Part 9

1275 Words
Rumah mewah yang dibelikan Justin untuk anaknya ini tidak tanggung-tanggung. Selain harganya yang fantastis karena berada di area perumahan elit kota Barcelona, ia juga memasang semacam pengamanan dan rumah yang penuh kecanggihan demi sang anak. Di samping rumah, setelah melewati jalan setapak, ada sebuah gudang yang khusus dibangun untuk menyimpan apa saja benda milik Vanessa. Vanessa sering mendatangi gudang ini ketika ia bosan dan bermain dalam ruangan yang sepi selama beberapa jam disaat ia tidak diizinkan keluar oleh Rafael. Vanessa yang masih menggenggam tangan Rafael terus membawa pria itu memasuki gudang. Ia membukanya dengan kode dan mulai menampilkan interior gudang yang sebenarnya tidak layak disebut gudang. Ada lemari buku di belakang sebuah meja dan terdapat kursi panjang yang terlihat halus. Setelah mengunci pintu, Vanessa berjalan ke kursi panasnya dan duduk dengan nyaman seraya mengambil rubik yang belum selesai itu. "Jadi di sini kau sembunyi selama berjam-jam." Vanessa mengedikkan bahunya. Matanya masih fokus ke rubik yang ingin ia selesaikan. "Kau orang asing pertama yang kuajak kemari." "Dan aku penasaran apa alasan kau membawaku ke sini." Vanessa mendongak. Benar juga. Ia sendiri bingung apa alasan sebenarnya ia membawa Rafael ke sini. Seketika saja ia sadar. "Kau benar, kalau begitu kau harus keluar." "Aku tidak suka diusir," balas Rafael, lalu berjalan ke lemari buku yang ada di belakang Vanessa dan mengambil sebuah buku terjemahan berbahasa Inggris dengan santai. Kemudian Rafael berjalan ke sofa yang berada tepat di hadapan meja Vanessa. "Aku pikir buku-buku ini berisi n****+ semua." "Salah satunya ada yang n****+, tapi lebih ke filsafat. Aku tidak terlalu suka membaca n****+. Lebih suka menonton. Membaca n****+ hanya akan membuat imajinasiku semakin liar." Rafael mendongak menatap Vanessa dengan alis yang terangkat. "Jadi kau membenci imajinasi sejenis itu?" Vanessa menggelengkan kepalanya. "Aku menyukainya, hanya saja masih wajar." "Wajar seperti apa? Kupikir tidak ada yang namanya wajar." Vanessa menarik napasnya. "Aku akan lelah jika berdebat denganmu." "Kalau begitu jangan." Vanessa merasa geram. Selalu saja ada kalimat yang bisa Rafael utarakan untuk melemahkan kemampuannya. Ia pun memilih berdiri dari kursinya dan mengambil sebuah buku yang ada di lemari. "Ah, shit." Vanessa melemparkan buku itu tepat ke perut Rafael dan ia puas akan rintihan kesakitan yang Rafael keluarkan. Pria itu bahkan langsung berdiri dengan mata yang masih menatap tajam Vanessa. "Berhenti melawanku." "Kau yang harus berhenti, Vanessa." Vanessa mengangkat dagunya, tangannya ia lingkarkan ke tubuhnya dan berusaha untuk menantang Rafael. "Selama kau masih membuatku kesal, aku tidak akan berhenti." Rafael perlahan mendekat ke arah Vanessa. Pria itu menyingkirkan kursi yang berada di depan Vanessa dan duduk setengah di bagian pinggir meja Vanessa. "Jika kau tidak nakal, aku tidak mungkin membuatmu kesal." "Hei, siapa yang nakal di sini?!" teriak Vanessa tak terima. Rafael mengembungkan pipinya sebelum menjawab, "Melarikan diri, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, diam-diam masuk ke kamar orang lain, da---" "Nakal dalam definisimu sangat berbeda ternyata. Itu disebut memberontak," ralat Vanessa dengan angkuh. "Apa yang membuatmu berpikir itu memberontak?" "Supaya kau dipecat karena tidak becus, tentu saja." Rafael tertawa dengan keras. Untuk gudang ini dibuat kedap suara, membuat orang di luar tidak akan mendengar apa-apa. "Aku berani taruhan ayahmu tidak akan memecatku." Vanessa mengerutkan keningnya ketika Rafael berdiri dari tempatnya dan mengikis jarak di antara mereka secara perlahan. Vanessa tidak mundur, bukan karena keinginannya, tapi karena punggungnya sudah menyentuh lemari buku sejak awal. Kini, Rafael sudah mengunci tubuhnya dengan tangan kanan yang berada di samping kepala Vanessa. "Apa yang kau lakukan?" tanya Vanessa dengan wajah yang setenang air. Seolah-olah ia tidak takut dengan hal itu. "Menurutmu apa yang terjadi ketika dua orang berbeda gender ada di satu ruangan seperti ini?"  Vanessa tahu maksud Rafael. Ia tidak sebodoh itu. "Hm, saling membunuh?" "Itu yang ada di pikiranmu?" Tentu saja tidak, jawab Vanessa dalam hati. "Kau bisa mengatakannya seperti itu." Vanessa terus menatap mata Rafael yang membara. Diperhatikan kening Rafael yang berkeringat, padahal setahunya ruangan ini sudah dinyalakan sebuah pendingin. Lalu ia beralih ke bibir Rafael yang tampak merah. Oh s**t! Tanpa disadarinya, Vanessa menggigit bibir merahnya. Ia tidak tahu bahwa itu akan sangat bahaya untuk Rafael yang sudah menahan gairahnya sejak tadi. "Sepertinya kita harus kembali. Aku seketika mengantuk." Meskipun Vanessa mengatakan itu, Rafael tidak berkutik seinci pun. Itu membuat Vanessa waspada. "Kau menginginkannya, Ane..." Vanessa mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?" "Ini." Dalam hitungan detik, Vanessa langsung merasakan bibir kenyalnya dicium oleh bibir menggoda milik Rafael. Pria itu menggigit bibirnya dengan keras, membuat Vanessa mau tak mau membuka mulutnya dan membiarkan Rafael menjelajahi tiap isi mulutnya. Vanessa kehilangan akal sehatnya. Bahkan ketika tangan Rafael kini sudah beralih ke pinggang Vanessa yang lekukannya mampu membunuh Rafael dari jarak yang jauh. Entah ini pengaruh alkohol yang sebelumnya Vanessa minum atau karena ia sudah gila, itu tidak membuatnya berhenti. Ia mengikuti permainan ciuman panas Rafael dengan tangan yang melingkar sempurna ke leher Rafael. Cukup lama ia dan Rafael berciuman, sampai akhirnya pria itu menghentikan ciumannya dan membiarkan mereka mengisi ulang oksigennya. Vanessa bernapas dengan sangat sulit. Bibirnya terasa kelu dan dilihatnya lipstik merah yang ia kenakan menempel di bibir Rafael yang juga basah karena saliva mereka. "b******n sialan," maki Vanessa. Rafael hanya tersenyum sinis. Lalu ia mendekat perlahan ke telinga Vanessa. "Kau menginginkannya, Ane..." Suara serak Rafael mampu membuat area paling sensitif Vanessa berkedut nyeri. Ia menggigit bibir untuk menahan diri. Bahkan ketika Rafael dengan beraninya mulai meletakkan bibirnya di leher Vanessa. Vanessa tahu Rafael mencoba meninggalkan tanda di sana. Ia pun mendorong Rafael dengan kasar. "Aku tidak seharusnya membawamu ke sini." Vanessa melangkahkan kakinya untuk keluar, tapi Rafael menahan tangannya. "Kau tidak bisa masuk ke dalam dengan penampilan seperti itu. Mereka akan berpikir negatif." "Setidaknya pikiran mereka benar," balas Vanessa sarkastik. Ia pun mengambil tisu yang ada di atas mejanya dan mengusap seluruh lipstik merahnya. Lalu setelahnya ia keluar. Membiarkan Rafael berdiri di sana dengan senyum yang mengembang. Puas dengan apa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Vanessa. *** Pesta selesai tengah malam. Rafael yang tampak lelah karena berbicara dengan tamu segera masuk ke dalam kamar dan melepaskan jas yang digunakannya semalaman ini. Jas itu ia buang dengan kasar ke ranjang dan saat itu juga ia menerima sebuah panggilan dari Victor. "s**t, Raf, kau tidak akan percaya ini." "Percaya apa?" Sambil membuka kancing kemejanya dan membuat tubuh roti sobeknya terpampang, Rafael mengerutkan kening karena perkataan Victor yang tiba-tiba. "Lauren mengajakku ke rumahnya yang sepi tadi dan aku menemukan sesuatu yang luar biasa." "Langsung ke inti, Vic." Jika saja Rafael tidak penasaran, mungkin saat ini ia sudah memutuskan panggilan dengan Victor. "Lauren mengatakannya dengan keceplosan di bawah alkohol saat aku membicarakan Yakuza. Dia bilang kalau ayahnya bekerjasama dengan salah satu kelompok Yakuza. Lauren mengetahui itu saat dia tidak sengaja menguping pembicaraan ayahnya. Dia juga mendengar kalau saat ini ada konflik internal yang terjadi Yakuza. Lauren tidak bisa mendengar lebih, tapi katanya itu berkaitan dengan sebuah perusahaan." Rafael mendengar itu dengan saksama. Ia bahkan sampai terduduk di ranjangnya dengan pikiran yang terbayang akan hal itu. "Apa ini berarti Yakuza mulai melemah?" tanya Victor. "Mereka tidak selemah itu," ralat Rafael. "Aku tidak tahu mereka memiliki konflik internal, apa kau bisa mencaritahu lebih dalam? Sepertinya itu berkaitan dengan tugas yang kulakukan sekarang." "Perusahaan majikanmu, eh?" Rafael mendesis. "Terserah, tapi mengenai perusahaan, apa mereka menginginkan perusahaan Justin O'brian? Tapi, mengapa mereka rela memberikan apa pun demi Vanessa. Ada yang aneh."  "Kupikir Vanessa memiliki sesuatu yang sangat berharga melebihi apa pun untuk mereka." Rafael juga memikirkan itu sejak awal. Akan tetapi, ini dimulai saat liburan Vanessa ke Jepang. Memangnya apa yang ada dalam diri Vanessa sampai mereka rela ke Barcelona, membuang nyawa dan segalanya demi Vanessa? Apa yang mereka inginkan sebenarnya? "Raf, kau masih di sana?" Rafael menghela napasnya. "Cari tahu semuanya dan sampaikan kepadaku." Lalu ia menutup ponselnya dengan cepat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD