Vanessa tidak bisa tidur. Terkutuk Rafael yang membuatnya tidak bisa tidur sampai waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Vanessa yang geram akhirnya menyingkap selimutnya kasar dan keluar menuruni lantai dua dengan menggunakan kemeja hitam dan celana super pendek. Ia berjalan menuju dapur dan mengambil minuman yang akan dibawanya kembali ke kamar. Saat ia sedang menjelajahi kulkasnya, Vanessa tersentak karena mendengar suara tembakan.
Dengan rasa keingintahuannya, Vanessa meletakkan kembali apa yang akan dibawanya dan pergi mengikuti suara itu ke bagian belakang rumahnya. Matanya menyipit ketika ia melihat sebuah bayangan seseorang yang sedang menodongkan pistol. Langkahnya semakin pelan seiring dengan rasa kehati-hatiannya.
"Rafael?"
Pria pemilik bayangan itu menoleh dan benar bahwa itu adalah Rafael.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vanessa langsung.
"Itu yang seharusnya kutanyakan," balas Rafael sambil berjalan ke arah Vanessa dan menarik tubuhnya masuk kembali ke dalam rumah. "Kenapa kau masih bangun?"
"Aku tidak bisa tidur."
"Kenapa?" Rafael mengerutkan keningnya.
Vanessa tidak akan menjawab. Ia memilih untuk pergi ke dapur dan mengambil apa yang tadi akan ia bawa.
"Bisa bantu bawakan ke kamar?" tanya Vanessa pada Rafael.
"Harus aku?"
"Lalu siapa? Hantu?"
"Mungkin."
Vanessa geram. Ia mengambil air botol dan beberapa camilan tersebut, lalu memberikannya dengan paksa kepada Rafael. Sedangkan dirinya lari ke lantai dua.
Karena tidak ingin Rafael masuk ke kamarnya, Vanessa memilih untuk menunggu Rafael di ambang pintu. Beberapa saat kemudian Rafael akhirnya muncul, tapi anehnya pria itu tidak membawa apa yang Vanessa ambil tadi.
Geram. Vanessa berjalan ke arah Rafael. "Kenapa tanganmu kosong?"
Rafael mengangkat tangannya. "Aku masih punya tangan," ralat Rafael yang mampu membuat Vanessa mendecak kesal dan menginjak kakinya dengan sangat keras.
"Bawa sekarang juga," perintah Vanessa.
"Kau harus tidur, Vanessa," seru Rafael dengan suara memerintahnya.
Vanessa mendengkus. Ia memutar matanya dan mengacak rambut merahnya karena dibuat frustrasi oleh Rafael. "Kau benar-benar..."
Vanessa berniat untuk pergi, tapi Rafael menahan tangannya. "Kenapa kau tidak bisa tidur? Ada yang mengganggumu."
Vanessa geram. Kenapa Rafael menjadi mendadak bodoh seperti ini dan tidak tahu apa kesalahannya. Tentu saja ia tidak bisa tidur setelah Rafael menciumnya dan dengan gilanya juga ia menikmati ciumannya itu.
Vanessa menghentakkan tangannya kasar dan berlalu menuruni tangga dengan cepat, menimbulkan bunyi derap kakinya. Setibanya di dapur, dia mengambil apa yang tadi tidak dibawa Rafael dan meletakkannya kasar ke meja pantry.
"Dasar tidak tahu diri," maki Vanessa kesal.
"Siapa yang tidak tahu diri?"
Vanessa menoleh, Rafael mengikutinya sampai dapur dan pria itu duduk dengan santai di kursi yang ada di depan Vanessa.
Vanessa berusaha mengabaikan Rafael. Ia mulai membuka camilannya dan akan meletakkan semuanya di piring untuk memudahkannya membawa ke kamar.
"Aku merasa sakit karena tidak dibalas setelah ciuman kita yang panas, Vanessa..."
Vanessa mendongak, menatapnya dengan tajam. "Jangan ingatkan aku tentang itu."
"Kenapa? Mau menyangkalnya?" Alis Rafael terangkat, seolah menantangnya.
Vanessa hanya bisa mengembuskan napas menatap Rafael. "Aku pasti gila karena sudah menikmati ciumanmu."
"Dan aku suka itu," balas Rafael jahil. "Untuk ukuran gadis yang baru ciuman, itu terlalu profesional karena gerakan yang bisa kau sesuaikan. Aku curiga kau baru melakukanya pertama kali."
Vanessa geram, tapi ia berusaha menahan diri. "Di film, seperti itu mereka melakukannya."
"Ah, aku curiga kau akan bisa melakukannya jika sudah di ranjang. Pasti akan lan---"
Vanessa menutup kedua telinganya saat Rafael mengatakan itu sampai membuat pria itu memotong perkataannya.
"Apa kau sering melakukannya? Kau terlihat seperti b******n di luar sana yang suka dihangatkan ranjangnya oleh wanita-wanita itu."
Rafael tertawa renyah. "Aku memang melakukannya, tapi selama di Barcelona aku tidak pernah menyentuh wanita-wanita seperti itu."
"Kenapa?" tanya Vanessa penasaran.
"Yeah, karena aku menahan diri."
Vanessa mengerutkan kening. "Menahan diri?"
Rafael mengangguk. Saat Vanessa akan bertanya lebih, ponsel yang ternyata dibawa Rafael berdering. Itu membuatnya mengurungkan niat dan membiarkan Rafael menerima panggilan di hadapannya.
Vanessa akhirnya kembali fokus ke dirinya. Ia kembali meletakkan camilan, buah dan apa yang ia butuhkan ke dalam piring. Karena terganggu dengan rambutnya, Vanessa mengambil ikatan rambut di pergelangan tangannya dan mengingkat rambut dengan tinggi-tinggi.
"Jangan lakukan itu."
Vanessa mendongak. Mengerutkan kening karena perkataan Rafael. "Apa maksudmu?" tanyanya, mengabaikan Rafael dan berniat pergi ke kamarnya.
Saat melewati Rafael, pria itu berjalan ke arah Vanessa dan melepas ikatan rambut Vanessa.
"Kau---"
Vanessa dibuat terkejut. Ciuman Rafael yang mendadak membuatnya mundur. Beruntung ciuman itu singkat, tapi dalam, membuat ia segera mundur ke belakang.
"Selamat malam, terima kasih untuk penutupnya." Rafael tertawa jahil dan Vanessa yang geram malah menarik rambut Rafael dengan keras. "Astaga, Vanessa, lepaskan," pintanya. Namun, Vanessa tidak segera melepaskannya. "Oke, oke, maaf sudah menciummu."
Vanessa akhirnya melepaskan genggamannya di rambut Rafael dan masih menatap tajam Rafael. "Bereskan itu, mood makanku hilang seketika." Vanessa melenggang pergi meninggalkan Rafael bersama dengan dapur yang berantakan.
***
Rafael melihat punggung Vanessa yang menjauh dengan senyum yang merekah di bibirnya. Rafael tidak percaya ini, ia sudah beberapa kali meletakkan bibirnya di bibir ranum Vanessa yang selalu ia idamkan. Saat pertama kalinya ia mencium Vanessa, itu menjadi candu untuknya. Lalu ciuman panas berikutnya menjadi ledakan untuk dirinya.
Ekpektasinya terhadap bibir itu melebihi batas. Bibir itu sangat nikmat. Bahkan Rafael bisa menduga bahwa ia tidak akan pernah bosan dengan bibir itu. Nikmat ketika membayangkan bibir itu akan terus menjadi miliknya, menjelajahi tiap isinya dengan lidahnya. Merasakan kepuasan yang selama ini tidak bisa ia tahan.
Rafael tidak tahu mengapa ia seberani itu, tapi ia tahu bahwa Vanessa menginginkannya dan menikmatinya. Gadis itu tidak bisa membodohinya dan Rafael sangat percaya diri bisa membawa Vanessa ke ranjangnya dalam waktu dekat.
Rafael gila. Menginginkan seorang gadis yang akan menjadi tunangan dari seorang Pangeran Inggris. Katakan saja ia memang seperti itu, karena sejak pertama bertemu, ia sudah dibuat gerah dengan kecantikan Vanessa, bibir ranumnya yang selalu melontarkan kata pedas dan tubuhnya yang selalu siap untuk santap.
Oh s**t!
Membayangkan itu semua membuat Rafael panas. Ia butuh mandi air dingin untuk membantunya sadar jika itu semua harus dilakukan secara perlahan-lahan.
Dulu, sebelum ia menerima tugas ini, Rafael bisa mendapatkan wanita yang ia mau dalam jentikan jarinya. Lalu, akan dibawanya ke ranjang dan menikmati hubungan satu malam. Seperti itu jika ia membutuhkan. Akan tetapi, setelah bertemu Vanessa, ia tidak menginginkan perempuan murahan di sana, ia hanya menginginkan Vanessa seorang. Mengajarinya cara terbaik dalam melakukan seks di ranjang sampai pagi.
Oh, sialan. Pasti akan menyenangkan jika ia bercinta dengan Vanessa seraya membahas topik tidak penting lainnya yang setidaknya akan menambah keintiman di antara mereka.
Terlalu banyak berpikir akan membuat Rafael gila malam ini. Setelah membereskan dapur, ia pergi naik ke kamarnya yang berada jauh dari kamar Vanessa. Setibanya di sana, ponselnya kembali berdering. Lalu, ia mengangkatnya.
"Bagaimana?" tanya Rafael ketika nama Victor terpampang di layarnya.
"Aku sudah mengeceknya. Memang sudah ada rumor sebelumnya jika ada konflik internal di Yakuza, tapi aku tidak bisa memastikan kebenarannya. Aku akan berangkat ke Jepang besok."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Rafael berjalan ke ranjangnya dan duduk di sana dengan tenang.
"Aku akan mencoba mengakses perusahaan mereka, jika itu memungkinkan, dan doakan saja aku tidak ketahuan."
"Aku akan mengirimkan seseorang untuk menjagamu," ujar Rafael.
"Terima kasih untuk itu dan aku butuh helikopter, Raf."
Rafael menghela napasnya. "Baik gunakan saja."
"Itu baru sempurna. Dan aku menemukan sesuatu juga."
"Sesuatu?"
"Kau ingat dengan kasus perusahaan Olympus di Jepang yang sangat heboh itu?"
"Iya, ada apa dengan itu?" Rafael tahu mengenai kasus yang menimpa Olympus. Bahkan kasus perusahaan itu didaftarkan sebagai kasus terbesar di beberapa artikel karena pelanggaran yang mereka lakukan.
Berikut beberapa kejahatan yang mereka lakukan; Menyembunyikan kerugian investasi di perusahaan sekuritas selama puluhan tahun sejak era 1980-an. Selama kurun waktu dua dekade, Olympus membuat laporan palsu seolah-olah perusahaannya dalam keadaan sehat. Olympus juga menutupi kerugiannya dengan menyelewengkan dana akuisisi.
Itu cukup menjadikan perusahaannya sebagai perbincangan paling menarik untuk perusahaan lainnya.
"Aku pernah membaca bahwa Olympus memiliki keterlibatan juga dengan Yakuza dan ketika mengingat Lauren mengatakan sebuah perusahaan, aku langsung bergegas memesan tiket ke Jepang. Sepertinya ini semakin menarik..."
Rafael mencerna segala macam perkataan Victor yang bisa ia tangkap. Jika Olympus benar pernah terlibat dengan Yakuza, maka itu menjadi kunci penting untuk membuat ia tahu apa tujuan Yakuza.
"Kau bisa melakukannya?" tanya Rafael pada Victor.
"Tentu saja, jika ada yang kutemukan, aku akan mengirimkan pesan atau sebagainya kepadamu."
Rafael langsung memutuskan panggilannya. Ternyata membuat Victor kembali bekerja setelah cutinya sangat pas untuk saat ini. Rafael merebahkan tubuhnya ke ranjang, lalu ia memejamkan matanya, memikirkan semua perkataan Rafael dan mencoba untuk mencaritahu lebih jauh.
Olympus
Yakuza
Konflik internal
Perusahaan Velasco
Vanessa O'brian
Entah mengapa Rafael memiliki firasat itu semua saling berkaitan. Seperti ada hal yang tidak bisa dapatkan. Mengapa Yakuza menginginkan Vanessa sampai sejauh ini? Apa yang dimiliki Vanessa sampai rela sindikat terbesar itu rela melakukan apa pun untuk mendapatkan Vanessa.
Pasti ada keterlibatan yang jelas. Setidaknya Justin O'brian tahu akan sesuatu. Pria itu terkenal cerdas dan licik saat melawan musuhnya dengan wajah di balik ketampanan dan kepolosannya. Justin juga awalnya datang untuk meminta dirinya menghabisi Yakuza, tapi setelah tahu itu tidak mungkin, Justin memohon untuk mencaritahu lebih dalam dan melindungi Vanessa.
Itu jelas Justin tidak tahu, kan? Tapi entah mengapa Rafael berpikir berbeda. Justin seolah mengetahui ada yang aneh, tapi pria itu membutuhkan bukti atau apa pun itu tentang Yakuza lebih jauh. Seperti itu adalah kesempatan untuk menghancurkannya.
Seketika saja Rafael menjadi frustrasi. Ini terlalu misterius. Ia seharusnya bekerja di Jepang untuk memudahkan informasi, tapi Justin tentu saja tidak akan membiarkan dirinya ke Jepang dan meninggalkan Vanessa di sini sendirian. Lagipula Rafael tidak akan melakukan itu.