsya hanya mengecup pipi ayahnya sebelum turun dari mobil. “ Makasih, daddy. Pulangnya bawain matcha machiato ya.”
“ Loh kamu kan bisa mampir sendiri, sayang. Mau pesen puluhan juga nggak bakal bayar. Ajak temen-temen kamu juga boleh,” ucap Ethan.
Elsya langsung memicingkan matanya ke arah Ethan. “ Nggak mau. Nanti jadi kebiasaan. Yang ada ntar usaha daddy bangkrut.” Ia langsung turun sebelum ayahnya mengatakan hal-hal aneh lagi.
Tepat saat mobil sang ayah sudah pergi, Elsya bersiap untuk menyebrang. Namun langkahnya seketika berat melihat Windi yang menunggunya di gerbang kampus dengan tatapan curiga.
“ Kenapa?” tanya Elsya yang merasa tidak enak dengan tatapan penuh kecurigaan yang Windi lakukan padanya. “ Penampilan gue ada yang salah?”
“ Lo anak orang kaya ya?” tanya Windi langsung.
“ Hah?”
“ Mobil yang nganter lo tadi kan mobil mewah. Ya ampun. Gue merasa dikhianati.”
“ Loh?”
“ Gue jadi minder deket sama lo,” ucap Windi seraya menatap Elsya dari atas ke bawah. “ Gue aja pergi naik ojol, lah temen gue naik mobil mewah.” Ia menampakkan wajah putus asa.
Elsya langsung tergelak. “ Nggak usah berlebihan. Yang jelas gue mahasiswa juga kayak lo kok. Nggak ada bedanya.”
“ Oke.” Windi langsung mengacungkan jempolnya. “ Jadi gimana soal dompet lo?”
Elsya mengedikkan bahunya. “ Tinggal diurus kartu identitas gue aja. Selebihnya aman kok.”
Windi mengangguk-angguk mengerti. “ Gue hari ini bawa sarapan. Lo mau nggak?”
“ Bawa apa emang?”
Windi langsung mengajak Elsya duduk di taman kampus, kebetulan masih belum terlalu ramai karena masih terlalu pagi. Ia pun mengeluarkan kotak makannya yang saat dibuka ternyata berisi banyak jajanan pasar. “ Gemblongnya enak loh, sama kue talamnya favorit gue. Lo pernah makan nggak?”
Elsya terkekeh geli mendengar pertanyaan Windi. “ Lo kira gue dari planet mana nggak pernah makan kue pasar kayak gini?”
“ Hah? Yahhh nggak asik lo! Harusnya lo pura-pura nggak tau dong kan biar gue berasa unik punya temen orang kaya. Kalau begini mah sama aja.” Windi pura-pura kecewa. “ Jadi lo suka apa?” Aneh memang karena suasana hati teman Elsya ini sangat mudah berubah. Dia yang unik sebenarnya.
“ Kue putu ayu aja deh. Gue tadi udah makan sih sebenernya.”
“ Sarapan apa?” tanya Windi yang kemudian mengambil gemblong dan melahapnya. Rasa manis dan legitnya ketan langsung membuat suasana hatinya bahagia.
“ Pancake.”
Windi nyaris tersedak. “ Lo makan campuran tepung, telor sama s**u aja? Nggak kenyang. Lo harus makan nasi!”
Elsya menaikkan sebelah alisnya. “ Tepung kan juga karbohidrat, sama kayak nasi. Gue juga kenyang kok.”
Windi mendengus lalu menggelengkan kepalanya. “ Besok gue bawain nasi uduk deh biar lo tau beda kenyangnya kayak gimana.”
Setelah sarapan bersama, keduanya langsung masuk ke kelas mereka. meski membosankan, tapi akhirnya kuliah hari itu terlewati juga.
“ Gue mau makan bakso yang pedes banget pokoknya,” ucap Windi yang sudah membayangkan menu bakso urat di kantin dengan tambahan saus sambal yang banyak. “ Lo mau makan apa?”
“ Belum kepikiran sih.”
Sesampainya di kantin, Windi langsung melesat mengikuti antrian mahasiswa lainnya untuk mendapatkan semangkuk bakso. Sementara Elsya jadi bingung mau makan apa di kantin yang seramai ini. Gadis itu akhirnya membeli satu piring nasi goreng dengan telur mata sapi lalu mencari kursi kosong.
Sebuah tangan melambai ke arah Elsya... Farel. Pria itu menatap lurus padanya dan menepuk kursi kosong di depannya.
Tak ada pilihan lain, meski sungkan akhirnya Elsya duduk di sana. Untung saja di sebelah kursinya juga ada kursi kosong untuk Windi. Tak lama setelah Elsya duduk, Windi pun menghampirinya meski keheranan karena ada pria tampan di depan mereka. Makin asik saja makan siang hari ini.
“ Pinter lo nyari kursinya,” bisik Windi yang mencuri pandang ke arah Farel.
“ Apaan sih. Berisik.”
Mereka bertiga pun mulai menyantap makanan hingga habis. Farel sebenarnya juga duduk bersama temannya yang lain, mereka tampak cuek duduk di sebelahnya. Walau mereka sempat heran melihat Farel mengajak junior—cewek pula untuk duduk di meja yang sama. Jarang sekali terjadi, nyaris tidak pernah malah.
“ Abis makan, ada yang mau gue omongin,” ucap Farel yang menatap lurus pada Elsya. Jelas siapa yang tengah dia ajak bicara.
“ Hah? Aku?” Elsya jadi heran sendiri sementara Windi di sebelahnya mulai heboh. “ Kenapa kak? Aku udah selesai makan kok.”
Farel pun mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata sebuah dompet berwarna biru yang langsung membuat kedua mata Elsya berbinar. “ Ini punya lo, kan? Gue sempet buka karena ngecek kartu identitas aja.” Ia pun menyodorkan dompet dengan gambar kucing itu ke pemiliknya. “ Lo cek sendiri aja, pastiin kalau ada yang hilang atau enggak,” ucapnya.
Dengan senyum selebar tiga jari, Elsya langsung mengambil dompet kesayangannya itu dan memeriksanya. Semua uang dan kartu identitas serta kartu ATMnya masih utuh. Tidak berkurang satupun. “ Kakak yang menemukannya? Makasih banget ya. Nggak ada yang kurang kok. Kemarin aku sempet nggak semangat karena dompet ini hilang.” Ia menatap dompetnya penuh kasih sayang, mengusapnya dengan begitu lembut seolah benda itu menjadi kesayangannya.
“ Syukurlah. Sekarang kan sudah ketemu.”
Elsya mengangguk penuh rasa bersyukur. “ Aku mau traktir kakak ya? Sebagai tanda terima kasih. Kalau engga pasti aku udah kerepotan ngurus dokumen kehilangan dan sebagainya.”
“ Apa? Boleh kok. Tapi jangan sekarang.”
“ Loh?”
Farel beranjak dari tempatnya, diikuti oleh teman-temannya yang lain. “ Lain kali aja. Aku akan bilang kalau saat itu aku ingin kamu traktir,” ucapnya kemudian meninggalkan Elsya.
Elsya masih terdiam di tempatnya, juga Windi yang mendadak cosplay jadi patung.
“ Itu sebenarnya... lo kayak ngajak kak Farel ngedate nggak sih?”
“ Hah?”