Warning 18+
Vanessa bangun pukul 7 pagi ketika ia tidur hanya beberapa jam. Setelah mencuci muka untuk membuka penglihatannya supaya jelas, ia turun ke lantai dasar masih dengan pakaian yang dikenakannya semalam. Di meja makan sudah ada Rafael, Jayden, Leonor dan James. Mereka tengah sibuk berbincang, kecuali Rafael yang sibuk dengan tablet-nya.
Vanessa memilih untuk duduk di samping James yang berhadapan dengan Rafael.
"Matamu bengkak, kurang tidur?" tanya James ramah seraya mengusap kantung mata yang Vanessa miliki pagi. "Mau kuambilkan sendok yang dingin?"
Vanessa menggelengkan kepalanya. "Lanjutkan saja makanmu."
James mengangguk, sedangkan Vanessa melirik ke arah Rafael yang diam-diam menatapnya. Ia menatap Rafael tajam dan memberikan peringatan karena sudah membuat tidurnya menjadi tidak nyaman.
"Ane," panggil Jayden, membuat Vanessa menoleh. "Papa dan Mama memintamu pulang liburan semester ini."
Vanessa mengerutkan keningnya. "Kak..."
"Turuti saja, mereka sudah merindukanmu."
Vanessa menarik napasnya.
"Apa yang membuatmu tidak ingin ke Indonesia, Ane?" James bertanya.
"Vanessa malas di sana karena pengawasannya jauh lebih ketat, ditambah dia harus bersikap seperti putri manja di depan Daddy," jawab Jayden dengan senyum mengejeknya.
Vanessa memutar matanya kesal. Ia bahkan tidak mood menyantap sarapannya.
"Aku tahu bagaimana rasanya, Ane," ucap Leonor. Yeah, menjadi putri satu-satunya di keluarga O'brian membuat Vanessa harus menjalani kehidupan yang tidak biasa.
"Aku sudah terlalu kesal di sini diawasi Rafael, dan sekarang aku harus siap-siap diawasi Daddy." Vanessa ingin menangis saja membayangkan itu semua.
Tidak ada yang berbicara di meja makan itu. Seolah sadar bahwa Vanessa sedang sangat kesal.
"Aku ke kolam," ucap Vanessa sambil berdiri dari kursi makannya.
"Kenapa nggak dihabiskan?" tanya James.
"Kenyang." Lalu Vanessa melenggang pergi ke arah kolam yang ada di bagian belakang rumahnya.
Dilihatnya air kolam yang segar dan baru kemarin dibersihkan. Mengabaikan apa yang mungkin terjadi, Vanessa mulai melepaskan kemeja hitamnya dan melemparnya kasar ke bawah, menampilkan bra hitamnya. Lalu, ia melepaskan celana super pendeknya dan menampilkan celana dalam bewarna hitam juga. Itu sudah cukup menggetarkan kaum adam.
Vanessa langsung saja turun ke kolam dan mulai menikmati waktu berenangnya. Sampai ia dikejutkan oleh kedatangan Rafael.
"Mana yang lain?" tanya Vanessa.
"Putri Leonor dan James pergi ke Istana. Jayden sudah berangkat kerja."
Vanessa mengangguk paham. Ia pun terus berenang dari satu sisi kolam ke sisi ujung kolam. Vanessa sangat menyukai olahraga ini. Bermain dengan air dan membakar kalorinya dengan bersenang-senang.
Ketika Vanessa akan kembali ke ujung kolam yang tadi ditempatinya untuk mengobrol dengan Rafael, ia terkejut karena melihat kaki seseorang di dalam air. Membuat ia berdiri dan melihat ke atas siapa pemilik kaki itu.
Rafael.
Vanessa mendecak kesal. "Jika kau ingin bergabung, tolong lihat di mana kau berada. Jangan di tengah-tengah, aku sedang berenang."
Rafael diam saja. Tidak merespon perkataan Vanessa. Tangan Vanessa pun digerakkan tepat di depan wajah Rafael untuk melihat apa Rafael masih hidup. Dan Rafael mengerjapkan matanya.
