Chapter 29

1561 Words
"Davin kecil, Lia kecil puas dengan seni tata letak tempat sampah yang ada di rumahmu ini," suara imut dari Lia kecil terdengar puas. Davin, pria tua 74 tahun itu mengangguk. "Aku senang, Lia kecil puas dengan seni tata letak tempat sampah di sini, pelayan dan pengawal yang mengerjakannya," ujar Davin. Lia kecil tidak tahu saja kalau Davin membayar mahal seorang seniman tata letak untuk memposisikan dimana tempat sampah yang baik dan bagus serta enak dilihat di rumahnya. Dan itu terjadi dengan kecepatan kilat. Terjadi dengan kecepatan kilat, uang melayang dengan kecepatan kilat. "Letak tempat sampahnya enak untuk dilihat," ujar Lia kecil. Sret Lia kecil menoleh ke arah nenek buyutnya. "Bukankah benar nenek Lia?" tanya Lia kecil dengan manis. Glung glung Lia besar manggut-manggut. "Bagus ... diriku yang kecil ... kita bisa duduk santai di pinggir kolam ikan koi dan menikmati makanan yang ada di tempat sampah itu ... aku melihatnya...makanannya enak ... ada roti ... buah ... s**u ... ah ... yogge ... huret juga ...." ujar Lia menjawab pertanyaan dari cicitnya. Glung glung Lia kecil mengangguk kuat. "Ya, benar sekali nenek Lia, kita bisa duduk santai sambil bermain dengan ikan-ikan koi yang ada di kolam belakang rumah, aku bisa melihat dari sini bahwa ikan-ikan koi itu sedang melambaikan tangan mereka ke arah kita berdua nenek Lia, dan bisa menikmati makanan enak yang ada di tempat sampah di situ." Ujar Lia kecil. "Ya ... santai ...." Lia besar manggut-manggut. "Roti bakar juga enak jika dimakan dengan yoghurt...hmmm yummy!" ujar Lia kecil bersemangat. Davin sangat senang atas respon dan penilaian dari bibinya Lia dengan Lia kecil, bibi Lia versi kecilnya. Dia akan menambah bayaran untuk ahli seni tata letak nanti. Davin melirik ke arah sepupunya Busran yang dari tadi siang datang dengan istrinya ke kediamannya. Busran terlihat memperhatikan baik-baik cucu perempuannya itu. Dia memang sering mengatakan bahwa Lia kecil adalah perwujudan dari ibunya, namun itu untuk menyenangkan hati cucu perempuannya itu. "Busran, apa yang kau lihat? Awas, bola matamu jatuh ke lantai." "Ekhem!" Busran terbatuk seketika. Suara imut cucu perempuannya terdengar tiba-tiba di pendengarannya. "Ppftt!" Anggota keluarga Farikin dan Nabhan menahan tawa mereka. Lia kecil sungguh imut. °°° "Aqlam, istirahat dulu, dari pagi kamu sudah di sini, tante Poko lihat kamu nggak lelah?" Popy berbicara ke arah Aqlam yang sedang memandang ke arah Chana yang belum juga bangun dari tidurnya sudah sebulan ini. Sret Aqlam menoleh ke arah Popy, lalu dia tersenyum kecil. "Aqlam tidak lelah, tante Poko. Aqlam lebih suka menemani Chana saja, kalau Chana bangun nanti tidak ada Aqlam, bagaimana? Nanti Chana marah." Ujar Aqlam membalas ucapan Popy. Popy mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan Aqlam. Sebulan lagi adalah ulang tahun anak itu yang ke 13 tahun, namun Chana belum juga bangun. Popy melirik ke dinding, jam menunjukan empat sore. "Tante Poko beli makanan untuk Aqlam yah? Aqlam kan belum makan siang," Aqlam menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu tante Poko, nanti Aqlam beli sendiri, ah, ada pengawal atau pelayan yang secara rutin membawakan Aqlam makanan," jawab Aqlam. Popy menggelengkan kepalanya tanda tak setuju dengan Aqlam. "Nggak, tante Poko maksa sekarang, kamu belum makan siang, makan di sini atau pulang dan istirahat?" ujar Popy mengancam. Glung glung Aqlam mengangguk demi menenangkan hati dari Popy, dia tahu bahwa Popy khawatir pada dirinya. "Baik, Aqlam makan di sini saja, tante Poko yang beli makanannya, maaf merepotkan tante Poko." Ujar Aqlam. "Tidak merepotkan sama sekali, tante senang." Ujar Popy tersenyum. Tak Tak Tak Popy berjalan keluar dari ruang rawat anaknya, dia ditemani oleh beberapa pengawal Basri. Perusahaan yang Popy pimpin sementara ini di serahkan kepada suaminya, karena kondisi Chana belum juga membaik, jadi Popy masih stres, ditambah lagi dengan kakek dan neneknya yang masih stroke. °°° Sepeninggal Popy, Aqlam menggenggam telapak tangan Chana yang masih diperban. "Chana ... aku harap kamu cepat bangun ... bukankah kamu bilang kamu sedang mempersiapkan hadiah untuk ulang tahunku nanti?" ujar Aqlam ke arah Chana yang menutup matanya. "Kita akan sekolah bersama lagi ... jika kamu tidak mau ikut les tambahan untuk ujian nanti, aku bisa mengajarkanmu," suara Aqlam serak. "Aku janji, tidak akan cepat-cepat agar kamu bisa mengerti, sama seperti selama ini aku mengajarkanmu pelajaran," lanjut Aqlam. Aqlam melihat perban yang menutupi seluruh bagian tangan Chana. Hatinya sedih lagi, hatinya sakit lagi. Sakit seperti ditikam pisau tajam yang tak kasat mata. "Aku berjanji, aku akan menemukan pelakunya ... aku tidak akan tenang sebelum menemukan pelakunya ...." suara serak Aqlam terdengar bergetar. Cup Kecupan ringan Aqlam berikan ke telapak tangan yang diperban itu. Tes Di depan pintu, Popy meneteskan air matanya. Sret Wanita yang kini berusia 38 tahun itu mencengkram tas makanan yang dia beli untuk Aqlam. Hatinya sedih lagi ketika mendengar ucapan Aqlam pada anak gadisnya. Kadang Popy berpikir, mungkinkah ini adalah dosa di masa lalu yang telah dia lakukan. Hati Popy terasa panas. Matanya berkaca-kaca. Hap "Ahm!" Popy terkaget ketika seseorang memeluknya dari belakang. "Popy ... jangan menangis lagi ...." ujar Ben sambil memeluk Popy. "Aku akan mencari pelakunya, aku berjanji, tidak akan lolos," ujar Ben. Cup Dia mengecup pipi istrinya. °°° "Don't see boss for now, your mission is failing." Ujar seorang pria berwajah eksotis. (*Jangan bertemu bos untuk saat ini, misimu gagal.) Wanita yang diajak bicara pria itu melirik ke arah pria itu. "Ck! She can live! The grenade was the latest Russian model, but I didn't expect her to survive." Ujar wanita itu dengan nada jengkel yang kentara. (*Dia bisa hidup! Padahal granat itu model terbaru buatan Rusia, aku tidak menyangka dia selamat.) Sret Pria itu mendekat ke arah wanita itu. "Alice, are you jealous because the girl's face is prettier than yours?" (*Alice, apakah kamu cemburu karena wajah dari gadis itu lebih cantik darimu?) Ssshh Jari pria itu menyentuh pipi dari wanita yang dia panggil Alice itu. Sret Dia mengelus halus pipi Alice dan berhenti di bawah bibir Alice. Gut "Ah! Don't bite," ujar pria itu ketika jari telunjuknya digigit oleh wanita bernama Alice. (*Jangan menggigit.) "Huh! She's just a newborn child! I'm prettier than her because I was born first!" ujar Alice dengan nada sombong. Dia mendengus ketika membicarakan objek yang sedang dia jengkel sekarang, Chana. (*Dia hanya anak kecil yang baru lahir! Aku yang lebih cantik darinya karena aku yang lebih dulu lahir!) Bibir pria itu tersenyum tipis. "Really?" (*Benarkah?) "I think your age is getting older, so your face looks old too," lanjut pria itu. (*aku pikir usiamu semakin hari menjadi tua, jadi wajahmu juga terlihat tua) Plak "Ouh! Slowly babe." Ujar lelaki itu ketika tangannya di tampar oleh Alice. (*Pelan-pelan sayang.) "Is my face really old??" Alice bertanya ke arah pria itu. (*Benarkah wajahku terlihat tua?) Pria itu menaikan sebelah alisnya. "Thirty years is no longer young," ujar lelaki itu. (*Tiga puluh tahun bukan usia muda lagi) "Heum!" Alice mendengus. Sret Brak Hap "Let me tell you, Alice will never grow old." Ujar Alice. Perempuan 30 tahun itu naik dan duduk di atas paha pria yang berbicara dengannya. (*Biar aku katakan padamu, Alice tidak akan pernah menua.) Pria itu tersenyum. "My people are watching us right now," ujar pria itu. (*Anak buahku menyaksikan kita sekarang) "Ouh?" "Then?" (*Lalu?) Ssret Hap "How about this?" Alice memegang kedua tangan pria itu dan meletakan kedua telapak tangan pria itu ke arah kedua payudaranya. (*Bagaimana dengan ini?) "Wuuhh!" pria itu tersenyum tipis sambil menaikan sebelah alisnya. "Sorry, my wife is waiting for me home tonight," ujar pria itu. (*Maaf, istriku sedang menungguku pulang malam ini.) "Hahahahaha! Since when do you have a wife?" Alice tertawa keras. (*Sejak kapan kau punya istri?) "Ahahahaha! Ouh! Hmmp! Ups! Maaf, aku kelepasan." Ujar Alice ketika sadar bahwa tertawanya melanggar etika kecantikan yang biasa dia ikuti. "Heheheh," pria itu terkekeh geli. Sret Alice turun dari pangkuan pria itu. "Max, aku akan pergi menyelesaikan misi lain, malam ini akan aku bunuh sepuluh target yang sudah aku kunci." Ujar Alice. Pria yang bernama Max itu mengangguk. "Semoga beruntung." Ujar pria itu. "Heum! Semoga beruntung untukmu juga." Tak Tak Tak Alice berbalik berjalan keluar dari pintu sambil tersenyum, dia menyisihkan sebuah pistol dan dua buah tabung peluru di pahanya. Setelah Alice pergi, Max, pria yang berbicara dengan Alice tadi menoleh ke arah anak buahnya. "Tidak bisa didekati anak itu?" "Tidak bisa, pasca dia selamat dari orang-orang yang kita kirim, anak itu selalu mendapat pengawalan ketat, tidak ada sedikitpun kelonggaran, sepuluh pengawal tingkat atas. Salah satunya adalah mantan dari buaya setan." Jawab seorang pria di samping kiri Max. "Buaya setan?" Max menaikan sebelah alisnya. "Bukankah mereka sudah bubar?" tanya Max. "Sudah, namun sisa anggota tidak diketahui kemana mereka menyebar, hanya dia yang menjadi pengawal dari anak itu," jawab pria itu. "Tuan Basri itu pintar, buaya setan bukan sembarangan." Ujar Max. "Tenang saja, tidak ada yang akan mengetahui siapa yang mengincar cucunya itu, heum!" pria itu mendengus. Max tersenyum tipis. "Ya, benar. Lagipula dia sudah tua, bisa apa di umurnya yang ke 66 tahun ini? Saatnya kita yang menguasai, bukan dia." Ujar Max. Pria di sebelah Max ikut tersenyum. "Aku dengar menteri polhukam juga mengejar pelaku yang memburu anak itu?" Max menoleh ke arah pria itu. Pria itu mengangguk. "Ya, benar. Dia juga orang yang pintar, adik perempuannya yang menikah dengan Basri," "Indonesia semakin kuat saja dibawah asuhan kepolisiannya sebelum dia menjabat menjadi menteri." Ujar pria itu. "Aku benci padanya, pada menteri itu." Ujar Max. Pria di samping Max menaikan sebelah alisnya. "Karena dia terlalu pintar dan cerdas lebih darimu?" Max tersenyum miring. "Ya, karena aku benci orang yang lebih pintar dariku." Ujar Max dingin. "Karena kebijakannya menjadi kepala kepolisian Indonesia dua belas tahun yang lalu, tiga puluh anak buahku mati sia-sia tanpa perlawanan." Glik Bunyi gesekan gigi-gigi Max. Pria di sampingnya hanya mengangguk saja. "Karena kepintarannya dalam strategi, senjata yang aku selundupkan dari Malaysia ke pulau Batam terbongkar." Ujar Max dengan suara penuh dendam. "Sial, pria tua itu makin membuatku jijik." Ujar Max dingin. Pria di sebelah Max hanya tersenyum tipis. "Orang tuanya mati karena pengkhianat di dalam kandang kepolisian, dengan kasus yang sama, penyelundupan senjata." "Mungkin kasus penyelundupan senjata adalah dendamnya dari masa lalu." Lanjut pria itu. Max mengangguk singkat. "Suatu saat aku sendiri yang akan menembak kepalanya." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD