"Pak. Jangan karena Bima kerja sama Bapak. Jadi Bapak gak tega sama dia."
Vanilla menolak dengan nada lemah di akhir kalimat. Dia merasa kata-katanya ada yang aneh ... memangnya ada apa dengan profesi satu tim dengan Kala.
Bukankah malah seharusnya orang yang diposisikan di tempat itu bekerja lebih giat dan harus mumpuni di segala lini. Tapi Vanilla juga gak bisa bilang, jangan karena ada hubungan specail sama Bima, Kala jadi baik padanya.
Tidak! Vanilla masih belum rela mengakuinya. Terlebih, Vanilla tidak sebodoh itu sampai membicarakan aib bosnya sendiri di depan orangnya.
Dia masih butuh makan.
Jadi walau seburuk apapun prilaku si Bos, Vanilla berusaha menutup mata. Hanya ... mencoba tidak ikut campur dan bukan berarti menyetujuinya.
Vanilla bahkan masih berharap, Kala punya seorang gadis yang dia sukai. Syukur-syukur gadisnya itu dirinya sendiri.
Kala menunggu lagi alibi yang mau Vanilla ucapkan karena dia terlihat mencoba menahan ucapannya. Berkali-kali Vanilla membuka mulut tapi akhirnya ditutup kembali lengkap wajahnya terlihat tersiksa.
"Kamu mau ngomong lagi?" selidik Kala dengan mata menyipit curiga. Jika Vanilla sudah selesai, dia akan menjelaskan sampai mana Vanilla diminta terlibat dalam pengadaan seragam baru.
Kala cukup tahu, Vanilla banyak kerjaan. Mungkin dia hanya butuh Vanilla membantu memilihkan design.
"Ya udah deh ... ."
Vanilla memekik seraya menaiki tangan. Oke, dia kerjakan semua. Semuanya asal Mr. Perfect senang. Puaskan! Lagipula Vanilla mau menjauhkan Bima dari Kala. Dia gak ikhlas Kala dimiliki Bima. Di dunia ini masih banyak cewek cantik. Contohnya dirinya.
"Ya sudah kalau kamu sanggup."
Tentunya Kala tidak akan menyiakan kesempatan, bukan? Dia berdiri, sebentar saja melirik ke arah Vanilla dan Bima.
"Kalian tunggu apa? Sudah keluar, mau lihat saya pakai baju!?"
Dipikir ada pembagian sembako apa sampai keduanya tetap ada di sana.
Mata Kala memincing waspada. Lantas Kala kembali duduk di bangkunya sembari mengerjakan pekerjaannya kembali.
Vanilla segera berdiri dilengkapi gerutuan dalam hati.
'Yee, tadi buka baju juga di depan kita. Bilang aja cuma mau dilihat sama Pak Bima.'
Sebelum keluar, Vanilla berniat merapikan ruangan Kala, sehingga dia berjalan ke belakang Kala untuk mengambil baju dan jas lama yang tergeletak di sisi kursi.
Sedang Bima sudah tidak ada di ruangan Kala. Cowok itu pas disuruh pergi langsung ngibrit lari setara kecepatan angin kington.
'Eh!' Tiba-tiba Vanilla sadar. Kenapa dia gak keluar. Kenapa malah mengurusi baju Kala. Tapi kalau dia kembali melempar jasnya di pegangan bangku yang ada Kala curiga.
"Iiihh ... ."
Vanilla mengeratkan gigi. Dari belakang dia berniat memukul kepala Kala. Tentunya dia juga berjaga agar perbuatannya tidak terekam CCTV.
"Kamu ngapain?"
Kala menoleh ke arahnya. Gak melihat bukan berarti Kala gak merasa dari tadi ada aura kebencian yang hadir dari tatapan Vanilla.
"Ahk, enggak, Pak. Itu CCTV. Bagus,ya, Pak." Sejak kapan Vanilla menganggumi benda bulat itu. Apa dia pikir, fungsi kamera CCTV juga sebagai penghias ruangan. Kala mengangguk saja, benaknya jadi berpikir.
Sepertinya Nona Essence memang butuh healing. Namun, satu yang Kala sadari ... dia bisa tahu apa yang terjadi tadi di dalam ruangan Justin dengan mengecek CCTV ruangan. Dia tersenyum karena Vanilla memberikannya ide.
"Kamu benar."
Kala bergumam untuk fikirannya itu. Senyum tampan juga nampak di wajahnya. Pun sedikit kelegaan terlihat dari raut Vanilla.
Dia sebenarnya ingin bertanya konteks benar yang Kala ucapkan. Tapi Vanilla lebih dulu mau menyelamatkan kebohongannya. Lebih baik tidak perlu memerdulikan apapun yang Kala idekan, daripada lelaki itu sadar kalau tadi dia sempat ingin memukul kepala Kala dari belakang.
"Ya, Pak. CCTV- nya gak usah diperiksa. Dipajang saja di sana," katanya lagi meyakinkan agar Kala tidak membahas lagi. Kala mengangguk, dia malah memekik.
"Ikut saya!"
Lelaki itu berdiri lebih dulu. Semakin ketar-ketirlah Vanilla. Kenapa sih dia selalu saja punya fikiran mau celakai Kala. Habis itu baru menyesal. Memangnya enak, jantung serasa diremas-remas karena takut ketahuan. Makanya kalau punya hati sama otak disingkronkan dong!
Vanilla cuma bisa merapal doa. Agar langkah Kala tidak terbawa ke ruangan control CCTV. Tapi ternyata anggapannya salah. Kala mengajak Vanilla ke tempat Justin.
Vanilla tercenang. Dia sebenarnya jarang ke bagian manajemen yang di lantai delapan apalagi dia tidak bekerja di bawah Justin.
"Eeh, Kala," pekik Justin sumbringah. Hari ini dua kali dirinya dicari oleh pemimpin utama perusahaan ini. Apalagi alasannya kalau bukan karena dirinya begitu dibutuhkan perusahaan. Dia juga memperlihatkan keakraban dengan Kala. Semata agar karyawan lain tahu, sampai mana kualitasnya.
Justin melirik bangga ke semua orang yang kini diam-diam mencuri pandang padanya.
"Saya sudah katakan. Jangan memanggil saya dengan panggilan lain selain Pak." Kala memerintah dengan tenang. Namun, karena tempat itu sepi suara tegasnya pasti bisa terdengar ke seluruh ruangan. Justin kembali melirik. Kali ini dengan perasaan sedikit malu.
"Ah,ya. Pak Kala," kutipnya. Dia menatap Vanilla yang ada di belakang Kala.
Imut, dia menyukai gadis 20 tahun itu. Mungkin setelah nanti bosan dengan Melinda, Justin bisa bermain-main dengan Vanilla sekalian mencari celah untuk menjatuhkan Kala. Tidak sulit, gadis belia macam Vanilla pasti akan bertekuk lutut dengan pesonanya.
"Sebenarnya saya bukan butuh dengan Anda. Saya mau keruangan Anda karena ada yang ingin saya periksa. Sekretaris, tolong panggilkan tim IT."
Untuk pemeriksaan CCTV bisa dilakukan di mana pun asalkan dengan bantuan IT.
Baik Vanilla dan Justin terhenyak. Mereka berfikir untuk apa tim IT didatangkan. Karena itu juga, Vanilla tidak beranjak secenti pun meski sudah diperintah.
"Saya mau cek CCTV di ruangan Pak Justin," terang Kala menatap kebingungan di raut Vanilla.
"Apa?"
Tentunya Justin kaget dengan pernyataan Kala. Ia mengepal tangan. Sialan! Anak muda ini benar-benar harus disingkirkan. Namun, sesaat Justin tertawa.
"Pak Kala. Apa yang mau diperiksa. Ruangan saya tidak ada CCTV."
Memang Justin yang memintanya untuk melepaskan benda itu dari sudut ruang. Pengakuan yang membuat Kala menarik nafas dalam.
Dia bukan tipe orang yang akan terus tersenyum serta memaklumi semua kesalahan. Tapi bisa dipastikan, Kala tidak suka mengumbar emosi di depan orang banyak. Lebih baik dia mengumpat dalam hati daripada terlihat tidak perfeksionis.
"Sejak kapan?"
Tidak ada lagi keramahan dari suaranya. Bahkan semua orang yang mendengar bisa tahu jika kedua pemimpin itu sedang bersitegang satu sama lain.
Sisi Justin sama sekali merasa tidak peduli dengan desakkan Kala. Justin masih berpikir ... dia begitu bermanfaat sampai apapun ulahnya nanti semua akan diterima oleh Adikara, suka atau tidak suka.
"Ya, sejak kapan,ya. Cantik ... kamu tahu gak sejak kapan?"
Justin sengaja bersikap tak acuh sambil memasukkan tangan di kantung celana. Bahkan Vanilla yang diajak bicara melengos ke kiri. Dia pun merasa Justin sedikit keterlaluan. Tidak marah bukan berarti Kala tidak punya emosi. Terpenting, Vanilla tidak suka dibawa-bawa dalam urusan orang lain.
Dan bukan Kala jika dia tidak mampu membalas dengan caranya.
"Well. Mulai sekarang ruangan anda akan kami pasang CCTV lengkap dengan alat perekamnya."
Setidaknya dia bukan pengecut bertindak di belakang. Perlahan Kala mendekatkan dirinya ke Justin.
"Sebaiknya anda segera merapikan laporan bulanan sebelum saya menghantui anda dengan pertanyaan-pertanyaan."
Setelah berdesis seperti itu Kala menatap Justin dengan nyalang.
"Anda pikir saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Bu Melinda. Pipinya ada bekas cetakkan jari. Gak mungkin kan dia mencengkram rahangnya sendiri?"
Justin tidak mampu menjawab. Hanya kepalan tangan seakan siap meninju Kala.
"Itu tidak ada hubungannya dengan saya atau pun Anda, Pak Kala yang terhormat."
Justin menjawab penuh kebencian. Ditanggapi Kala hanya lewat senyum tipis.
"Dan perlu anda tahu. Saya akan mengusut secara tuntas masalah ini. Apabila anda terbukti. Seperti yang anda tahu ... Adikira tidak segan-segan memecat pelaku kekerasan. Satu lagi, perlu anda catat. Anda tidak begitu bernilai untuk Adikara itu sendiri."
Kata-kata nyalang itu hanya dia tunjukkan ke Justin. Sesudahnya Kala berniat pergi. Mungkin misinya kali ini tidak berhasil tapi bukan berarti Kala menyerah semudah itu.
Vanilla jadi mengekor di belakangnya persis anak itik. Sampai saat Kala berbalik. Vanilla ikut berbalik membuatnya menubruk punggung Kala. Gegas Vanilla mundur seraya memegang hidungnya yang sakit.
'Duh ... mau belok bilang-bilang kek!' ucapnya dalam hati.
"Ahk," Kala berbalik, matanya melirik Vanilla. Meski dia dalam keadaan marah tapi juga mau melihat nasib sekretarisnya, dan mungkin itu kelebihannya. Kala orang yang amat peduli dengan sekitar.
Setelah yakin Vanilla baik-baik saja setelah tertubruk dirinya. Kala lanjut menatap Justin.
"Apa?" Justin tidak mau berbasa-basi lagi. Dia juga ketus ke Kala.
"Tadinya saya ada satu pekerjaan untuk Nona ini. Tapi saya rasa pekerjaan ini lebih layak untuk Anda."
Kala selalu punya ide waktu melihat Vanilla. Mungkin tampang gadis itu seperti papan petunjuk untuk Kala.
"Apa itu?" gumam Justin kali ini lebih lemah.
Kala menjelaskan tentang rencananya. Mungkin Justin juga tahu design seragam saat ini sudah dipakai selama 5 tahun dan Kala bilang dia ingin me'refresh tampilan. Sementara tugas Justin mengumpulkan semua data yang dibutuhkan. Tidak sulit, bukan? Lagipula ... selain menandatangi berkas. Justin tidak punya kesibukkan lain.
"Jadi saya mau anda mengumpulkan semua ukuran baju terupdate dari para buruh."
Justin tertawa karena kelakuan Kala. Tolong jangan konyol. Itu bukanlah pekerjaannya. Tapi sebelum Justin memberikan interupsi Kala segera berkata kembali.
"Anda kan yang memasukkan 2000 orang tenaga baru selama beberapa tahun ini. Tentunya anda juga ingin akrab dengan para buruh. Saya hanya meminta anda mengumpulkan data ukuran. Anda bisa mulai siang ini dan lusa saya sudah mendapatkan hasil."
Justin sudah membuatnya marah. Dan inilah hasil dari amarah yang sengaja Justin korek dalam diri Kala.
Makan tuh belagu!