"Kau tidak akan minggir?" tanya Vanessa atau sebenarnya lebih ke perintah.
"Kau memonopoli kolam, Vanessa. Kolam ini besar, cobalah berenang di samping."
Vanessa mengerutkan keningnya. Mengapa ia harus berenang di samping ketika ia bebas melakukan apa saja di kolamnya sendiri. Vanessa akhirnya mendecak kesal dan berniat untuk kembali ke ujung kolam. Akan tetapi, tangannya ditahan Rafael untuk kesekian kalinya. Lama-lama ia bosan jika harus ditahan terus-menerus oleh Rafael.
Belum satu kata Vanessa keluarkan untuk meneriaki Rafael, pria itu meletakkan bibirnya tepat di bibir milik Vanessa. Tangannya yang tadi digunkan mencekal tangan Vanessa, kini sudah beralih ke punggung Vanessa yang tidak terlapis pakaian, membuat tubuh Vanessa merinding karena tangan Rafael yang menyentuh kulitnya secara langsung.
Itu menimbulkan sensasi tersendiri untuk Vanessa, membuat ia ikut larut dalam ciuman Rafael yang lembut, tapi menuntut. Pria itu semakin memerdalam ciumannya dan Vanessa dengan bodoh mengikuti irama ciumannya layaknya profesional. Vanessa tidak menyangkal tubuhnya menginginkan itu, ia memang bodoh.
Tapi sungguh, setelah semalaman penuh ia memikirkan ciuman yang diberikan Rafael, membuat Vanessa merasakan keinginan itu. Sekarang bahkan ia sudah mengalungkan tangannya ke leher Rafael, menikmati ciuman yang mungkin akan berakhir ini.
Ciuman itu menjadi tak terkendali. Vanessa merasakan tangan Rafael yang satunya bergerak ke arah area paling sensitifnya, membuat Vanessa melengking. Ia pun menurunkan satu tangannya dan menepis tangan nakal Rafael.
Vanessa memilih untuk mengakhiri ciumannya ketika ia hampir tidak bisa bernapas. Ini olahraga yang sama dengan berenang, harus pintar memainkan pernapasan. Napas Vanessa menjadi tidak teratur, bibirnya basah karena ciuman itu. Dilihatnya Rafael yang tampak b*******h di depannya. Pria ini menginginkan lebih dan Vanessa tahu bagaimana harus menyiksanya.
Terima kasih untuk film-film barat yang membuat ia mengerti bagaimana harus menyiksa seorang pria.
Vanessa akan menghukum Rafael karena sudah membuatnya menjadi sebodoh ini. Brutal, Vanessa kembali mencium Rafael, melumat bibirnya dan memberitahu kepada Rafael bahwa ia bukan gadis kecil yang tidak bisa apa-apa. Vanessa berbeda dan Rafael harus sadar jika Vanessa bukanlah lawannya yang sepadan.
Disaat bibirnya sibuk bermain dengan bibir Rafael, Vanessa mulai menjalankan aksinya. Ia meletakkan tangan kirinya ke d**a bidang Rafael, memberikan sentuhan yang akan menyakiti Rafael.
Namun, Vanessa salah mengira Rafael akan kalah. Pria itu malah membuatnya kesakitan dengan secepat kilat membuka pengait bra-nya dan menangkup p****g merah mudanya. Rafael sudah kelewatan batas. Vanessa mencoba untuk menyingkir, tapi kenikmatan yang Rafael berikan membuat tubuhnya menolak untuk melepaskan diri.
"Rafael lepaskan," perintah Vanessa serak. Akan tetapi, ia tidak menyangka tubuhnya yang menikmati itu. Lumatan Rafael di payudaranya memberikan desahan-desahan yang tidak ingin Vanessa keluarkan. Karena itu hanya akan membuat Rafael menang.
"Rafael!" Vanessa tidak ingin terlalu jauh. Ia melepaskan diri dengan paksa dari Rafael yang tampak puas dan ia menatap pria itu dengan tajam.
"Kau seharusnya tidak menggodaku," ucap Rafael.
"Sialan, ini terakhir kalinya aku membiarkanmu menyentuhku. Jaga jarak dariku mulai sekarang," ancam Vanessa.
"Kau menginginkannya, Ane..."
"Berhenti mengatakan itu!" teriak Vanessa. Ia lalu pergi untuk naik dan mengabaikan penampilannya yang kacau. Ia melenggang masuk menggunakan handuk yang ada dan berdoa semoga tidak pelayan rumah yang melihat kejadian itu.
Setelah tiba di kamarnya, Vanessa membuka handuk yang menutupi tubuhnya dan pantulan dirinya di depan cermin. Kedua matanya masih beralih ke payudaranya yang basah akibat lumatan Rafael.
"s**t! Aku harus menjaga jarak darinya. Melihat dia seorang b******n nakal, aku seharusnya menduga dia tidak akan puas dengan hanya sebuah ciuman," peringatnya pada diri sendiri.
Vanessa akhirnya mulai membersihkan dirinya dengan sangat bersih, kemudian keluar dari kamar menggunakan rok pendek dan baju biasa. Tas selempangnya melingkar sempurna di pundaknya.
"Mau ke mana?" tanya Rafael yang juga baru selesai mandi. Penampilan pria itu membuat Vanessa terpaku. Rambut hitam yang basah menutupi keningnya, baju biasa yang pas di tubuhnya dan celana jeans hitam. Menambah ketampanannya. Vanessa akui itu.
"Kulihat kau juga akan pergi," sindir Vanessa.
"Aku berniat mengajakmu ke kantor Jayden. Dia memintaku membawamu ke sana."
"Aku ada urusan," tolak Vanessa.
"Kau tahu Jayden harus dipatuhi, kan?"
Vanessa menghentakkan kakinya dengan kesal. Lalu menoleh ke arah Rafael. "Apa yang dia inginkan coba?"
Rafael hanya mengedikkan bahunya. Vanessa hanya bisa pasrah dan pergi ke kantor Jayden. Butuh waktu beberapa menit untuk mereka tiba di kantor Jayden. Vanessa memanfaatkannya untuk bermain PUBG. Karena tidak ingin mengganggu konsentrasi Rafael, ia memilih untuk menggunakan headset dan mengabaikan segala obrolan yang Rafael mulai sampai pria itu mencabut headset Vanessa dan membuatnya kalah ketika ia hampir saja menang.
Vanessa mendecak kesal. Ia menoleh ke arah Rafael dengan sorotan tajamnya. Si pelaku utama hanya diam, seolah itu tidak penting.
"Aku heran di mana Daddy menemukanmu," seru Vanessa kesal. "Benar-benar tidak ada hormatnya sama sekali."
"Kau ingin tahu?" Rafael menoleh sebentar ke Vanessa. "Saat itu aku sedang liburan ke Yunani dan ayahmu datang ke sana jauh-jauh untuk menemuiku. Aku sungguh terhormat, sebenarnya."
"Cih, aku berani bertaruh Daddy salah memperkerjakanmu. Dia pasti akan memecatmu jika aku memberitahu kalau pengawal yang dipekerjakannya sudah menciuma ciuman pertama putrinya dan melakukan hal senonoh---"
"Aku meralatnya, Vanessa," potong Rafael, tatapannya masih mengarah ke depan. "Lumatan di payudaramu yang kulakukan di kolam tadi adalah hukuman untukmu karena berani menggodaku lebih jauh. Jika kau tidak menciumku kembali, mungkin kita hanya sebatas berciuman."
"Sialan, haruskah kau mengatakannya langsung?!" teriak Vanessa.
Rafael tertawa renyah. "Aku tahu kau menikmatinya, Ane. Jika kau tidak menikmatinya, aku tidak mungkin mendengar desahanmu. Itu sangat seksi...."
"Berhenti bersikap m***m. Kau beruntung aku tidak punya pemikiran untuk memikirkan lebih jauh tentang hal itu. Aku sudah memperingatkanmu lagipula, jaga jarak dariku, okay?!" Lalu Vanessa memasang kembali earphone-nya.