Chapter 38

1529 Words
"Chana ... ini nenek Momok ...." Moti memandang bingung ke arah Chana. Chana mengerutkan keningnya. Gleng gleng Gadis 15 tahun itu menggeleng kan kepalanya. "Aku tidak kenal ...." ujar Chana pelan. Pum Dada Moti bagaikan dihantam palu. Dia melebarkan matanya. Sret Moti meraih kedua tangan Chana, namun tangan Chana seperti jeli, tangan Chana yang terlepas dari tangannya tidak dapat diangkat oleh Chana. Moti melihat ke arah staf medis dan dokter. "Chana ... Chana ... Chana kenapa begini?" Moti bertanya panik ke arah dokter. Randra melihat ke arah dokter yang menangani Chana. Sang dokter menunduk menyesal. "Maaf nyonya Basri, kami sudah berusaha sekuat tenaga kami untuk menyembuhkan nona Chana, namun benturan di kepalanya membuat nona Chana geger otak dan ... itu hilang ingatan ...." jawab dokter itu menyesal. "Kenapa aku tidak bisa mengangkat tanganku lagi?" Chana bertanya bingung ke arah sang dokter. Sret Moti melihat ke arah tangan Chana. "Aku tidak merasakan apapun ketika tanganku dipegang ...." Pum Sret Moti dengan cepat meraih tangan cucu perempuannya. "Chana, apakah Chana merasakan pegangan nenek Momok?" Moti bertanya. Gleng gleng "Tidak rasa apapun ...." Jawab Chana. "Hah?!" Moti tidak mampu berbicara. Dia terpukul. "Apa ... aku ... cacat?" Chana melihat ke arah tangannya. Pum Jantung Moti bagaikan dihantam palu bertubi-tubi. Dia melihat ke arah Chana, wajah perempuan 64 tahun itu terlihat pucat pasi. "Ca ... cat?" bagaikan ditarik paksa raga dan jiwanya. Flashback "Aku kasihan sama tuan Randra, dia setampan itu dan, oh astaga! Tunangannya cacat,"  "Kasihan sekali tuan Randra itu, coba saja dia memilihku? Ah, betapa senangnya aku,"  "Yee! Kepedean kamu Mit,"  "Terserah aku dong,"  "Tapi kok tuan muda Basri itu mau yah sama tunangannya itu?" "Dilihat dari tampangnya nggak cantik, rambutnya merah gitu, baru dia kan cacat permanen, gimana mau layanin tuan muda Basri lagi kalau mereka nikah? Ya kan?"  "Kasihan tuan Randra, pantas saja aku lihat wajahnya kusut banget, sepertinya memang tuan Randra itu terpaksa menerima nona Moti deh, kasihan juga wajahnya tuan Randra,"  "Kira-kira kalau mereka nikah, bisa bertahan berapa lama yah?"  "Ah, palingan nggak sampai sebulan, Rin. Mana tahan laki-laki kalau nikah sama orang cacat gitu? Mana ada gairah." Flashback end Tes Setetes air mata itu meluncur bebas dari sudut mata Moti. Moti mengingat lagi ingatan ketika dia cacat 41 tahun yang lalu. Sret Moti melihat ke arah anggota badan bawahnya. "Huh! Huh! Huh!" napasnya memburu. Sret Moti melihat ke dua tangan cucunya yang sedang dia pegang. "Ran! Ran! Chana! Chana! Chana kayak Momok!" Moti berteriak histeris  "Moti! Tenang!" Randra berusaha menenangkan istrinya. "Huh! Huh! Huh! Momok cacat! Momok cacat! Tapi kenapa Chana juga?! Kenapa Chana juga?!" Moti kesulitan mengontrol emosinya. "Moti, dengarkan aku-Moti! Tidak!" Sret "Tidak! Moti! Tidak! Jangan!" Randra berteriak panik. °°° Bruk "Haaakk! Haaakk! Haaaak!" "Popy!" Hap "Haaaa! Haaaa! Hiks! Hiks!" Popy histeris. Anak perempuannya bukan hanya hilang ingatan. Namun juga cacat. "Haaakk!" "Hiks! Hiks! Hiks!" "Chana! Chana! Bunda! Bunda!" Popy berteriak histeris. Moti stroke. Popy tak bisa menghentikan tangisannya. Wajah Ben terlihat tidak bagus. Musibah datang lagi menghampiri keluarganya. Tuhan seakan memberi mereka cobaan lagi, dan ini cobaan yang berat. Randra duduk mematung di pinggir ranjang rawat istrinya. Cepat sekali, istrinya seketika stroke di dalam pelukannya. "Sshhh .... huh ... sshh ... huh ...." Tes Tes Air mata turun bersamaan dengan helaan napasnya. Randra terpukul. Sangat terpukul. Belum setengah jam yang lalu dia dan istrinya saling memeluk sayang, mereka bercanda ria dalam perjalanan ke sini. Harapan Randra untuk melihat kehabagiaan istrinya sirna seketika. Sang cucunya cacat. Tangan Chana tidak dapat digunakan lagi. Dokter yang dia bayar satu bulan yang lalu mengatakan bahwa saraf di tangan Chana putus dan hancur. Tulang jari cucu perempuannya retak parah akibat ledakan granat itu.  Istrinya .... "Moti ...." suara Randra bergetar takut. Pikiran Randra kosong, semalam dia masih bersama istrinya di atas ranjang mereka, dia dan istrinya masih memadu kasih sebelum mereka tidur. Kehangatan itu seketika sirna ketika dia melihat lagi tubuh istrinya di atas ranjang rumah sakit ini. "Hiks ... hiks! Hiks! Hiks!" tangisan Randra tidak dapat dia bendung lagi. °°° Aqlam berusaha tersenyum di depan Chana. "Aku akan mengambilkan kamu minum." Sret Aqlam mendekatkan gelas berisi air putih dan sedotan di dekat bibir Chana. "Apa kau saudaraku?" Chana bertanya . Aqlam terdiam untuk sesaat. Nibras dan Atika melihat iba ke arah putra mereka. Aqlam tersenyum manis. "Aku tunanganmu, Aqlam Nailun Nabhan." "Ahmph!" Atika membungkam mulutnya. Dia begitu kaget mendengar jawaban dari anaknya. "Hah?" wajah Chana penuh dengan tanda tanya. "Tu ... tunangan?" "Ya, tunangan." Aqlam mengangguk. Sret Chana melihat ke arah Atika dan Nibras. Mata Atika memerah, dia berusaha menahan tangisnya lagi. Sret Chana melirik ke arah Aqlam lagi, "tapi aku masih ...." "Tidak apa-apa Chana, beberapa tahun lagi kita akan menikah, aku akan merawatmu dengan baik." Ujar Aqlam sambil tersenyum manis. Chana yang melihat senyum Aqlam itu merasa bahwa senyuman Aqlam itu tidak asing lagi di penglihatannya, namun dia tidak dapat mengingat dimana senyuman ini pernah dia lihat. "Jangan banyak berpikir, kamu baru saja bangun dari tidur, ayo, minum air." Ujar Aqlam lembut pada istrinya. "Sreeetttt sreeett!" Chana menyedot sedotan itu, air mineral memasuki tenggorokannya. "Chana, apa kamu lapar?" tanya Aqlam lembut. "Um ... lapar ...." jawab Chana agak malu. Sret Aqlam mengambil nampan makan di atas nakas dan membuka tutup makanan, ada sup dan yang lainnya, bubur dan buah-buahan. "Aku akan menyuapimu," ujar Aqlam. Sret Aqlam mengambilkan bubur dan mendekatkan bubur itu ke arah bibir Chana. Chana terlihat ragu. "Tidak apa-apa, bubur ini adalah bubur enak, bukan bubur rumah sakit, dari rumahku baru saja kirim." Ujar Aqlam. Hap Chana membuka mulutnya dan memakan bubur itu. Rasanya enak. Aqlam menyuapi Chana bubur sedikit demi sedikit, dia juga menambahkan sup khusus untuk orang sakit dan untuk patah tulang.  "Ayo minum," pinta Aqlam lembut ke arah Chana. Ssrttt srrtt Air di gelas itu habis masuk ke dalam perut Chana. "Ada buah mangga, ini enak sekali, kau ingin?" tanya Aqlam. Chana melirik ke arah nampan makanan, dan benar saja, ada buah mangga yang telah di kupas dan dipotong. Glung glung Chana mengangguk pelan. Aqlam tersenyum, dia menusukan potongan buah mangga itu dan menyuapkan ke mulut Chana. Setelah Aqlam selesai menyuapi Chana, Aqlam melap lagi sekeliling bibir Chana dengan tisu agar sisa makanan tidak ada yang berceceran.  "Istirahat, siang nanti kau bisa bangun, aku akan disini terus menjagamu," ujar Aqlam lembut. "Um ...." Chana terlihat ragu, entah apa yang ingin dia katakan. Dia baru saja membuka matanya, namun dia melihat banyak orang 'asing' yang tidak dia kenali. Namun entah apa yang terjadi dengan kepalanya, seperti dia tidak keberatan dan tidak menolak orang 'asing' itu. "Em ... aku ... ingin ...." Chana menunduk malu, dia ingin mengatakan sesuatu, namun dia malu mengatakannya di hadapan remaja ini. "Ada apa? Apakah ada yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Aqlam lembut. Gleng gleng Chana menggeleng pelan kepalanya. "Lalu apa? Katakan saja padaku, Chana, tidak apa-apa." Ujar Aqlam. Wajah Chana memerah, "aku ... ingin pipis ...."  "..." Untuk beberapa saat Aqlam terdiam, namun dia tersadar lagi. "Baik, apakah kamu ingin pipis dengan bantuan kateter luar yaitu alat bantu untuk pipis ataukah ingin ke kamar mandi?" tanya Aqlam tanpa beban. Aqlam tidak bisa sembarangan memindahkan tubuh Chana ke kamar mandi, jadi dia membuat pilihan, takutnya tubuh atau tulang Chana yang masih retak sakit lagi. Atika dan Nibras saling melirik.  "Hum ...." Chana bingung. Sret Aqlam melihat ke arah dokter Risa. "Boleh ke kamar mandi," ujar dokter itu. Aqlam mengangguk mengerti. "Ayo, aku akan mengendong mu," ujar Aqlam. Sret Hap Tubuh remaja dari Aqlam yang berumur 13 tahun itu mampu menggendong Chana tanpa beban. Ada pelayan yang memegang infus. "Tante Atika akan membantu di dalam kamar mandi." Sret Atika dengan cepat pergi ke kamar mandi dan menunggu Aqlam membawa Chana ke kamar mandi. Nibras melihat ke arah dokter Risa. "Sepertinya Chana butuh kursi roda karena dia baru saja sadar dari koma."  "Saya mengerti tuan Nabhan." Sahut dokter Risa. Di dalam kamar mandi. Hap Aqlam mendudukan Chana di dudukan toilet. Setelah itu Aqlam berkata, "aku akan menunggu diluar pintu kamar mandi."  Tak Tak Tak Aqlam berjalan keluar dan menutup pintu kamar mandi. "Mari, tante Atika bantu," Atika hendak mengangkat pakaian Chana. "Aku ... bisa sendiri ...." suara pelan Chana terdengar. Atika yang hendak mengangkat pakaian Chana itu menjadi kaku setelah dia mendengar kalimat dari Chana. Ssshh Ssshhh Chana berusaha untuk menggerakkan tangannya, dia ingin membuka celananya dengan usahanya sendiri, namun sayang, bahkan setengah centipun tidak ada perubahan yang berarti. Chana terdiam dan tak lama kemudian .... Ssshhh Ssshhh Sret Atika yang kaku itu menunduk ke arah paha Chana. Basah.  Ya, basah. Chana pipis di celana karena dia gagal membuka celananya sendiri. Sret Chana menunduk malu, dia tidak berani mendongak ke arah Atika. Sret "Tidak apa-apa, tante Atika bantu buka celana Chana yah?" ujar Atika. Chana tidak merespon, dia hanya diam saja. Sret Atika mulai membuka celana Chana yang telah basah karena air seni itu. Ssrrrrrhhh Serrhhh Bunyi kran air dia nyalakan. Atika bantu membilas tubuh bagian bawah Chana yang basah akibat pipis nya. "Um ...." Chana menunduk malu, dia mengeratkan kedua pahanya kuat ketika tangan Atika ingin membilas bagian pribadinya. "Tida apa-apa, kita sama-sama perempuan, ketika Chana kecil dulu, tante Atika sering mencebok Chana ketika tante Atika datang ke rumah Chana," ujar Atika meyakinkan Chana. Chana yang merasa risih awalnya menjadi diam. Beberapa saat kemudian dia melonggarkan kedua eratan pahanya itu. Atika tersenyum dan mulai membilas tubuh bagian bawah Chana. Ketika di luar pintu toilet. Tes Popy yang tahu bahwa sang anak perempuan nya itu di dalam kamar mandi meneteskan air matanya. Sret Popy melihat ke arah pelayan Basri. "Handuk dan pakaian dalam untuk Chana, celananya juga."  Dua pelayan Basri mengangguk mengerti. Dengan cekatan kedua pelayan itu membagi tugas, satu mengambil celana untuk nona muda mereka, sedangkan yang lainnya menyiapkan handuk lembut. Sret Popy meraih handuk dan pakaian dalam untuk anaknya. "Aku butuh handuk." Suara Atika dari dalam kamar mandi. Sshh Shhh Sebelum masuk ke kamar mandi, Popy berusaha menahan tangis dan air matanya. "Ehm." Popy berusaha agar suara seraknya hilang. "Chana, mama Poko masuk yah." Ceklek Popy masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Aqlam bersandar di dinding pinggir kamar mandi. Sreeetttt Dua pelayan Basri mundur ketakutan ketika melihat ekspresi dari Aqlam. Tuan muda Nahan itu mengepalkan erat kedua tangannya, rahangnya mengerat, terlihat jelas otot-otot rahang itu. "Tidak akan aku lepaskan." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD