Surat Orange

1284 Words
"Assalamualaikum." "Astagfirullah!" Rasanya jantungku nyaris lepas dari tempat peraduannya. Sejenak aku merasa jantungku seperti berhenti berdetak sekitar lima detik, memang tidak lama, dan ini terdengar lebay. Tapi percayalah, aku benar-benar tidak bisa mentolerin suara berat dari arah belakangku itu. "Kenapa malah istigfar ?" tanyanya tanpa wajah bersalah sedikit pun. Aku mendesis keras. Senyum yang cowok itu pasang makin membuatku murka. "Ada jin soalnya," sahutku tajam, malas dan kesal sekaligus. "Ha?" Cowok menyebalkan yang Kak Afiffah panggil 'mas' itu, kini malah menatapku dengan raut wajah yang seketika berubah. Jangan bilang dia takut? Jika iya, aku sangat senang. Aku tersenyum puas. "Udah sana pergi, Jin! " "Jin? Saya? " Delshad malah menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah yang terlihat bodoh menurutku. Namun, herannya beberapa teman Kak Afiffah malah menganggap raut wajah itu sebagai raut polos dan lugu yang sudah jarang ditemukan pada lelaki. Aku muak. "Tunggu dulu, maksud kamu, saya jin? " Otaknya baru konek. Aku mendengus malas. Telat! "Ngapain kamu di sini? Gak baik bengong seperti tadi. Naudzubillah, kalo beneran ada jin nempel." "Bawel! Sok ngatur-ngatur, emang situ ibu gue?" sahutku tajam. Aku masih berharap cowok itu akhirnya menyerah, dan pergi, meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya soal kertas aneh itu. Namun yap, diluar dugaan dia masih bertahan di sana dalam jarak dua meter dari tempatku duduk. "Mau lo apa sih? Hukuman gue udah selesai ngapain lo di sini? Ganggu gue aja! " "Lebih baik kamu balik ke sekretariat AFM. kakak kamu pasti nyariin." "Bawel! "Aku berteriak kesal. "Mau lo apa sih?! " "Tempat ini, semakin sore, semakin sepi. Tidak baik ada di sini sendirian. Saya pergi, setelah kamu pergi." "Gue gak mau! " "Saya tetap di sini." "Pergi lo! " "Setelah kamu pergi," jeda Delshad tenang. "Aarumi," sambungnya. "Bacot lo! " Aku mendengus. Melangkah lebar-lebar meninggalkan Delshad yang hanya menunduk, memberikan jalan padaku. "Dek, kamu dari mana aja, kakak nyariin kamu dari tadi ..." Sudah aku duga, begitu aku sampai di ruangan sekretariat aku akan mendapati Kak Afiffah beruraian air mata menatapku, seolah aku anak hilang yang baru saja ditemukan dalam acara tali kasih yang ditonton banyak pasang mata yang kini menatapku penuh tuntunan. Aku harus apa? Menyambut peluk hangat Kak Afiffah sembari ikut menangis juga? Jangan harap aku akan melakukan itu. "Kak, jangan lebay deh." Tatapan mata orang-orang di belakang Kak Afiffah langsung berubah membesar, d**a mereka menaik dan mulut mereka sedikit terbuka. Aku menyebutnya sebagai fenomena bengek berjamaah. "Kamu masih marah sama kakak? " Kenapa bahas itu lagi? Aku spontan memutar bola mata. "Jawaban jujur, ya. Jawaban bohong, gak." "Dek, maaf—" "Kak, Aarumi pulang dulu ya ...." Aku berbalik, sembari melambaikan tangan. "Dek, tunggu ...." Tidak lama suara Kak Afiffah terdengar mengejarku. Aku sengaja tidak memperlambat atau mempercepat langkahku. "Dek, lebih baik kita pulang bareng," ujar Kak Afiffah dengan napas sedikit berantakan. "Dek, tunggu dulu ...." Tiba-tiba KaK Afiffah menahan lenganku. Aku menoleh, reflek mengikuti arah pandang KaK Afiffah. "Ngapain nungguin tuh cowok? " Kak Affifah kembali melirikku dengan mata tidak suka itu. "Ya, maksud Aarumi, 'mas' Delshad," ralatku yang sengaja membuat suara mas terdengar sedikit aneh, sebagai bentuk protes. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Mas." Basa-basi menyebalkan. "Jadi apa inti pertemuan ini? "ujarku dengan nada formal sebagai sindiran. Kak Afiffah kembali menoleh, tapi kali ini aku tidak akan setuju dengan raut tidak sukanya. Aku balas dengan wajah datar dan polos, setidaknya menurutku. Delshad berdeham pelan, membuyarkan dialog tanpa kata yang sedang berlangsung antara aku dan Kak Aarumi. "Sebenarnya, saya hanya ingin menyampaikan dua hal. Pertama saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah memberi hukuman tadi. Saya berharap hukuman itu memberi manfaat untuk kamu dan yang kedua saya mau—" "Bisa dicepetin gak sih ngomongnya?" potongku. "Dek," tegur Kak Afiffah cepat. "Ini." Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Sebagai ucapan terima kasih atas keseriusan kamu mengerjakan hukuman yang saya berikan." "Apa nih? Racun ya?" "Dek—" "Astagfirullah ..." Delshad menggeleng pelan. "Insyallah ini aman. Cokelat ini saya beli di toko kue dekat kampus. Saya sering beli di sana," sambung Delshad cepat sebelum Kak Afiffah ambil suara untuk memarahiku. Aku masih setia memasang wajah tidak percaya, bahkan aku membiarkan tas kertas itu mengantung begitu saja. "Dek ...." Kak Afiffah tiba-tiba menyentuh lembut tanganku, yang ketahui maksudnya sebagai teguran untuk tidak menolak sekasar itu. "Terima kasih atas pemberiannya, tapi saya tidak berkenan untuk mengambilnya," ucapku dengan nada sopan sekali. "Dek ...." Lagi Kak Afiffah menatapku. "Udah sopan banget tahu, Kak. Apa lagi yang kurang? Intinya, Aarumi gak mau. Takut ternyata ada racunnya. Kita gak tahy isi kepala orang. Orang bijak bilang rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala siapa yang tahu." "Untuk menghindari rasa curiga kamu, saya izin untuk membuktinya." Delshad mematahkan satu potong cokelat. "Sudah saya makan. Sekarang kamu percaya kalo di dalam cokelat ini gak racun." "Anak SD juga tahu kali, efek racun gak langsung gitu aja. Butuh proses, mungkin sejam baru mati—" "Dek! " Kali ini Kak Afiffah melotot tajam. Aku tidak takut sebenarnya, tapi aku terikat aturan tidak tertulis yang berlaku bagi seluruh adik di seluruh dunia, patuh pada kakak. "Iya, ya ...." sahutku cepat. "Sini cokelatnya." Aku langsung mengambil paper bag kertas seraya mengatakan thanks dengan nada ketus. "Sekarang apa lagi? Kenapa belum pergi juga? Apa ada yang ingin disampaikan kembali paduka raja? " sindiriku tajam. "Oke, fine, biar gue yang pergi duluan." Aku sengaja tidak meraih lengan Kak Afiffah, ya, karena kutahu, Kakakku yang penuh sopan santun dan baik hati itu, tidak akan tega berbuat tidak sopan pada siapa pun. "Dek, tunggu dulu. Ada yang mau Delshad berikan." "Ck! Apa? "Aku nyaris berteriak ke arah Delshad yang sekarang tengah sibuk mengobok-obok tasnya. "Buruan ih! " "Dek ...." "Ya Allah, ternyata terselip di sini." Delshad mengeluarkan secarik kertas orange yang membuatku seketika mengangga. Aku dengan cepat langsung merebut kertas itu. Nyaris kertas itu robek akibat ulah konyolku barusan. "Dek ...." Suara teguran Kak Affifah mengiringi degub cepat jantungku. "Lo—, mas, Anda, dapat dari mana kertas ini? " "Jatuh di taman tadi." "Lo baca isi kertas ini! Jawab! Baca atau gak!" Aku tidak lagi menghiraukan tatapan protes Kak Afiffah yang tidak suka aku memanggil Delshad dengan sebutan 'Lo'. "Maaf, saya gak sengaja baca." "Sial! "Aku tanpa sengaja mengumpat. Kak Afiffah refleks langsung menepuk punggung tanganku. Aku meringgis kaget. "Dek, sudah berapa kali kakak bilang, jangan mengatakan kata-kata u*****n seperti itu. Itu gak baik," ujar Kak Afiffah. "Kali ini bukan salah Aarumi, Kak. Dia yang sudah lancang baca surat Aarumi! " "Memangnya apa isi surat itu, sampai kamu marah begini? " Aku terdiam. "Sebentar lagi magrib. Ada baiknya salat magrib dulu saja di masjid kampus. Biasanya jam segini, angkutan umum jarang lewat dan macet," ujar Delshad memecahkan keheningan. "Iya, benar, lebih baik kita salat dulu." Kak Afiffah teralihkan dari menanti jawabanku. Meski kali ini Delshad membantuku, aku tetap tidak akan berterima kasih padanya. Selesai salat, aku buru-buru mengajak Kak Affifah segera pulang agar tidak bertemu Delshad, tapi naas, di perkarangan masjid, beberapa teman Kak Afiffah mengajak mengobrol dan tidak lama Delshad keluar dari pintu masjid. Aku segera membuang wajah, berharap dia tidak lagi menyapa. Doaku terkabul. Delshad lewat begitu saja, meraih sepatunya, mengenakannya lalu mengobrol dengan beberapa teman yang menyapanya. Selamat ... aku menghela napas lega. Aku hanya perlu menunggu Kak Afiffah. Sebelum itu, aku segera mengambil sepatuku di rak depan. "Itu bukan kertas biasa. Arti pesan itu, jika ingin membacanya kamu bisa membacanya dari pantulan cahaya lilin atau pantulan cahaya api," ujar suara dari belakang punggungku. Ya, tentu saja itu suara berat itu miliki Delsahad. "Tahu dari mana lo?" "Pernah liat di film," sahutnya singkat. "Thanks." Kali ini aku mengatakan dengan sedikit mengurangi kadar jutek. Aku akan mencobanya sepulang ke rumah. Sebenarnya apa isi pesan yang ada di kertas itu? Dan siapa pengirimnya? **

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD