Universitat de Barcelona, Barcelona-Spain.
RAFAEL meletakkan cangkir kopinya di meja dan menatap pria tampan yang sedang memainkan gadget-nya dengan santai. Ia menghela napasnya dan mengambil benda itu dari tangan pria bernama Victor. "Aku memanggilmu dari Paris untuk mengatakan sesuatu terkait apa yang terjadi kemarin."
"Santailah, aku baru saja tiba dengan helikopter sialanmu itu."
"Kembalilah bekerja," perintah Rafael.
"Astaga, aku baru saja kembali dan---"
"Jangan membantahku, sudah kau temukan siapa yang melakukannya?"
Victor mengembuskan napasnya dan memberikan sepotong kertas pada Rafael. Rafael pun mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera di sana.
Deathvil
"Dia anggota inti kelompok hacker terkenal di Rusia. Deathvil saat ini menjadi kelompok paling dicari di dunia karena perbuatan mereka yang berhasil mengakses keamanan Federal Intelligence Service, German. Aku sudah mencoba masuk ke kelompok mereka, tapi gagal karena perintah yang mereka berikan."
"Apa yang mereka inginkan?" tanya Rafael.
"Mereka memintaku untuk mengakses Departemen Ekonomi Pembangunan Italia karena mereka tahu aku sudah profesional."
"Kau menolaknya?"
"Tentu saja, I am from Italy dan aku bekerja untukmu sekarang."
"Jadi kau tidak akan melakukannya?"
"Ketika aku menolaknya, nama penaku otomatis di-blacklist oleh mereka."
Mendengar hal itu membuat Rafael kembali menghela napasnya. "Kau seharusnya melakukan itu."
"Remember, aku memang hacker, tapi aku tidak ingin melakukan itu terhadap departemen pemerintah, kecuali jika mereka membuatku marah."
Rafael hanya menggelengkan kepalanya dan kembali meminum kopinya.
"Kembalilah bekerja nanti dan tingkatkan keamanan DR."
"Aku sudah memasang keamanan yang tidak akan bisa ditembus siapapun, termasuk Deathvil, aku menduga ada seseorang dibalik ini semua yang bekerja di tempatmu."
"Apa maksudmu?" Rafael mengerutkan keningnya bingung, lalu ia melihat Victor sedang mengeluarkan dokumen.
"Namanya Albert Dominic, aku mengenalinya. Dia hacker yang sangat ingin bergabung dengan Deathvil dan aku menduga dialah yang membantu Deathvil mengakses keamanan DR."
Rafael melihat dengan saksama foto dan dokumen yang Victor berikan. Di dokumen itu tertera data pribadi milik Albert dan segalanya.
"Di mana dia sekarang?" tanya Rafael.
"Kau beruntung, dia ada di Madrid saat ini."
Rafael kembali mengembuskan napasnya. "Sudah kau bawakan pesananku?"
Victor mengangguk, lalu pria itu mengambil sebuah kotak di dalam tasnya dan memberikannya pada Rafael. "Dalam sekali?"
Rafael mengangguk. "Dia sudah membuat Vanessa hampir saja terluka. Colt 1911?"
Victor mengangguk. "Sesuai permintaanmu. Kenapa kau tidak menggunakan Desert Eagle? Bukankah itu favoritmu."
"Mencoba yang baru adalah yang terbaik," jawab Rafael.
"Aku mencarimu ke mana-mana."
Rafael dan Victor menoleh ke asal suara. Muncul Vanessa dengan tubuhnya yang penuh lumpur. Otomatis Rafael pun berdiri dan mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi?"
"Kau tidak bisa melihatnya?" tanya Vanessa dengan nada kesalnya ditambah napasnya yang memburu.
"Siapa yang melakukannya?"
"Itulah yang harusnya kau cari tahu!" Vanessa pun berjalan ke arah mobil yang terparkir di samping tempat duduk Rafael tadi dan masuk ke dalam dengan cepat.
"Aku harus mengeceknya."
"Apa perlu? Itu tidak penting," ucap Victor.
"Tentu saja itu penting," balas Rafael. "Temukan siapa yang melakukannya pada Vanessa dan kirimkan datanya melalui email-ku secepatnya." Setelah mengatakan hal itu, Rafael berlari mengejar Vanessa dengan cepat dan masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintu dan melihat Vanessa dari balik kaca kecil yang ada di atas bagian depan.
"Bukankah seharusnya kau menjagaku?"
"Aku ingat kau memintaku keluar tadi."
Vanessa mendesis, lalu gadis itu melihat Rafael. "Apa itu di tanganmu?"
Rafael melirik tangannya yang masih memegang sebuah kotak pemberian Victor. "Kau akan terkejut jika tahu apa isinya."
"Apa aku peduli?!" balas Vanessa kesal. "Cari kamar mandi umum dan belikan aku pakaian. Putri dan Pangeran Kerajaan akan berkunjung. Aku tidak bisa membuat mereka melihatku dengan penampilan seperti ini."
Rafael menghela napasnya. Ia lupa bahwa teman dekat Vanessa yang semuanya adalah anggota kerajaan akan berkunjung ke Barcelona.
"Apa pertemanan kalian tidak terlalu berlebihan? Mereka adalah calon pewaris tahta di kerajaan masing-masing, itu sama saja kau akan mendapatkan bahaya yang sama dengan mereka."
"Seharusnya kau bahagia aku bisa berteman dengan mereka," balas Vanessa. "Apa kau cemburu?"
"Dengar Vanessa, aku hanya khawatir. Anggota kerajaan, terutama suksesi tahta yang memiliki peringkat tinggi akan mendapatkan bahaya lebih tinggi pula. Kau sekarang dilindungi dan---"
"Pengawalan mereka sangat ketat, lagipula negara juga akan menjaga mereka dengan super ketat. Putri Leonor akan mengurusnya dan---"
"Sebaiknya kita hentikan pembicaraan ini," potong Rafael.
Bagi Rafael sendiri, pembicaraan dengan Vanessa yang tidak sependapat akan membuat semuanya kacau. Ia memilih untuk diam dan menunggu sampai mereka tiba di pusat perbelanjaan. Setelah itu, ia pamit untuk membelikan pakaian Vanessa dan kembali dengan cepat.
Lalu setelahnya mereka kembali berjalan untuk menemukan toilet umum. Beberapa menit kemudian mereka tiba dan Rafael segera menemani Vanessa untuk berganti.
"Bagaimana lukamu?" tiba-tiba saja Vanessa bertanya dari luar dan itu membuat Rafael mengerutkan keningnya.
"Lukanya sudah lama sembuh," jawab Rafael.
"s**t!"
"Ada apa?" tanya Rafael cemas.
"Kenapa kau membelikanku gaun dengan resleting belakang yang panjang?! Masuk dan bantulah."
Rafael mengerutkan kening. "Kau gila? Ini tempat umum."
Tiba-tiba saja kepala Vanessa keluar sedikit menatap Rafael. "Lalu kenapa? Ini Barcelona, bukan Indonesia."
"Tapi tidak di---"
"Lakukan perintahku atau keluar dengan punggung yan---"
"Baiklah, nona kasar," balas Rafael. Lalu ia masuk ke dalam dan mulai menutup pintu. Ia segera mendesis ketika dirinya menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang melihatnya masuk.
"Kau takut?" tanya Vanessa dengan tawanya.
"Apa aku terlihat takut?" balas Rafael kasar, lalu mulai membantu menaikkan resleting pakaian Vanessa.
"Itu terlihat jelas dari desisanmu," balas Vanessa.
"Jangan berasumsi," ucap Rafael dan segera membantu Vanessa memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas belanja.
Disaat Rafael ingin keluar, Vanessa malah menahan pintu dengan tubuhnya dan menyilangkan kedua tangan di depan d**a seraya menatap Rafael. "Apa kau harus selalu membawa pistol?" Kedua matanya kini menatap jauh ke pistol yang Rafael sembunyikan.
"Pistol ini adalah pelindungmu."
"Kau pelindungku, bukan pistol."
Perkataan Vanessa membuat Rafael memandang sesaat. "Jika tanpa pistol ini, ka---"
DOR
Vanessa dan Rafael tersentak. Beberapa suara tembakan dari luar membuat Rafael segera melindungi Vanessa dan mengeluarkan pistolnya, lalu menodongkannya ke pintu. Bersiap-siap, jika ada yang membukanya.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Vanessa.
"Sepertinya mereka di sini," jawab Rafael. "Keluarkan ponselmu dan hubungi Jayden."
"Ponselku di mobil," jawab Vanessa.
"s**t!"
"Dengar Vanessa, kita akan segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Aku ingin kau tetap di belakangku dan jangan pernah meninggalkanku, mengerti?"
"Jika itu demi keselamatanku, maka akan kulakukan."
Setelah ia dan Vanessa berjanji, Rafael segera menyentuh gagang pintu dan keluar dari kamar mandi umum dengan hati-hati. Begitu sinar matahari membuat mereka melihat dengan jelas apa yang terjadi, kedua mata Vanessa dan Rafael terkejut melihat 3 pria yang terkapar tak berdaya di bawah dan seorang pria berkacamata hitam dengan pengawal di belakang sedang tersenyum menatap mereka berdua.
Pria itu segera membuka kacamatanya dan semakin memperlihatkan senyumnya pada mereka. "Miss me, baby girl?"
"James?"
Shit! He is back, batin Rafael kesal.