"Sakit banget! " Aarumi tanpa sadar meringgis seraya memegangi kepalanya yang terus berdenyut nyeri membuat tubuh mungilnya terombang-ambing bagai di terpa ombak laut.
Belum selesai dengan rasa sakitnya, Aarumi lagi-lagi dikagetkan dengan keberadaannya di suatu ruangan yang tidak Aarumi ketahui.
"Kenapa gue ada di sini? " gumam Aarumi mengabaikan rasa sakit di kepalanya.
Aarumi yakin jelas kalo ini bukanlah kamarnya. Di kamarnya tidak ada kasur dengan ukuran besar yang dibagian atasnya terdapat banyak boneka demgan beragam ukuran. Atau atap kamar berwarna abu tua yang sama sekali tidak senada atau pun selaras dengan gordeng yang berwarna merah ngejreng, dinding hitam pekat dan barang-barang yang di d******i warna kuning. Semua warna terlihat menyakiti matanya, tapi anehnya Aarumi merasa semua terlihat familiar dibenaknya, seolah semua yang ada di kamar itu begitu dekat dengannya. Tapi kamar siapa ini?
"SUDAH CUKUP KALI INI, MAS! "
Belum sirna dengan rasa bingungnya, Aarumi kembali dikagetkan dengan suara teriakan seorang wanita yang terdengar sangat dekat di bibir pintu kamar. Aarumi tanpa sadar berjalan mendekat, mengintip di balik pintu yang sejak tadi memang terbuka lebar.
"Tidak perlu mendebatku ! Kamu bukan apa-apa jika tanpa saya! Jangan pernah lupakan itu! ." Kali ini suara berat pria menyapa telinga Aarumi. Aarumi makin dibuat kebingungan pasalnya matanya bahkan tidak bisa menjangkau siapa pemiliki suara yang terdengar dekat itu.
"Kamu pikir saya wanita lemah? Wanita yang bisa kamu permainakan seenaknya? Sayangnya kamu salah Mas! Saya tidak akan tunduk pada pria b***t seperti kamu!" Suara wanita itu terdengar tegas tapi juga lirih.
Tiba-tiba suara tawa terdengar menimpali kalimat barusan. Suara tawa berat yang terdengar mengerikan. Seluruh tubuh Aarumi rasanya mengiggil saat mendengar suara itu.
"Jadi apa yang kamu inginkan sekarang?" Suara berat pria itu kembali terdengar usai tawa panjangnya berhenti.
"Kebenaran! "
"Kamu akan mendapatkannya ...." Suara berat itu menjadi kalimat terakhir yang Aarumi dengar karena setelahnya semua seketika hening. Namun, bukan sebuah hening yang terasa nyaman, Aarumi justru merasakan hawa kengerian yang aneh. Dengan takut-takut Aarumi memberanikan dirinya keluar dari balik daun pintu, berjalan perlahan keluar.
"Di alam baka ...."
Aarumi terperanjat karena tiba-tiba sepercik cairan kental berwarna merah mengenai kedua telapak tangannya.
"A-apa ini ?" Aarumi tertegun. Itu darah. Bau amisnya membuat Aarumi mual.
"Apa yang barusan kamu lakukan? " Suara berat itu kembali menyapa Aarumi diiringin derap langkah kaki mendekat.
"S-saya ...." Aarumi tergagap, matanya melihat sepatu hitam mengkilap itu berhenti lima meter di hadapannya .
"Sayang, sudah papa bilang untuk menutup rapat pintu kamar. Kenapa adik bangun semalam ini? Itu tidak baik untuk kesehatan kamu."
Papa? Aarumi refleks mengangkat kepalanya. Betapa terkejutnya Aarumi mendapati ada seorang anak kecil berdiri membelakanginya. Gadis kecil itu memeluk erat boneka di tangan kanannya dan di tangan kirinya sebuah pisau kecil dengan noda bercak darah.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Suara Aarumi tertahan, matanya tiba-tiba tidak fokus. Wajah pria di hadapannya sama sekali tidak bisa Aarumi lihat dengan jelas. Semua benda dan objek perlahan terlihat samar di matanya.
"Papa, kenapa Mama tidak bergerak?" Suara tangis mengema di telinga Aarumi. Rasa nyeri di kepala Aarumi yang semula perlahan menghilang, kembali datang dengan rasa sakit lima kali lipat dari sebelumnya.
"Jangan takut, Papa akan selalu ada bersamamu .... kamu hanya perlu tidur ... kembalilah ke kamarmu."
Aarumi tidak kuat menahan rasa sakit di kepalanya, spontan ia berterik meminta bantu. Namun, semua seolah tidak mendengar suaranya, bahkan gadis kecil itu berjalan seperti tidak terjadi apa-apa melewati Aarumi yang menjerit kesakitan.
"Tolong saya! " teriak Aarumi lagi. Spontan pria di hadapannya mengangkat wajahnya, walau Aarumi tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi Aarumi yakin seulas senyum mengerikan muncul dibibirnya.
"Selamanya ini akan menjadi rahasia."
Seketika tubuh Aarumi seperti membeku, suara detak dari jam besar mendadak menghilang. Jika tadi matanya yang tiba-tiba tidak berfungsi dengan baik, sekarang giliran telinganya yang tiba-tiba berdenging nyaring.
"T-tolong!"
Suara Aarumi berhenti begitu matanya terbuka lebar. Setumpuk kertas menjadi pemandangan pertama yang menyambut matanya.
"Gue ada di ...." Aarumi langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. "Perpustakaan kampus? Itu artinya tadi mimpi ?"
Kengerian itu hanyalah mimpi ? Aarumi menghela napas panjang, lega. Namun, setumpuk kertas hukuman yang Delshad berikan bukanlah mimpi. Jam di tangannya sudah menunjukan pukul empat sore. Aarumi harus segera menyelesaikan hukuman menyebalkan ini.
Aarumi mendengus kesal, bagaimaan bisa ia tidak sadar tertidur selama ini ? Terakhir yang Aarumi ingat hanyalah kepalanya tiba-tiba terasa sakit setelah membaca lembaran kertas yang ada di hadapannya saat ini, mungkin karena dia terlalu mengantuk?
"Tapi, rasa sakit itu terasa sangat nyata. Aneh ...." Aarumi kembali fokus pada lembaran selanjutnya. Tersisa satu lembar lagi, cerpen. Dalam waktu singkat Aarumi sudah menyelesaikannya. Sepertinya hukuman ini sudah terasa mudah bagi Aarumi.
"Giliran udah selesai aja, baru terasa mudah," gumam Aarumi seraya menyelesaikan tulisannya. Aarumi sudah tidak sabar melempar buku hukumannya di hadapan Delshad, menumpahkan rasa kesalnya sendari tadi.
"Jadi bagiamana apa kamu setuju kalo buku itu jendela ilmu?"
Aarumi tersentak, kepalanya spontan langsung menoleh mencari pemilik suara berat yang baru saja menyapanya.
"Saya ada di sini ...." Terdengar suara dari sebelah kanannya.
"Kamu siapa? " Aarumi terperanjat, langsung bangkit dari kursinya, mengabaikan cowok berkaca mata hitam yang masih setia melambaikan tangannya ramah.
"Kamu lupa siapa saya?" Cowok itu malah balik bertanya. Aarumi tidak menjawab, matanya menyipit, sinis. "Oke, biar saya ingatkan. Saya orang terakhir yang kamu ajak bicara sebelum tertidur pulas. Ingat suara, sekarang kamu tahukan kenapa kamu mendapat hukuman ini? "
Otak Aarumi langsung berkerja cepat. Dia ingat kalimat ini.
"Ingat, kan? "tanya cowok itu lagi dengan senyuman mengembang.
Dengan cepat Aarumi langsung menodongkan pulpen ke wajah pria itu. "Ngapai kamu di sini? "
"Tenang, saya tidak ada niat jahat kok ke kamu. Kita ini sahabat—"
"Sahabat, sejak kapan gue punya sahabat—"
"Dek, kamu ngapain?" Lagi-lagi Aarumi nyaris jantungan akibat tepukan pelan Affifah di bahunya.
"Ish Kakak ! Apaan sih ngagetin aja! "dengus Aarumi berang.
"Loh, dari tadi kakak panggil kamu gak noleh-noleh. Kamu lagi ngapain? "
Seketika Aarumi kembali teringat akan cowok yang ada di sebelahnya. "Ini nih Kakak, ada orang aneh !"
Klise, seperti di film-film cowok itu tidak ada di posisinya tadi. Namun, Aarumi masih melihatnya berjalan keluar perpusatkan.
"Mana, Dek? Perasaan tadi kamu sendiri deh."
"Itu, Kak ... orangnya baru pergi." Aarumi mendengus kesal.
"Kok Kakak gak liat? Apa kamu salah liat? Gak ada siapa-siapa di sini." Afiffah yakin betul dengan pendapatnya.
Mata Aarumi memicing. "Tunggu dulu, apa Kakak pikir Aarumi gila bicara sendiri?"
"Gak gitu maksud, kak. Mungkin tadi ...." Afiffah berpikir sejenak, memila-milih kalimat apa yang cocok untuk menjelaskan praduganya pada Aarumi. Salah satu langkah saja, bisa-bisa Aarumi marah padanya.
"Gila, kan?" serobot Aarumi cepat.
"Gak, mungkin tadi kamu kelelahan. Kan kamu tahu sendiri kalo kamu kecapean kamu suka salah liat? Mungkin kamu salah liat. Soalnya dari tadi Kakak gak liat siapa-siapa." Affifah menjelaskan dengan hati-hati.
Aarumi mendesis panjang, apa yang kakaknya katakan itu benar. Beberapa kali saat kecapeaan olahraga atau lelah ngerjain tugas matematika, penglihatan sedikit kurang fokus.
"Udahlah, gak penting juga bahas orang aneh itu. Dia ada atau gak ada, gak penting ...." ujar Aarumi.
Afiffah mengangguk setuju. "Oh iya, gimana dengan hukuman kamu? "
Aarumi memberikan buku hukumannya pada Afiffah. "Sekarang Aarumi boleh pulang, kan, Kak?"
Afiffah tersenyum senang saat menerima buku bersampul cokelat biasa, senyumnya makin mengembang saat melihat isi yang dibuat Aarumi. "Wah masayallah, udah semua ya? Tuhkan, apa kata kakak, kamu pasti bisa."
Aarumi memutar bola matanya, malas. "Mana tuh Delshad, biar Aarumi lempar buku ini ke wajahnya."
"Dek, kamu kok ngomong gitu." Afifah mendelik tidak suka.
Aarumi mengabaikan wajah kesal kakaknya itu dengan pura-pura sibuk membereskan buku miliknya.
"Kakak gak suka ya kalo kamu berbuat gak sopan sama Mas Delshad."
"Mas?" cicit Aarumi terdengar seperti kalimat tanya, sejak kapan kakaknya itu memanggil Delshad dengan sebutan "mas".
Tanpa sepengetahuan Aarumi, pertanyaan barusan membuat Afifah sedikit salah tingkah.
"Ya ... semenjak kakak tahu kalo mas Delshad berusia lebih tua dari kakak. Jadi apa salahnya kalo kakak panggil mas? Hal itu biasa, kan? Jadi, kakak tolong kamu menjaga sikap dengan baik. Jangan melakukan perbuatan tidak sopan seperti waktu itu. Kamu mau lakukan ini demi kakak, kan?"
"Ya!" sahut Aarumi singkat.
Affifah menghela napas panjang memperhatikan adiknya yang tengah berpura-pura sibuk memasukan buku ke dalam tas pink miliknya. Afiffah tahu kalo sekarang Aarumi tengah kesal.
"Dek, maafin kakak ...." Seketika tangan Aarumi berhenti bergerak. "Lagi-lagi kakak buat kamu marah ... kakak tahu kalo—"
Aarumi berdecak keras.
"Apaan sih, Kak? Kenapa Kakak minta maaf ?" Aarumi sontan memutar bola matanya, jengah. "Kenapa Kakak suka banget buat Aarumi jadi kayak orang paling jahat sedunia? " ujar Aarumi dengan nada tinggi.
"Kakak minta maaf karena kakak salah. Kakak tahu, kalo selama ini kakak gak maksimal jadi kakak yang baik buat kamu... "
"Lagi! " Aarumi berseru lirih. "Lagi-lagi kalimat itu yang Kakak jadiin senjata buat nyerang Aarumi—"
"Kakak gak nyerang kamu," potong Afiffah cepat, berusaha menjelaskan kesalahpahaman Aarumi. "Cuma kakak satu-satunya yang kamu punya. Kakak seharusnya bisa jadi ibu dan ayah yang baik buat kamu. Tapi ...kakak terus gagal, kak gak becus—"
"Perlu kakak ingat, semua kenakalan, semua kesalahan dan apa pun itu yang Aarumi lakukan, itu semua tanggung jawab Aarumi bukan Kakak! Kakak gak perlu repot-repot ngambil alih semua itu!"
"Jika bukan kakak, lalu siapa lagi? "
Aarumi membuang wajah kesal. "Apa dosa Aarumi juga ingin Kakak ambil?"
Afiffah terdiam.
"Kenapa Kakak diam? Sekarang Kakak sadar, kalo gak semua hal bisa Kakak pertanggungjawaban, kan. Jadi berhenti buat terus-terusan mojokin Aarumi kayak gini, Kak!"
Aarumi yang kesal tanpa sengaja menjatuhkan beberapa lembar kertas hukuman di atas meja. Dari beberapa lembar kertas yang jatuh, ada satu sesuatu yang menarik perhatian Aarumi sebuah kertas berwarna orange terang.
"Aarumi, maafin kakak ...." Afiffah berusaha membantu Aarumi. Namun, Aarumi langsung menepis tangan Afiffah dengan cepat mengambil semua kertas yang berserakan termasuk kertas berwarna orange itu.
"Aarumi capek, Kak. Capek banget! " ujar Aarumi lirih, beranjak pergi sembari membawa kertas orange yang tadi ia terjatuh.
Setelah kemarahannya reda, Aarumi kembali teringat akan kertas berwarna orange itu.
"Kertas ini beneran ada, t-tapi tadi cuma mimpi, terus kenapa kertas ini ada ...." Seketika tubuh Aarumi terasa membeku. Aarumi kembali teringat akan kejadian di dalam mimpinya sebelum semuanya terlihat gelap.
"Gak mungkin ... gue gak mungkin ambil kertas ini dari dalam mimpi." Aarumi menggeleng keras saat praduga aneh bermunculan di kepalanya. Aarumi tidak sengaja membaca sebuah kalimat yang ditulis di ujung paling bawah kertas ini, 'hanya dengan cahaya, mata bisa melihat.'
"K-kenapa kertas ini bisa sama gue ? Apa jangan-jangan tadi bukan—"
Tenggorokan Aarumi seketika tercengat, tangan Aarumi tiba-tiba gemetar melihat kertas orange itu.