Part 3

1322 Words
Vanessa membuka pintu kamarnya dengan kasar. Ia berjalan ke arah kaca besar yang ada di sana dan dilihatnya wajah kanannya yang terdapat sedikit goresan akibat peluru yang melewati wajahnya. Ini tidak sakit, tapi sangat menakutkan. Wajar jika tubuhnya mendadak lemah dan ia begitu marah kepada Rafael. Pria itu benar-benar berada di luar batasannya. DUAR Vanessa segera menolehkan kepalanya dan melihat Rafael masuk dengan kotak P3K di tangannya. Vanessa tidak peduli. Ia berjalan mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Halo, James---" Ponsel Vanessa tiba-tiba menghilang karena Rafael segera mengambilnya dan menyimpannya di saku celananya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Vanessa. "Kau harus diobati sebelum menghubungi siapapun." "Aku tidak terluka," sanggah Vanessa. "Lebih baik kau keluar dari sini." Rafael tidak mengikuti perintah Vanessa. Pria itu menarik tangannya dan membuat gadis itu duduk di ranjang. "Apa yang kau lakukan?!" teriak Vanessa tidak terima. "Aku sudah menyelamatkanmu dari bahaya dan sudah seharusnya kau mengikuti apa perintahku saat ini." Vanessa tersenyum miring. Ia berdiri dari tempatnya dan menatap Rafael dengan tajam. "Siapa kau yang beraninya memerintahku? Lihat di mana kau berada, Rafael Xeaniro. Kau hanya pesuruh, tidak lebih." "Aku memang pesuruh dan dibayar oleh ayahmu, Nona Vanessa, tapi ke depannya aku yang akan membayar ayahmu untuk membuatmu ada di sisiku selamanya." Vanessa mengerutkan keningnya mendengar perkataan Rafael. Ia lalu tersenyum miring dan tidak peduli dengan segala perkataan aneh Rafael. Ia mengambil kotak P3K dari tangan Rafael dan segera mencari obat merah, tapi langkahnya segera dihentikan Rafael karena pria itu yang mengambil alih untuk menolesinya. Tidak ingin berdebat banyak, Vanessa diam saja ketika Rafael melakukan tugasnya. Ia melupakan fakta bahwa Rafael yang membuat luka ini. "Mereka akan terus mengejar kita, Vanessa, apalagi setelah mereka tahu di mana rumah ini. Aku akan meningkatkan keamanan di sekitar kamarmu mulai sekarang." Rafael pun selesai mengobati wajahnya dengan rapi dan cepat. Seolah pria ini sudah handal jika berurusan dengan luka. Mendengar perkataan Rafael, Vanessa jadi penasaran dengan hal itu. "Sebenarnya siapa yang mengejar kita?" "Bukan kita, tapi kau. Mereka menambahkanku karena jika aku kalah, kau akan berada di tangan mereka." "Jadi siapa yang mengejarku?" tanya ulang Vanessa. Selama ini ia hanya diam saja tanpa mengetahui siapa yang mengejarnya, sampai-sampai Rafael selalu berada di sisinya. "Kau tidak akan ingin tahu, Vanessa, karena kau tidak akan menduganya. Mungkin ekspresi kita akan sama saat ayahmu mengatakannya kepadaku." "Siapa?" tanya Vanessa semakin penasaran. Rafael tersenyum miring. "Meskipun kau mencari tahu lebih jauh, hanya ada empat orang yang tahu; ayahmu, ibumu, aku dan Jayden. Yang lain hanya menjalankan perintah, tapi tidak tahu siapa yang mereka hindari." "Bukankah sudah banyak nyawa yang terbuang karenaku? Sama seperti saat di Madrid?" Vanessa mengingat hari itu. Ketika ia melakukan study untuk laporan bisnisnya di Madrid. Saat itu ia lepas dari pengawasan Rafael dan semuanya mulai kacau. Ia hampir saja tertangkap jika Rafael dan yang lainnya tidak segera datang. Namun, itu tentu saja membuat beberapa pengawal mereka tertembak dan ada warga sipil yang terkena peluru pengincarnya. "Nyawa mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan nyawamu, Vanessa. Kau putri satu-satunya dan kau adalah calon tunangan Pangeran Kerajaan Inggris. Nyawamu sama berharganya dengan nyawa Pangeran bagi kami, bahkan lebih." "Jadi, jika aku dan Pangeran berada di ambang kematian dan hanya satu orang yang harus selamat, siapa yang akan kau selamatkan?" "Tentu saja, tanpa keraguan, aku akan menyelamatkanmu." "Kenapa?" "Karena ayahmu membayarku untuk melindungimu," jawab Rafael tanpa banyak pikir. "Sebaiknya kau istirahat, besok pagi ujian terakhirmu untuk semester ini." Selepas mengatakan itu, Rafaek keluar dari kamar Vanessa dan meninggalkan gadis itu dengan berbagai pertanyaan yang masih belum ia dapatkan jawabannya. ●●● Rafael meletakkan kotak P3K dengan kasar ke ranjangnya. Ia menaikkan lengan kemejanya sampai siku dan dikeluarkannya ponsel Vanessa yang belum ia kembalikan tadi. Dilihatnya ada panggilan dari James, calon tunangan Vanessa. Rafael mengabaikan panggilan James dan melemparnya ke kasur, lalu ia mulai menghubungi Dean. "Kenapa mereka bisa mengetahui keberadaan rumah ini? Apa yang sebenarnya kau dan pihak IT lakukan di sana?!" teriaknya emosi. Kejadian seperti ini membuat ia marah sampai mati. Rasanya ia tidak puas hanya menembak satu orang. "Kami mengecek kamera CCTV di mobil anda, Nona Vanessa dan Tuan Jayden. Lalu kami menemukan ada satu mobil dengan plat nomor yang tidak terdaftar sedang mengikuti kalian. Kami sudah mencoba untuk menghentikannya, tapi tiba-tiba saja sinyal terputus dan kami tidak memantaunya ataupun menghubungi anda, sekarang beruntung bagian teknisi kami sudah membenarkannya. Ada yang masuk ke sistem keamanan dan memasukkan virus." Rafael mengerutkan kening mendengar jawaban Dean. "Akhirnya mereka melakukan itu, sudah kau periksa alamat IP-nya?" "Kami sudah memeriksanya, tapi mereka sudah pergi sebelum kami tiba." "Kalian benar-benar tidak berguna, ini kesalahan kecil yang sangat fatal. Jika aku tidak bergerak cepat, maka mereka akan mendapatkan Vanessa. Cari tahu siapa yang membantu mereka dan bawa kehadapanku hidup-hidup." "Ingin memanggil Iam, Tuan?" Rafael mengerutkan keningnya. "Apa dia masih di Rusia?" "Dia berada di Paris saat ini," jawab Dean. Rafael menghela napasnya. "Panggil dia dan cari tahu siapa yang berani merusak keamanan DR, setelahnya tingkatkan keamanan." "Baik." Sambungan teleponnya terputus. Rafael mengembuskan napasnya dan melempar ponselnya ke ranjang yang bersebelahan dengan ponsel milik Vanessa. Tangan kanannya mulai merogoh pistol yang ia letakkan di samping kanan dan diletakkannya pistol itu di ranjang. Setelah itu ia membuka kemejanya dan melemparnya ke ranjang juga. Ia berjalan ke arah kaca dan mengamati bentuk tubuhnya yang indah, tapi terdapat luka tusukan yang ia dapatkan ketika melindungi Vanessa Madrid. Saat itu, ia beruntung dengan tubuhnya, ia bisa melindungi Vanessa dari belati sialan yang b******n itu bawa. Jika ia salah sedikit saja, maka belati itu akan berhasil melukai Vanessa. Tugas seorang Rafael Xeaniro saat ini adalah melindungi Vanessa, jika perlu dengan nyawanya. "Seharusnya kau mengembalikan pons---" Rafael dengan cepat menoleh ketika pintu kamarnya terbuka dan Vanessa sudah berada di ambang pintunya. Gadis itu terlihat diam mengamati dirinya dan Rafael dengan cepat menutupi bekas lukanya dengan tangan kanannya. "Apa kau tidak memiliki sopan santun, Vanessa?" Wajah Rafael kembali dingin. "A-aku hanya ingin mengambil ponselku," jawab Vanessa. Rafael berjalan ke sisi ranjangnya dan ia dengan cepat mengambil ponsel Vanessa, lalu memberikannya dengan cepat. "Kau terluka?" tanya Vanessa. "Tidak," jawab Rafael dingin. "Pergilah, kau harus istirahat." Rafael berniat untuk menutup pintu, tapi Vanessa dengan sigap masuk dan menutup pintu dari dalam. "Vanessa..." Vanessa perlahan mendekati Rafael dan ia menyingkirkan tangan Rafael dengan paksa, lalu melihat luka tusukan yang terlihat sangat sakit. "Kapan kau mendapatkannya?" "Itu bukan urusanmu." "Tentu saja ini urusanku. Jika kau terluka, siapa yang akan melindungiku." Kedua mata Vanessa melirik ke kotak P3K yang tadi dibawa Rafael dan mengambil salep agar tidak ada bekas luka. "Sepertinya aku pernah mendengar bahwa kau tidak ingin kulindungi," sindir Rafael. Mendengar hal itu hanya membuat Vanessa memutar matanya dan berjalan kembali ke arah Rafael. "Jangan salah paham, kau akan melindungiku sampai minggu depan. Setelahnya akan kubuat kau diberhentikan sebagai pengawalku."  "Lalu?" "Tentu saja aku akan mencari pengawal kompeten yang tidak memiliki luka tusuk seperti ini," sindir Vanessa seraya mengoleskan salep ke luka Rafael. "Kau meyindirku? Apa kau tidak tahu jika ini adalah tanda keseksian seorang pria." Vanessa menghentikan aksinya mendengar hal itu. Ia tersenyum miring dan menatap Rafael tajam. "Itu hanya pikiranmu, tapi aku lebih suka pria yang memiliki tubuh bersih untuk kunikmati di ranjangku." "Apa kau sedang menggodaku?" "Apa?" Vanessa merasa tidak percaya dengan pertanyaan Rafael. "Jangan terlalu percaya diri, aku lebih baik menggoda Chris Evans dibandingkan dirimu." "Dia tidak seseksi diriku, faktanya perempuan menyukai pria nakal sepertiku," balas Rafael. Vanesaa memutar matanya jangah dan memberikan salep yang dipegangnya kepada Rafael. "Dengar Rafael Xeaniro, jika kau berpikir aku sedang menggodamu saat ini, maka itu salah besar. Karena apa? Karena aku tidak bermain di ranjang dengan pria yang usianya terpaut jauh dariku dan tentu saja aku tidak melakukannya dengan pria yang memiliki bekas luka." "Jadi ini sebabnya kau memberiku salep agar lukaku tidak membekas?" Rafael memerhatikan salep yang tadi Vanessa berikan dan tersenyum miring ketika melihat Vanessa mengerutkan keningnya. "Kau ingin menunggu lukaku sembuh? Baiklah." "Kau memang devil yang sangat percaya diri." Akhirnya Vanessa memilih untuk pergi karena merasa emosinya akan murka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD