Chapter 36

1477 Words
Satu bulan kemudian. "Naufal, apa kakak kamu masih sakit?" Jonathan bertanya ke arah Naufal. Glung glung Naufal mengangguk cemberut. "Kakak Chana masih sakit, belum bangun juga," ujar Naufal. "Sudah mau dua bulan, pengawal kamu makin bertambah banyak saja," ujar Amar. "Ya, kakek Ran yang menambah pengawal," ujar Naufal. Amar dan Chris manggut-manggut. Jonathan bergeser mendekat ke arah Naufal dan berbisik, "Naufal, aku dengar Sehat tinggal dirumah Awa?" Naufal menoleh ke arah Jonathan. "Ya, kamu tahu dari mana?" "Itu, setiap pulang, Sehat naik mobil Awa, dan datang ke sekolah juga dia naik mobil Awa," jawab Jonathan. "Aku perhatikan, badan Sehat makin gemuk, tidak kurus lagi seperti sebelumnya," ujar Jonathan sambil berpikir. "Bos, memangnya selama ini bos perhatikan Sehat?" tanya Amar penasaran. "Ya ... em ... kalian juga kan? Waktu kita belum berteman dengan Sehat, dia dulu kurus, kan?" Jonathan bertanya ke arah Amar dan Chris. Amar dan Chris saling melirik lalu mereka mengangguk bersama. "Ya, Sehat sekarang sudah gemuk, tidak kurus lagi," ujar Amar. Jonathan berbisik ke arah Naufal lagi. "Memangnya Sehat itu tidak ada orang tua yah?"  Sret Naufal melirik tajam ke arah Jonathan. "Tentu saja ada." Jawab Naufal. "Em ...." Jonathan menggaruk kepala. "Dulu tidak ada yang mengambil rapotnya, jadi aku pikir dia tidak punya orang tua, dan ... dia terlalu kecil dan penakut, dan ... yah ... aku dan geng suka menindas dia," ujar Jonathan bersalah. Naufal memandang serius ke arah Jonathan. "Jon, kakek Ran pernah bilang padaku, laki-laki sejati itu adalah laki-laki yang mampu melindungi yang lemah, bukan menindas yang lemah." Glung glung "Aku tahu, aku kan sudah berjanji tidak menindas orang lagi di masa depan." Ujar Jonathan sambil menggeleng. Glung glung "Bagus kalau kau masih mengingat janjimu," Naufal mengangguk puas. Teng Teng Teng "Ayo masuk ke kelas, sudah bel masuk istirahat!" ujar Naufal. Tiga bocah itu mengangguk. °°° "Mas, sudah dua bulan loh, orang tua Sehat kok nggak kelihatan dan ada kabarnya yah?" Daimah bertanya ke arah Alamsyah. Mereka akan tidur, Alamsyah yang sedang menaikan selimut itu melihat ke arah istrinya. "Orang tua Sehat hilang kontak dengan kita, tidak tahu mereka berada dimana. Sepertinya mereka tidak berniat untuk mengambil kembali Sehat untuk pulang." "Keluarga ibunya Sehat juga?" tanya Daimah. "Ya, mereka mengatakan bahwa sehat bukan tanggung jawab mereka, Sehat itu adalah tanggung jawab dari ayahnya, jadi apapun yang terjadi kepada Sehat, itu bukan urusan mereka lagi." Jawab Alamsyah. "Iiihh! Kok malah mereka begitu? Kesel aku mas! Sehat itu kan juga termasuk kerabat mereka, mereka kok begitu yah." Ujar Daimah kesal. "Lalu keluarga ayahnya Sehat bagaimana?" tanya Daimah lagi. "Hum ... aku kurang mengerti mengenai definisi keluarga dari mereka, aku juga tidak tahu apa mau mereka, tidak menghiraukan urusan Sehat." Jawab Alamsyah. Daimah bertambah jengkel setelah mendengar jawaban dari suaminya. Dua bulan pasca kejadian di tempat perkemahan, dan orang tua Sehat belum juga datang menjemput anak mereka. Daimah tidak suka sikap orang tua dari Sehat. Mereka tidak memperhatikan anak mereka. Terlintas sebuah pikiran di benak Daimah. "Mas," panggil Daimah. Alamsyah yang sudah menutup mata hanya menyahut.  "Hm?" Daimah melihat suaminya antusias. "Bagaimana kalau kita adopsi saja Sehat jadi anak kita?" Sret Alamsyah membuka matanya tiba-tiba. "Apa?" °°° Hap "Tidur, jangan buka mata terus," Randra memeluk istrinya. "Ran ...." panggil Moti pelan. "Hm?" "Momok nggak bisa tidur malam ini," ujar Moti pelan. "Kenapa?"  "Nggak tahu ... em ... rasa nggak enak aja ...." jawab Moti. Randra mengerutkan keningnya. "Apa badanmu sakit? Pinggang?" "Bukan ...." jawab Moti pelan. "Badan Momok nggak sakit ...." "Lalu? Apa kamu lapar?" tanya Randra. "Nggak lapar ...." jawab Moti. Randra tidak tahu apa yang terjadi pada istrinya malam ini. "Jantung Momok rasa nggak enak ...." Pum Sret Ketika mendengar kalimat istrinya, jantung Randra berdetak cepat, dia langsung bangun dari tempat tidur. "Aku akan panggil Anindya dan Febrian," Sret Meraih ponselnya. "Nggak perlu Ran," ujar Moti. "Maksud Momok, bukan sakit jantung, hanya ... hanya seperti rasa gelisah ... nggak tahu apa ... maksud Momok ... hati Momok kayak nggak tenang aja gitu ... jadi nggak bisa tidur ...." ujar Moti. Randra menurunkan ponsel yang dia dekatkan di dekat telinga. "Sini ...." panggil Moti. Sret "Katakan, bagaimana sekarang? Apakah masih tidak enak?" Randra mendekat dan meraih kedua telapak tangannya. Hap Moti tiba-tiba memeluk suaminya. Kepala Moti di sandarkan di d**a pria yang sudah 41 tahun menjadi suaminya itu. Sret Randra mengusap punggung istrinya lembut, dia berhati-hati atas tindakannya, takut menyakiti tubuh istrinya. "Hummmmm ... Momok suka bau Ran ... harum ... seperti dulu waktu sekolah ...." ujar Moti pelan, dia mengingat lagi masa lalu ketika waktu sekolah. Randra tersenyum lembut, dia tentu saja mengingat tingkah konyol sang istri yang absurd itu. "Baunya nggak pernah berubah ... masih sama ...." ujar Moti. "Ya, masih sama ...." balas Randra sambil tersenyum lembut. "Masih sama kayak ... wanginya celana bokser kuning Ran ...." "Hahahaha!" Randra tertawa geli. Wangi celana boksernya, tentu saja Randra mengingat itu. Waktu ketika dia meminjamkan celana boksernya kepada Moti karena waktu itu Agil tidak sengaja menarik rok Moti lalu robek. Sret Sret Moti memeluk pinggang Randra, lalu dia menggoyangkan pelan tubuhnya dan Randra ke kiri dan kanan. "Ran ...." panggil Moti pelan. "Ya?" sahut Randra. "Kapan kita pertama bertemu?" "Apa kau lupa? Hahahaha!" Randra tertawa geli. Moti mendongak ke atas, dia melihat dagu suaminya, sedangkan Randra melihat ke arah istrinya, terlihat bekas sayatan di leher istrinya. Luka lama, dan kenangan lama. "Emm ... di lampu merah?" ujar Moti. Randra tersenyum. "Ya ... lampu merah ... aku pikir aku menabrakmu ... ah ... kau bertingkah seperti orang yang terkena serangan jantung ... aku menjadi panik waktu itu, hahaha," Moti tersenyum geli. "Lalu dimana lagi?"  "Di pinggir trotoar jalan ... malam itu ...." jawab Randra. "Hahahaha!" Moti tertawa geli. "Setelah itu dimana lagi?" tanya Moti lagi. "Di rumah sakit," "Hahahaha!" Moti tertawa ketika mengingat adegan di rumah sakit. Sudah lama sekali, sudah hampir 50 tahun mereka pertama kali bertemu. "Waktu itu aku membelikanmu sup konro ...." ujar Randra "Ya ...." Moti masih mengingat waktu mereka bertemu di rumah sakit. "Lalu setelah itu?" tanya Moti lagi. "Setelah itu ... aku bertemu kamu ketika di ruang kesehatan dan ... baru aku tahu kalau kau itu adalah adik dari lawanku di atas matras," jawab Randra. "Hahahahaha!" Moti tertawa. Dia mengingat lagi ketika pertama kali dia menonton pertandingan antara suami dan kakak laki-lakinya. Endingnya tidak bagus. Berakhir dengan cidera yang didapatkan oleh suaminya karena dia sendiri yang mengigit Randra waktu itu. Salah gigit. Randra tersenyum geli, mereka sedang membahas masa-masa ketika mereka masih bersekolah. "Ran ...." panggil Moti. "Ya?" sahut Randra. Moti masih menggoyangkan pelan tubuh mereka ke kiri dan kanan sambil memeluk. "Dulu Momok ngejengkelin yah?" tanya Moti, dia mendongak ke arah suaminya. Randra tersenyum. "Ya, kamu sangat menjengkelkan."  "Iissshh ...." Cuk "Auh! Dan masih saja suka mencubit." Ujar Randra ketika Moti mencubit pinggangnya. "Ah ... Ran ngeselin ... Ran sih ... suka ngancem-ngancem Momok ... Momok kan jadi takut ...." ujar Moti. Randra tertawa geli. "Hahahaha! Kalau tidak mengancam, kamu pasti tidak menurut padaku," balas Randra. "Iishhh ... tau ah ...." "Hahahaha!" "Lihat ini, tanda patah di hidungku, biarpun sudah pudar, tapi masih terlihat sedikit," Randra menunjuk ke arah hidungnya. "Ishh ... diingat-ingat lagi ... Momok kan malu ... nggak sengaja waktu itu lempar Ran dengan kaleng s**u ...." ujar Moti, dia menyembunyikan wajah malunya di dalam pelukan suaminya. Randra tersenyum geli. Istrinya ini biarpun mereka sudah menikah lebih dari 40 tahun, namun tingkah istrinya masih seperti remaja labil kadang-kadang. "Oh yah, dan aku masih ingat ketika kamu menggigit tanganku, masih ada bekas gigitanmu disini ...." ujar Randra, dia menunjukan tangan yang pernah digigit oleh istrinya waktu itu. "Iiihh ... jangan diingat-ingat lagi! Momok malu ah!" Sret Sret Moti ingin masuk lebih dalam ke pelukan suaminya. "Hahahaha!" Randra tertawa. Jarang dia dan istrinya bisa mengenang masa lalu mereka, karena tragedi masa lalu yang menimpa Moti, Randra tidak pernah berbicara mengenai masa lalu mereka. Namun malam ini Moti terlihat antusias dalam mengenang masa lalu mereka. Masa-masa dimana mereka pertama kali bertemu, masa dimana pertama kali Randra melamarnya, dan masa dimana mereka menikah di rumah sakit. "Ran ...." "Hm?" "Udah berapa tahun kita nikah?" tanya Moti. "Apa kau lupa tentang tanggal pernikahan kita?" Randra melotot geli ke arah istrinya. "Hahahah! Momok udah lupa ... nggak ingat lagi ...." Moti cengengesan. Randra ikut tertawa geli. "Hahaha!" "Tanggal sembilan Agustus, lima bulan lagi, empat puluh satu tahun." Jawab Randra. "Ooh ... rupanya kita berdua hidup sudah lama ...." ujar Moti. "Ya, sudah lama, dan aku ingin lebih lama lagi hidup denganmu," sambung Randra. Wajah Moti memerah tersipu malu-malu. "Lalu ... kapan kita ... kapan kita ... kapan Ran dan Momok ...." ketika berbicara, wajah Moti memerah bagaikan tomat matang. Randra menaikan sebelah alisnya. "Kapan kita melakukan malam pertama kita?" "Iihhh! Momok malu tahu!" Cuk "Auh! Hahahaha!" Randra tertawa ketika melihat respon istrinya. Moti mencubit pinggangnya lagi. "Jangan diingat lagi, bahas yang lain saja, pass." "Hahahaha!" bahu Randra bergetar karena tawa. Jelas-jelas istrinya sendiri yang membahas tanggal malam pertama mereka. Sret Randra menunduk dan mendekatkan bibirnya di dekat telinga sang istri. "Sebelas Januari, pukul sembilan lewat empat puluh menit, empat puluh tahun yang lalu," ujar Randra. "Uh?" Moti mendongak bingung ke arah suaminya, dia mengerutkan keningnya. "Sebelas Januari ... pukul sembilan lewat empat puluh menit ... empat puluh tahun yang lalu?" Moti menatap bingung ke arah suaminya, dia tidak mengerti. Randra tersenyum lebar, dia menatap mata istrinya.  Sret Randra mendekatkan lagi bibirnya ke dekat telinga Moti, dan berkata, "itu waktu kita melakukan malam pertama kita ..." Blush "..." Wajah Moti memerah, dia mangap-mangap ke arah suaminya. Randra tersenyum lebar. "Waktu itu pertama kalinya aku buka segel dan ... kau menangis sesenggukan ...." Blush "..." Moti tidak dapat berkata apa-apa lagi. Kata yang dia ingin ucapkan tertanam  di tenggorokannya. Beberapa saat kemudian. Cuk Cuk Cuk "Hiiiii!" "Ran buta! Buta! Buta! Buta!" "Hahahahahahaha!" °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD