Protective Bos

1744 Words
Karena Vanilla tertawa saja. Alinea memutuskan melanjutkan langkahnya untuk pulang. Vanilla yang baru sadar jadi mencari sosok Alinea yang perlahan menghilang. Dia sampai menggigiti kukunya, takut Alinea marah. 'Ah apalagi dia tau ... aku sempet ngatain dia juga. Bisa-bisa aku betulan dipecat.' Vanilla teriang kejadian usang ... Entah mengapa keyakinan yang semula menjulang kini cepat tergerus dengan satu fakta. Adik-Kakak, yah ... Hubungan Kala dan Alinea seperti itu. Jadi, satu jam sebelumnya. "Iih. Sebel!" Vanilla menjatuhkan diri di kursi cukup keras setelah dia memberikan kopi ke Kala dan tamunya. Tidak laka dari itu, kedua orang sumber kekesalannya keluar. "Kita sekalian makan di cafe bawah. Oh,ya ... Kak Alin juga bisa ngopi di sana. Kopinya enak banget." Kala memberikan rekomendasi pada Alinea dengan semangat. Tanpa sengaja terdengar Vanilla, dia semakin kesal. 'Pasti kopi buatan aku gak diminum,' ujar Vanilla dalam hati. "Sekretaris kamu?" Alinea menunjuk Vanilla Tidak disangka dia mencemaskan Vanilla. Jika mereka turun ke Cafe, Vanilla sama siapa. Di lantai 11 ini cuma ada ruangan Kala dan Vanilla. Kala melihat ke arah Vanilla. Tepatnya dengan Alinea juga, seolah Vanilla penganggu. Tatapan itu ... aura tegas juga menghantam dimiliki Kala dan Alinea. Tidak heran, mereka kan orang kaya sejak lahir. Melihat saja sudah bisa tau, kekuatan apa yang mereka punya. Vanilla yang masih tau posisi bilang, "Oh ... saya gak usah. Saya bisa minum kopi yang dibuat di pantry." Sembari menekan kalimat akhirnya bermaksud menyindir. Sayangnya ... Kala seolah tidak peduli. Dia merangkul Alinea di depan Vanilla. Detik itu, Vanilla paham ... Kala suka dengan wanita berkelas dan dewasa seperti Alinea. Dia terluka dengan fakta itu tapi cukup bersyukur, dugaan Kala tertarik dengan seksama setidaknya sudah tergantikan. 'Kemarin cowok ... sekarang dengan wanita yang lebih tua. Apapun pilihannya, aku gak pernah ada di sana.' Vanilla tertunduk lesu. Sekarang dia tau siapa Alinea. Vanilla bahagia Alinea bukan rival. Cukup sulit melawan wanita seanggun Alinea. Hampir saja Vanilla menyerah ... . ' ... tinggal meyakinkan saja, apa Pak Kala betulan suka sesama atau-' Tiba-tiba saja Kala membuka pintu ruangan. Dia sudah kembali dari cafe Kala tidak memesan kopi karena dia mau meminum kopi buatan Vanilla. Untungnya tidak keasinan lagi. Hanya ... Kala tidak bisa mempertaruhkan lidah kakaknya. Jadi, buat Alinea ... Kala membelikan kopi buatan cafe. "Kakak saya mana?" Kala celingukkan. Dia kira, Alinea masih di sini. "Udah pulang, Pak," jawab Vanilla ragu. Gara-gara Alinea terlalu cantik dan gara-gara dia melamun sampai Vanilla tidak sadar Alinea sudah tidak ada. Kala berjalan mendekati Vanilla. "Tadi kamu ngobrol sama kakak saya,ya?" Tatapannya terlihat waspada. Eh, apa ini. Emangnya dia gak boleh bicara sama Alinea. Begini amat Ya Allah jadi karyawan kecil. Merana! Merana! "I-iyah, Pak." Vanilla menjawab lirih. Kala cuma mengangguk lantas berniat kembali ke ruangan. 'Ini nih! Gak kakak, gak adek sama aja. Kayak jelangkung! Datang tak dijemput. Pulang gak diantar.' Kala membuka ruangannya lagi. Sumpah Kala horor sekali. Vanilla sampai mengurut d**a. "Oh,ya ... kayaknya nanti sore saya harus ketemu sama beberapa vendor di hotel A. Kamu bisa tolong kasih tahu Bima untuk siap-siap." 'Apa? Hotel sama Bima!?' Vanilla bisa merasakan sinyal bahaya "Pak, gimana kalau sama saya saja." Tanpa sadar Vanilla menawarkan diri. Kala terlihat kaget namun detik kemudian menyetujui saran Vanilla. "Baiklah. Sekalian minta kan data ke Pak Justin. Saya mau sebagian data seragam dia serahkan hari ini ke saya." Kala tidak main-main. Sekali marah, dirinya akan mengejar orang tersebut sampai titik darah penghabisan. Yah bisa dikatakan dia tangguh untuk balas dendam. "Baik, Pak. Siang ini saya ke ruangan Pak Justin." Vanilla sendiri merasa jengkel dengan perintah Kala itu. Dia diminta nagih kerjaan Pak Justin. Gak salah? Sayangnya Vanilla cuma karyawan biasa yang harus mengikuti perintah atasan. * Siang ini Vanilla datang ke ruangan Justin. Pria itu sedang mengangkat kaki sembari tertawa memperhatikan benda pipih di tangan. Vanilla mengetuk ruangan Justin lemah. "Masuk!" Justin berkata dengan nada ketus. Tetapi waktu lihat Vanilla yang datang, pria itu langsung tersenyum sumbringah. "Kau cantik. Ada apa datang ke sini?" Justin menghampiri Vanilla. Tidak bisa dibohongi kini Justin menatap Vanilla dengan tatapan beringas. Vanila memegangi lengannya spontan. Tiba-tiba dia ingat cerita Melinda dan rekan lain yang beredar dari mulut ke mulut. Meski berusaha ditutupi tetapi semua ini sudah jadi rahasia umum kalau Justin suka menggoda karyawan perempuan. 'Ah, sial.' Kenapa Vanilla baru sadar. Mengapa cuma karena sikap baik dan tampilan rapi Justin, Vanilla bisa terkecoh. Vanilla akhirnya memilih berdiri di ambang pintu. Justin sendiri semakin mendekat. Dia juga meletakkan lengan besarnya di tembok samping Vanilla. "Jadi urusan apa yang membuatmu kemari?" "Eemm ... itu, Pak Kala meminta hasil laporan pekerjaan Bapak. Bisa saya minta sekarang!" Vanilla menaiki dagu juga lebih menyingkir. Justin terlihat kesal karena lagi-lagi si Kala itu. Ia tertawa konyol. 'Eh,' Vanilla tidak tahu kenapa atasannya itu tertawa. sesaat Justin malah memasang wajah sendu. "Kau bahkan tahu, aku sibuk dan kalau aku menanyakan ukuran tubuh para buruh. Apa menurutmu mereka tidak akan curiga padaku?" Justin tahu kalau Vanilla percaya dengan rumor tentangnya dan dia tahu cara jitu membuat Vanilla ragu akan gosip yang sebenarnya fakta itu. Salah satunya adalah memanfaatkan rasa iba Vanilla sendiri. Lagipula Vanilla wanita bodoh. Pasti dia akan percaya dengan alasan-alasan yang Justin kemukakan. Vanilla membulatkan mata. Ahk, apa dirinya sudah salah menilai Justin? Kalau memang dia lelaki berengsek. Bukankah saat ini kesempatan baginya menyentuh para buruh wanita begitu leluasa. Vanilla jadi merasa bersalah telah mencurigai Justin tanpa bukti. Tidak, mempercayai gosip tanpa ada bukti dan saksi sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hati, dia gak mau jadi orang-orang yang berfikiran pendek seperti itu. Entah sejak kapan Justin sudah ada di hadapannya. Seringai nakal hadir di wajah Justin seolah mengunci pandangan Vanilla tetap fokus kepadanya. Pun Justin mendekatkan bibirnya ke telinga Vanilla sembari berbisik. "Aku hanya tertarik pada wanita sepertimu. Semua kabar yang beredar itu palsu. Seharusnya kau tidak percaya begitu saja." Justin sudah meniatkan dirinya mendapatkan Vanilla demi menjatuhkan Kala. Lagipula bermain dengan wanita lugu seperti Vanilla sepertinya cukup menyenangkan dan bila dia bosan, dengan mudahnya dia bisa membuang Vanilla. Semua rencana itu telah tersusun matang di benaknya. Justin percaya dia bisa menggoda Vanilla sampai wanita itu sendiri yang ikhlas jatuh ke pelukkannya. Vanilla gugup. Entah mengapa seluruh pikirannya terasa kosong waktu jemari Justin membelainya dari sisi pinggul merambat hingga ke atas. Namun, sebelum semua berakhir lebih jauh Melinda mengetuk pintu dengan tergesa. "Hah," Vanilla segera sadar. Dia membuka pintu yang tepat di belakangnya. Mata Justin memandang Melinda sangat marah. Bisa-bisanya dia menghancurkan suasana. "Ada apa?" ketus Justin. Oh, Melinda tidak bisa pergi begitu saja darinya. Wanita itu harus mendapat pelajaran. Pun Melinda tidak mau menatap Justin. Wajahnya pucat pasi. Melinda tahu sudah melakukan kesalahan fatal, tetapi ini demi Vanilla. Ia tidak mau ada orang lain yang jatuh dilubang yang sama olehnya. "Pak Kala mencarimu, Vani." Dia terpaksa berbohong. Sebetulnya Kala tidak pernah mencari Vanilla. Melinda mencengkram tangan Vanilla begitu kaku dan gemetar. "Ayok kita temui beliau ... ." Sebenarnya tidak ada urusan apapun dia dengan Kala. Melinda tidak terbiasa bekerja di bawah Kala. Dan kebohongan itu cepat diendus oleh Justin. "Jadi kau mau bermain-main denganku, Melinda?" lirih Justin setelah Vanilla dan Melinda pergi. Nafas Melinda tersengal. Jantungnya bertalu-talu. Dia seperti baru saja menarik seseorang dari pijar neraka. Tetapi dia bahagia, Melinda tersenyum pada Vanilla. "Kau baik-baik saja?" telisik Vanila. Pada kesempatan ini Melinda mau memberikan sebuah peringatan untuk Vanilla. "Apapun yang terjadi. Tolong jangan biarkan dirimu bersama Pak Justin diruangan berdua saja." Melinda memberi peringatan. Dia mengatakannya begitu serius. Benak Vanilla mencerna. Mau gak mau dia teringat kabar yang mengatakan Melinda menyukai Pak Justin. Apa ini peringatan karena Melinda cemburu? Vanilla tersenyum. "Aku tidak ada apa~" "Pokoknya jangan pernah sekali-kali! kau mengerti?" Melinda membentak. Kini Vanilla mengangguk. "Syukurlah. Kau gak tahu bagaimana Pak Justin." Melinda duduk di bangku pantry. Kakinya masih sangat lemas setelah lari dari Justin. Vanilla duduk di sebelahnya. Dia menyadari ada lebam di pipi Melinda. "Itu ... kamu terluka?" Vanilla menunjuk pipi Melinda. "Ahk, ini." Melinda memegangi luka kemarin yang dibuat Justin. Pria itu mencengkram pakai kuku. Jadi bekasnya tidak bisa cepat hilang. "Siapa yang melakukan ini sama kamu?" Vanilla membingkai wajah Melinda. Mengelus luka itu perlahan. Tatapan khawatirnya sama seperti Kala waktu itu. "Aku sudah gakpapa kok. Pak Kala yang membantuku mengobati luka ini." Vanilla tertegun. Apa? Pak Kala! Apa dia salah dengar. Keheranan Vanilla ditangkap Melinda. Dia menyentuh punggung tangan Vanilla yang kini lunglai di atas meja. "Kau gak bisa melihat seseorang hanya dari luarnya saja. Apa yang ditampilkan belum tentu kenyataan. Tetapi orang seperti Pak Kala itu langka. Dia murni, sikapnya tidak pernah dibuat-buat terutama dia sangat tulus. Pak Kala menolong seseorang karena hatinya baik." Melinda mengucapkan kekagumannya pada Kala. Sedang Vanilla malah mengingat semua tingkah menjengkelkan Kala ... . "Tidak Melin, kau gak tahu gimana Pak Kala," sungutnya merasa lebih mengenal Kala. Melinda menutup mulut ingin tertawa karena reaksi Vanilla. "Apapun. Jangan percaya pada Pak Justin. Kau harus lebih percaya pada Pak Kala. Lagipula dia yang punya pabrik ini." Andai saja Melinda mengikuti prosedur seperti seharusnya. Mungkin kini dia sangat bangga dengan posisinya, tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia memilih jalan ini, dan sikap yang Kala tunjukkan membuka mata hatinya. Jika jabatan bukanlah segalanya. Melinda hanya rindu hidup damai seperti dulu. "Baiklah Vani. Aku akan kembali bekerja. Kau juga kan?" Melinda tersenyum teduh. Vanilla mengangguk setuju. Dia kembali tanpa hasil. Dalam hati Vanilla mulai tidak suka dengan Justin, terlepas apapun. Lelaki itu memang seperti tidak berniat kerja. Terus kenapa masih datang ke kantor? Langkah Vanilla menyadari Kala yang lagi bicara bersama Bima. "Sebentar, Bim." Dia mendekati Vanilla yang nampak lemas. Ada apa? Memang sesulit itu turun ke lantai 8?" "Kamu sudah dapat laporannya?" Kala bertanya di belakang badan Vanilla. Ia jadi terjinjit ditegur tiba-tiba. Reaksi yang membuat Kala menyeritkan alis. "Kenapa kamu sekaget itu?" "Ya ampun Bapak. Jantung saya tuh masih senam gara-gara ulah Pak Justin. Eh, sekarang Bapak." Kala mengepal tangan. Dia gak tahu maksud Vanilla apa. Tapi dia setidaknya bisa membaca intinya. Maka, Kala segera turun dari lantai 11 menuju ruang Justin. Tujuannya satu memperingati Justin buat gak main-main sama otoritasnya. Sejak dulu, Kala lebih mementingkan nasib orang lain. Dia gak ingin karenanya membuat seseorang terkena musibah. Kala sudah sampai di ruangan Justin. Dia tanpa segan menarik kerah kemeja pria yang jauh lebih tua darinya itu. "Apa yang kau lakukan pada sekretarisku. Ingat! Sampai satu helai rambut saja terluka, aku sendiri yang akan menuntut balas langsung." Dia menyesal memberi mandat untuk Vanilla menemui Justin. Tadinya Kala tidak berfikir Justin segila ini. Tetapi, karena semua sudah terjadi. Kala tidak akan lagi segan-segan menendang Justin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD