8. Hello, Bos ... Devil

1341 Words
Kala kembali ke ruangan sembari menghembuskan nafas lelah. Dia mendongakkan kepala di sandaran sofa. Juga memukul-mukul kening pakai kepalan tangannya. Vanilla sendiri berjinjit masuk ke area kerja. Dia tahu ... Kala sedang badmood dan rasanya Vanilla gak mau mengganggu lelaki muda itu kalau gak mau dapat intruksi yang aneh-aneh. "Ahk, selamat, selamat. Hari ini aku gak boleh buat Pak Bos marah. Kalau gak mau dikasih kerjaan kayak Pak Justin." Vanilla mewanti dirinya sendiri. Sesaat dia justru kasihan pada Justin. "Eeh ... apa aku boleh seneng kayak gini. Tadi itu kan seharusnya pekerjaan aku. Malah dilimpahkan ke Pak Justin. Kayaknya aku harus bantu dia deh," lanjut Vanilla tidak enak. Tiba-tiba saja seorang gadis muda datang. Dia terlihat begitu anggun. Sekali lihat, Vanilla tahu berapa harga dari gaun selutut yang menaungi tubuh sang gadis juga tas kecil warna hitam yang ia jinjing di sisi tubuhnya. Vaniila jadi memegangi dadanya. Gaun terakota itu kan yang pernah dipakai artis korea ternama. Sialnya gadis itu juga sangat pantas memakainya. Otomatis tampilan gadis itu membuat Vanilla sesaat merasa kerdil. Vanilla mengecek tampilan. Blazer ungu muda yang beberapa kali dia pakai karena tidak ada lagi baju kerja. "Selamat siang." Alinea menyapa Vanilla selaku sekretaris adiknya. Sedetik-dua detik berjalan Vanilla tidak menyaut. Dia bahkan terangga lebar, hampir air liurnya jatuh. 'Sumpah cantik banget.' Bahkan dia yang sesama wanita saja mengakui itu. Vaniila sedang meruntuki konstruksi wajah Alinea yang begitu sempurna. Apalagi ketika gadis itu tersenyum. Menampilkan lesung pipi di kedua sisi. "Permisi, Mbak ... ." Alinea mengulangi sapaan. Kali ini ditambah kekehan. Lucu sekali sekretaris Kala. Persis seperti Kala yang selalu imut di mata Alin. "Pak Kala ada?" Ketika Alinea menyebut nama Kala, Vanilla langsung tertarik kembali kekenyataan. Apa, dia cari Kala, sang direktur. Tapi dia siapa? Gak mungkin rekan bisnis. Dalam janji temu Kala yang Vanilla susun tidak ada tuh agenda bertemu klien atau semacamnya. Apa jangan-jangan dia ke sini untuk urusan pribadi. "Kala? Pak Kala?" Vanilla mengulang-ulang nama Kala seakan sulit dia cerna. Alinea hanya bisa mengangguk. Sungguh tipekal orang penyabar, Vanila berdiri dengan semangat. "Ada. Pak Kala ada!" Sisi hati gembira karena Kala tidak seperti yang dia kira. Buktinya ada gadis cantik mencari Kala. Tapi sisi lain ikut kecewa. Kalau gini mah gak ada kesempatan untuk dia mendapatkan lahan basah-pewaris tahta-cerdas paling penting sangat tampan itu-berpotensi jadi miliknya. Soal kelakuan Kala yang kadang nyebelin. Itu disingkirkan dulu,ya dari khayalan Vanilla. Alinea mengangguk. Lantas ijin ke ruangan Kala sendiri tanpa ditemani Vanilla "Dik," seru Alin. Kala yang sedang termenung jadi berdiri dari duduk. "Kak." Kala merentangkan tangan. Berniat memeluk kakaknya erat. Pun dengan Alinea, dia segera membaur dalam dekapan Kala. "Gimana kerja di pabrik papa. Seru?" Tangannya merangkul pinggul Kala. Sedang Kala meletakkan lengan di bahu Alinea. "Yah gitu Kak ... ." Kala berkata lirih. Dia jadi menjatuhkan diri di kursi kebesarannya diikuti Alinea duduk di meja menghadap Kala. Tangannya mengelus sisi pipi Kala. Kasihan dengan adiknya yang terlihat lelah. "Jangan terlalu capek. Nanti kamu bisa-bisa keriput lho, Dik." Waktu yang sama Vanilla datang dengan dua gelas cangkir kopi. Karena membawa nampan, Vanilla tidak mengetuk pintu dulu dan sekarang dia harus dihadapi tatapan nyalang Kala dan Alinea seakan mengatakan perbuatannya itu menggangu dua insan saling berpacaran. "Maaf, Pak. Saya cuma mau antar kopi." Vanilla terus merunduk. Dalam hati dia mengutuk keinisiatifannya sendiri. Yah ... memang setiap ada tamu. Dia sesekali diminta buatkan kopi tapi tadi Kala tidak minta. Kala juga melirik sinis ke kopi yang Vanilla letakkan di meja. Tunggu jangan-jangan itu kopi keasinan lagi. Gak, kakak gak boleh minum itu. batin Kala semangat. "Ahk, makasih," balas Alinea menoleh juga mau turun dari meja tapi Kala menahan lengan kakaknya. Pemuda itu menggeleng. Vanilla yang di tengah ruangan jadi berdehem. Ooh ... kayak gitu caranya. Waktu pacarnya datang terus gak dibolehin menjauh secenti pun. Cuiiih... Dia pikir keren apa? Gak? Malah cuma bikin iri jomblo tauk. Yang tak lain jomblonya dia sendiri. Hikkss! Cu... rang! "Jangan, Kak. Nanti aku buatkan lagi aja buat kamu." Ucapan Kala begitu menyinggung Vanilla. Sudah sukur dibuatin ini malah. Arrgghh!! Vanilla seperti ini karena tidak tahu Kala pernah merasakan kopi keasinan itu hingga Kala trauma. "Dik, jangan kayak gitu." Alinea mencoba menasehati Kala. Rasanya Vanilla mau muntah di tempat. Satu panggil Kak. Satu panggil Dik. Gak ada panggilan sayang lain apa. Aki-Nini mungkin? Kala terlihat berat menyetujui ucapan Alinea, terutama si sumber masalahnya masih ada di sini. Akhirnya Kala meminta Vanilla pergi dulu. "Terima kasih Vani, sekarang Kamu bisa pergi." Kala menggoyangkan tangan memberi kode agar Vanilla menarik diri. Vanilla berjalan hampa, tapi satu yang dia sadari. Kala bisa memanggil namanya betulan waktu ada pacarannya. Jadi selama ini kenapa gak bisa? Cialaan!! Setelah Vanilla pergi, Alinea mulai menyelidiki Kala. "Kamu kenapa, sih ubur-ubur. Ketus amat?" "Huuh!" Hembusan nafas keluar dari bibirnya. "Kakak gak tahu,ya. Kalau dia pernah kasih aku kopi keasinan." Alinea tertawa keras. Dia gak sangka ada yang berani sama adiknya yang super lurus itu selain dia. "Terus kamu minum?" "Dikit," Kala menjawab pelan. "Yah berarti kamu suka," sahut Alinea lagi. "Suka apa, Kak?" Kala menyeritkan alis. Mungkin kurang tidur yang membuat Kala lemot. "Suka sama kopinya. Suka sama orangnya," cecar Alinea meruntutkan semua sembari tersenyum simpul. Kala memasang wajah tidak setuju. Seakan semua begitu mustahil. Dia yang paling tau apa yang diinginkan hatinya. Tidak mungkin Kala bisa mencintai orang lain saat dirinya masih menunggu seorang gadis. "... Kakak bahkan tau, kalau itu gak mungkin terjadi." Tetapi Alinea mengidikkan bahu. "Kamu tahu. Kebanyakan cinta biasanya berawal dari rasa benci tauk," bisik Alinea membuat Kala menggeleng. "Kakak kan tahu kan perasaan aku." Kala memegang dagu seolah menerawang bayang seorang gadis yang pernah dia kenal sebelum pergi ke luar negeri. Yah ... meski cukup singkat. Tetapi selalu terpatri erat di hati. Menjadikan dia lelaki yang payah akan cinta. Bagaimana tidak disebut begitu. Sebanyak apapun wanita cantik disekelilingnya, Kala cuma mengingat wanita yang pernah menolongnya di kebun vanilla. "Yah. Tapi kamu juga harus sadar, kita bahkan sudah mencarinya lama, Dik. Tapi gak ketemu juga," beber Alinea supaya Kala paham. Selamanya cinta tidak bisa dipaksakan. Di sini adiknya menunggu, gimana kalau ternyata orang yang dinanti sudah menikah. Apa Kala akan patah hati? Dan Alinea tidak mau Kala melewati itu. Kala menyertikan alis. "Kakak kenapa manggil aku Dika lagi sih?" Tiba-tiba dia merasa terganggu. Kala memasang raut tak senang. Baginya ... nama itu membawanya dalam kenangan buruk termasuk ditinggal cinta pertamanya. Alinea hanya terkekeh mendengar suara judes Kala. "Udah ... Udah ... kamu kalau manyun gitu terus yang ada anak buah kamu pada takut. Tadi itu siapa? Tuh! Dia aja takut sama kamu." Alinea mendorong bahu Kala dengan telunjuknya. Kala mencibik seraya menjawab ogah-ogahan. "Vanilla," ucapnya. Alinea menerawang dalam hati. 'Vanilla. Kayaknya aku pernah ketemu dia tapi bukan di sini.' * Alinea keluar, dia menajamkan mata dan telinga ketika tidak sengaja mendengar gerutuan Vanilla. "Kak. Biar aku aja yang buat kopi kamu. Iddiiih! Dia fikir aku mau racunin pacarnya apa!?" Vanilla mengulang dialog Kala. Pun ditambah cibiran serta tatapan meremehkan. Karena itu Alinea tersenyum miring. Tuhkan! Ada yang kesal. Alinea sudah ada di depan Vanilla. Dia berdiri tanpa menegur. "Eh," Vanilla segera menutup wajahnya. Malu hati karena masih mengatai Kala yang tidak-tidak. "Yang pertama. Kala tidak pernah menganggap kamu mau meracuni saya." Dia menjelaskan. Sudah kewajiban dia membela Kala disaat ada yang menghina. Vanilla membelalakkan mata. Tuhkan tamunya ini dengar semua. Selamat tinggal karier, selamat tinggal kursi empuk terutama nominal gaji yang masuk tiap akhir bulan. Aahk ... . Kepala Vanilla jadi tertunduk. Alinea menyadari jika Vanilla menyesal mengatakan itu. Apalagi Vanilla mengatakan permohonan maaf meski terbata. "Maaf, Bu. Saya salah." Setidaknya dia tidak membela diri mati-matian dan malah mengakui kesalahan. Jiwa besar hati itu membuat Alinea kagum pada Vanilla. "Dan satu lagi. Dia bukan pacar saya. Pak Kala itu adik lelaki saya." Alinea tersenyum bangga. Tetapi Vanilla membulatkan mata. "Adik!" Kutip Vanilla. Bodoh sekali kenapa tidak terpikirkan ... kalau panggilan tadi betulan. Maksudnya, dalam makna sebenarnya. Yah, adik-kakak. "Iyah. Kala adik saya. Selama ini dia bersikap imut kan?" Kini Vanilla hanya bisa tertawa sumbang. "Hahaha ... hahaha ... imut,ya." 'Imut dari Hongkong,' runtuk Vanilla dalam hati
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD