Part 2

1391 Words
Vanessa turun dari mobil Jayden dan menutup pintu mobil dengan kasar begitu kedua matanya melihat Rafael sedang berdiri menantinya di depan rumah. Ia memasang wajah tegasnya dan berjalan ke hadapan Rafael dengan penuh keganasan. "Bukankah tugas seorang pengawal melindungiku di belakang? Lalu kenapa kau malah berdiri di sini?"  "Bukankah kau tidak ingin kulindungi lagi, Ane?" "Jangan memanggilku dengan nama itu seolah kau mengenalku dengan dekat," respon Vanessa tidak terima dengan cara panggilannya. Sesungguhnya, demi ap apun hanya orangtua dan saudara Vanessa yang boleh memanggilnya seperti itu. "Kau saja boleh memanggilku dengan Rafa, kenapa aku tidak?" sahut Rafael. "Karena kau bawahanku dan aku bebas memanggilmu dengan sebutan apapun yang kuinginkan, bahkan aku bisa memanggilmu b******n jika aku ingin," balas Vanessa tak ingin kalah. "Kalau begitu panggil aku seperti itu karena memang itu panggilan yang cocok untukku, Vanessa Gabriella O'brian." Vanessa menatap Rafael dengan tajam dan ia semakin mendekat dengan pria itu. "Lihat saja, akan kupastikan Daddy berhenti mempekerjakanmu secepatnya!" "Aw..." Begitu Vanessa mendengar suara rintihan Rafael karena kakinya ia injak, gadis itu segera tersenyum jahat dan masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. "s**t," maki Rafael dan membuat Jayden tertawa melihat pertikaian antara Vanessa dan Rafael. Mereka berdua memang selalu bertengkar sejak pertemuan pertama mereka dan anehnya itu bisa bertahan selama satu tahun. "Aku cukup terkejut kau bisa bertahan menjaganya selama satu tahun ini," ujarnya pada Rafael. "Ayahmu memberiku bayaran yang tinggi dan aku tidak bisa menyia-nyiakan itu." "Hanya itu?" tanya Jayden. "Hanya itu," jawab Rafael yakin. "Baiklah, aku harap kau selalu menjaga Vanessa, tapi jangan melewati batas. Jika kau kesulitan, itu adalah sifatnya. Semua orang di keluargaku juga paham dengan sifatnya. Aku sendiri bingung kenapa sifatnya sangat berbeda dengan Mom." Jika memikirkannya kembali, Jayden bahkan pernah menduga bahwa Vanessa bukan adiknya, tapi itu tentu saja tidak benar mengingat ia sendiri yang melihat Vanessa lahir dan bagaimana wajahnya sangat mirip dengan orangtuanya. "Jika kupikirkan lagi dia memang berbeda. Sangat nakal dan keras kepala," ujar Rafael, lalu pergi meninggalkan Jayden. Jayden hanya menghela napasnya mendengar penjelasan Rafael. Lagipula perkataannya sangat benar. Tit Jayden terkejut dengan suara mobil, ia pun mulai menoleh dan tersenyum melihat mobil yang sangat ia kenali terparkir rapi di halaman. Ia pun berjalan ke teras depan dan melihat seorang gadis cantik yang mengenakan gaun merah berjalan ke arahnya dengan beberapa pengawal di belakang. "Bagaimana Vanessa?" tanya gadis itu. "Dia sudah kembali ke tempatnya," jawab Jayden. "Tidak merindukanku? Aku baru saja tiba dan kau hanya menanyakan Vanessa." Gadis itu bernama Leonor, Putri Asturias. Gadis berusia 20 tahun yang semua orang ketahui sebagai putri pertama dari Raja Spanyol dan pasangannya. Tentu saja ia merupakan suksesi pertama dari tahta kerajaan Spanyol. Ia tersenyum manis dan berjalan ke pelukan Jayden, kekasihnya. "Aku merindukanmu," ucapnya lembut. "Aku juga, jika Vanessa tidak membuat masalah, mungkin aku sudah mengunjungimu tadi," tanggap Jayden. Leonor tersenyum dan melepaskan pelukannya, lalu menyambar rakus bibir Jayden yang dengan cepat pria itu balas dengan sama rakus dan kasarnya. Keduanya saling berciuman, melepas rindu setelah kepergian Jayden ke Indonesia selama 2 minggu--untuk mengurus perusahaan yang akan ia pindahkan ke Barcelona dengan alasan bisa bersama Leonor yang berkuliah di Universitat Automona de Barcelona, salah satu lembaga pendidikan terbaik di Spanyol dan Uni Eropa. Ciuman kerinduan mereka segera berakhir ketika Vanessa yang sudah berganti pakaiannya menjadi pakaian biasa datang dan mengganggu mereka. "Kau menganggu saja, Ane," ucap Leonor kesal. Vanessa hanya tersenyum. "Maafkan hamba, Yang Mulia," ujarnya dengan manis. "Berhenti memanggilku seperti itu di sini, bagaimana dengan James?" tanya Leonor. "James masih di London, dia akan ke sini minggu depan," jawab Vanessa. Lalu ia berjalan ke sofa yang ada di ruang tengah dan duduk di sana seraya menyalakan televisinya. Leonor yang melihat itu segera menarik tangan Jayden ke sofa di samping Vanessa dan ia duduk dengan seksi di pangkuan Jayden. "Kau tidak merindukannya, Ane?" Vanessa menggeleng. "Aku tidak pernah merindukan seseorang," jawabnya enteng. "Benarkah? Tapi aku menduga jika dia kembali, kau akan melahap bibirnya dengan rakus," tebak Leonor manis. "Aku bertaruh Vanessa akan membawanya ke kamar, baby," sahut Jayden. Mendengar perkataan Jayden, Vanessa mulai menatapnya dengan tajam. "Aku tidak akan melakukan itu." Leonor yang mendengarnya hanya bisa tertawa dengan girangnya. "Ingin bertaruh, Ane?" "Tidak akan, lagipula aku dan James belum bertunangan," jawab Vanessa. "Tapi kalian sudah dijodohkan sejak kau lahir. Ingat, Ane, sekali kau menjadi pilihan keluarga kerajaan, maka itu akan melekat di hidupmu selama-lamanya." "Aku membenci keluarga kerajaan," ucap Vanessa. "Tentu saja kau berbeda," lanjutnya ketika sadar bahwa Leonor adalah anggota kerajaan. "Hei, girl, apa kau lupa Mom adalah keturunan bangsawan juga?" timpal Jayden. Vanessa memutar matanya jengah. Bagaimana bisa ia melupakan fakta bahwa ibunya adalah keturunan bangsawan kerajaan Inggris. Ia sangat mengingatnya dengan baik-baik dan itu juga alasan mengapa dirinya dijodohkan dengan James, salah satu pewaris kerajaan Britania Raya, meski perlu ia akui bahwa James tidak akan menerima gelar raja karena ia bukan suksesi pertama di dalam silsilah kerajaan. "Kupikir dia lupa, baby," ujar Leonor dan kembali melakukan aktifitas menciumnya kepada Jayden. Vanessa yang melihat itu merasa jengah. Ia pun mematikan televisi dan pergi ke dapur untuk mengambil ice cream kesukaannya dan duduk di atas meja makan dengan santai. Disaat ia tengah bersantai, ia mulai berpikir bahwa saat ini Jayden dan Leonor sudah masuk ke dalam kamar, menghabiskan waktu kebersamaan mereka. Ia hanya menghela napasnya. Mereka berdua benar-benar pengganggu di lingkungannya. "Apa pantas seorang gadis duduk seperti itu?" The hell is coming, girl. Vanessa memutar matanya jengah. Ia terlalu malas untuk berdebat lagi dengan Rafael. Akhirnya ia turun dari meja dan pergi berjalan ke halaman belakang, mencoba untuk menikmati tanaman yang ibunya tanam ketika rumah ini selesai direnovasi. "Apa sekarang kau mengabaikanku, Vanessa?" Vanessa kembali mendengar suara itu. Ia berbalik dan menatap malas ke arah Rafael. "Apa penting bagiku untuk peduli atau tidak kepada seseorang yang sudah berani menodongkan pistolnya kepadaku?" "Itu hukuman karena kau tidak mengikuti segala perkataanku," timpal Rafael. "Apa itu masuk akal?" Vanessa sedikit menaikkan nada bicaranya. "Kau melakukannya seolah aku adalah penjahat yang pantas menerima peluru dari pistol sialanmu itu." "Jika aku boleh meralat, siapa yang mulai melakukannya lebih dulu, Vanessa?" Vanessa terdiam dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya. "Bahkan aku tidak peduli." "Jika begitu, kau juga seharusnya tidak peduli." Vanessa hanya meresponnya dengan tatapan kesal dan pergi meninggalkan Rafael menuju halaman depan. Ia keluar menuju halaman dan bertekad untuk pergi jalan-jalan dengan berjalan kaki agar pikirannya tenang dan jauh dari kata Rafael. "Vanessa!" Vanessa berhenti bergerak ketika ia mendengar suara panggilan Rafael. Ia pun menoleh sekejap untuk melihat bagaimana wajah murka pria itu, karena wajah murka Rafael adalah bagian favoritnya. DOR Tubuh Vanessa mendadak kaku ketika Rafael melepaskan pelatuk pistolnya dan menembakkan peluru melewati wajahnya. Napas Vanessa seketika tercekat. Kakinya mendadak lemas. Ia mencoba untuk berdiri tegak, tapi tiba-tiba saja ia ambruk dan Rafael dengan cepat berlari untuk menahan tubuhnya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Rafael dengan lembut. Vanessa tidak bisa menjawabnya dan tepat saat itu beberapa pengawal datang, lalu mulai berlari melewati Vanessa. Gadis itu mencoba menoleh, melihat apa yang terjadi, akan tetapi Rafael menahan kepalanya dan membenamkan wajahnya ke d**a bidangnya. Dari ini semua, Vanessa dapat menduga apa yang sudah terjadi. Vanessa menggigit bibirnya, ia melepaskan wajahnya dari d**a bidang Rafael dan menatap pria itu dengan tajam. PLAK Dengan tamparan yang keras pada pipi Rafael, Vanessa merasa mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri. Ia pun berdiri tegak dan Rafael juga melakukan hal yang sama. "Berani-beraninya kau melakukan itu padaku, apa kau ingin membunuhku?!" teriak Vanessa tepat di depan wajah Rafael. "Aku tidak berniat melakukannya!" balas Rafael yang tampak emosi. Vanessa tidak berniat peduli. Ia pun pergi melewati Rafael dan kembali ke rumahnya. Tepat ketika kakinya menginjak teras depan rumah, Jayden dan Leonor yang mengenakan bathrobe sudah menunggunya. "Apa yang terjadi?" tanya Jayden kepada Rafael yang masih memegang pistolnya. "Aku hanya mencoba melindungi Vanessa." "Apa mereka ada di sini?" tanya Leonor. Rafael diam saja. Vanessa yang mendengar itu, tidak terlalu peduli dan masuk ke dalam rumah meninggalkan semua orang. "Apa kau melakukannya di hadapan Vanessa? Dan lihat wajahnya," tanya Jayden. Rafael tetap diam. "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak melakukannya di depan Vanessa?!" Jayden sedikit berteriak kali ini. Ia sangat emosi karena Rafael seakan sudah melewati batasnya. "Sayang," panggil Leonor yang mencoba menenangkan Jayden. "Aku hanya melakukan tugasku, jika kau tidak menyukai caraku, maka cari penggantiku," ucap Rafael akhirnya dan masuk ke dalam rumah. "s**t," maki Jayden. "Jika saja dia bukan Rafael Xeaniro, aku sudah menggantinya tanpa sepengetahuan Daddy."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD