SUAMI CACAT

1466 Words
"Sudah selesai?" "Hmm." "Ya sudah, sini, kita tidur dulu." Raffi sudah menyimpan handphone-nya kembali di dalam tas saat Mutia keluar dari kamar mandi dan mendekat ke tempat mereka tidur. "Bang Raffi, maaf ya tempatnya sederhana begini." "Ini lebih baik daripada aku tidur di trotoar kan? Sudahlah. Ayo tidur." Hangat, nyaman dan menenangkan rasa di dalam hati Mutia ketika Raffi mendekapnya. Ini pertama kalinya juga Mutia tidur semalaman dalam dekapan seorang pria. Teguh tidak pernah membiarkan dirinya mendapatkan sedikit kasih sayang setelah apa yang sudah Mutia berikan pada keluarganya. Awalnya Mutia bersabar karena dia yakin suatu saat nanti Teguh pasti akan mencintainya. Tapi yang didapatkan olehnya hanyalah talak di ujung hubungannya dengan Teguh. Bisa tidur semalaman dalam dekapan kakak tiri Teguh yang kini sudah berstatus sebagai suaminya, memang membuat Mutia tidur lebih pulas. "Kau sudah bangun?" "Hmm. Maaf Bang Raffi, aku kesiangan. Bang Raffi udah bangun dari tadi?" "Baru." Sebetulnya memang Raffi sudah bangun dari tadi dan biasanya Mutia memang bangun lebih awal tapi saat terdengar suara adzan di Musholla dekat tempat tinggalnya barulah dia membuka matanya. Mutia memang kelelahan dan rasa nyaman itu membuat dirinya tidur lebih lama. Ditambah Raffi yang sudah bangun tapi tidak mengubah posisinya membiarkan Mutia tetap ada dalam dekapannya, memberikan rasa nyaman tersendiri untuk wanita itu. "Sebentar, aku siapin makanan." "Sudah, itu gampang. Kamu mendingan mandi dulu saja, Mutia. Nanti kan kamu harus pergi? Lagian tadi malam kamu udah keluar. Nanti gak bisa salat Subuh kalau gak mandi." Di keluarga Prakoso, Raffi yang memang paling agamis. Dia juga yang sering mengingatkan pada Mutia di jam-jam ibadah untuk istirahat dulu sejenak dan beribadah. Mengenal Raffi memang membuat Mutia jadi ingat akan kewajibannya. Sungguh menenangkan hati Mutia dan dia makin yakin sekali meski fisik Raffi tidak sempurna, cuma sikap pria itu bisa membuat dirinya bertahan seumur hidup bersama dengan suaminya ini. "Bang Raffi bawa baju ganti, kan?" selepas solat Subuh, Mutia bertanya. "Bawa, ada tiga setel. Kenapa?" "Mau siapin baju buat Bang Raffi. Nanti kan kita mau berangkat. Yuk, mandi dulu, Bang." "Loh, aku ikut?" "Iyalah Bang. Kalau nanti bang Raffi di rumah sendirian, gimana kalau mau ke kamar mandi? Mau ngapa-ngapain? Ikut aja ya, biar aku juga nggak kepikiran ninggalin bang Raffi di rumah." Sungguh ini juga di luar pikiran Raffi. Dia tidak menyangka kalau Mutia berpikir panjang seperti ini. "Mutia, bukannya aku tidak mau ikut. Tapi kondisiku akan merepotkanmu dan akan membuatmu lambat." "Hihi, Bang Raffi berpikir begitu karena Bang Raffi belum pernah naik transportasi umum di Jakarta. Kan sekarang sudah banyak kok fasilitas untuk orang disabilitas. Lagian akan lebih nyaman kalau Bang Raffi ikut denganku. Sekalian kita jalan-jalan dan nanti pulangnya aku akan coba carikan tongkat untuk bang Raffi supaya lebih mudah nanti kalau mau ngapa-ngapain tidak harus pakai kursi roda terus." "Nah, ini bodohnya aku, Mutia. Harusnya aku bawa tongkatku tapi aku malah keluar dengan kursi roda. Bodoh banget kan?" lagi-lagi Mutia geli mendengar ucapan Raffi. "Justru aku bersyukur kalau Bang Raffi pakai kursi roda. Kalau pakai tongkat kemarin itu kan jalannya jauh Bang. Capek bangetlah tangannya, nanti sakit." "Tapi kan--" "Sst, tongkat cuma untuk mempermudah aktivitas kita di rumah aja." Mutia tak mau kalah soal ini. Suaminya sudah sangat baik sekali padanya dan dia tidak mau membuat Raffi dalam kondisi yang sulit sedangkan dulu saat mendiang ayah Raffi masih hidup selalu saja Raffi mendapatkan kehidupan yang enak. Mutia yang membayangkan tentang kesulitan dan perasaan Raffi berusaha agar dia bisa memberikan kehidupan pada suaminya sama seperti yang dulu. Di sini Mutia memang menganggap dirinya sebagai tulang punggung keluarga. "Ayo Bang Raffi, kita berangkat." Tapi memang tidak mengubah sikapnya yang selalu saja menghormati Raffi dan lembut pada pria itu. Sebuah sikap yang membuat Raffi memang sangat nyaman meski dia tidak tahu sampai kapan Mutia akan bersikap seperti ini padanya? "Hai Mutia. Wah aku dengar katanya kamu sudah menikah sekarang, ya?" "Iya Om Andi. Ini aku lagi sama suamiku." Untuk menghindari macet, Mutia sengaja mengajak Raffi berangkat pagi-pagi. Kebetulan saat ini ketika dia sedang beli nasi uduk untuk sarapan paginya dan Raffi, termasuk ada beberapa gorengan juga yang dibelinya, seorang pria yang juga tampak ingin membeli nasi uduk datang mendekat dan menyapanya. Tak malu Mutia memperkenalkan Raffi meski dari pandangan mata Andi dia tampak merendahkan Raffi. "Wah, Mutia manis-manis kok cari suaminya kayak gini sih?" "Hush, udeh lebih bagus die dapetin Raffi jadi suaminye, ganteng, kagak kayak elu bau rokok, asem, geseng badannye. Tambah duda anak dua, Ndi." Tapi bukan Mutia yang menjawab justru penjual nasi uduk yang lebih membela Raffi ketimbang pria yang sedang menyindir Mutia itu. "Dih, Mpok, ikut campur aja. Tapi mendingan gue, kan. Punya kerjaan biar cuman sopir taksi online. Tuh mobil ada nganggur di rumah, dua tahun lagi lunas. Hidupnya nyaman. Tiap hari kalo jadi bini gue, bisa dapat setoran dari naksi." "Lah, tapi pan mesti ngurusin anak lu yang badung-badung semue. Ape kagak Mutia cepet setruk entarnye? Mane kemaren anak lu yang pertama hampir digebukin orang gegara nabrak bocah, pan? Elu lagi, anak baru seumuran gitu dikasih motor. Utung tuh bocah yang ditabrak kagak ape-ape." "Dih, si Mpok sinis aje. Jangan gosip mulu Mpok kalo dagang. Tar seret rezeki." "Nah, ini Neng, nasi uduk sama gorengannye." Malas menanggapi Andi, wanita penjual nasi uduk itu sudah menyerahkan pesanan Mutia. "Makasih Mpok Asih. Berapa semua?" "Udeh kagak usah bayar, anggep aje kado dari Mpok ye. Selamet nempuh idup baru ame laki lu, moga samawa ye, Neng Tia." "Makasih ya Mpok. Jadi ngerepotin." Mutia menerima pemberian tetangga jauhnya itu. "Misi, Om." "Dih, panggilnya kok Om sih Mutia, Andi aja biar lebih akrab." "Neng, cepetan sono berangkat. Jangan dengerin ni duda lapuk." Untungnya memang Mpo Asih yang tahu bagaimana sikap Andi menyelamatkan Mutia sehingga Mutia bisa menyingkir dari Andi. "Bang Raffi, kok diem aja sih? Aku nungguin diajak ngobrol malah Bang Raffi nggak ngomong-ngomong." "Dia menyukaimu, Mutia?" Saat mereka sudah jauh keluar kampung dan kini sedang jalan di trotoar menuju ke halte, Raffi memberanikan diri bertanya. Tadi memang dia diam saja. Makanya membuat Mutia tidak enak dan mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya. "Ah, Om Andi? Dari zaman aku SMA dia emang genit Bang. Sering ngegodain anak-anak remaja. Tapi Ibu udah kasih tau aku kalau dia itu orangnya nggak bener. Soalnya dia udah nikah itu lima kali. Tiga nggak ada anak tapi dari dua pernikahannya ada anak. Terus banyak orang yang bilang juga kalau dia itu suka KDRT sama Istrinya. Aku nggak tahu sih, cuman aku juga nggak suka ama dia. Nggak sreg dari dulu." Mutia tadinya memang ingin membahas ini tapi dia tidak mau bicara sebelum Raffi bertanya. "Kayaknya dia nggak suka ya sama aku?" "Ya biarin, Bang. Kalau kita ngarepin semua orang suka sama kita ya nggak akan pernah damai hidup kita." Mutia bicara sambil mendorong kursi roda Raffi naik ke halte lalu saat dia mengantri, Mutia membungkukkan tubuhnya dan berbisik pelan di telinga Raffi. "Nggak peduli berapa orang yang benci Bang Raffi tapi yang pasti aku sayang sama suamiku ini." "Mutia, kamu tahu kamu baru aja mengecupku di depan banyak orang?" Mutia tadinya ingin berdiri tegak tapi Raffi sudah memegang tangannya dan bicara sambil melirik wajah Mutia. Tersipulah Mutia dengan senyum di bibirnya yang kembali membuat Raffi gemas. "Makasih buat kecupan balasannya, Bang Raffi. Tapi harusnya jangan di pipiku, tapi di bibirku," lagi dan lagi Mutia berhasil membuat mood Raffi jadi lebih baik dan pria itu sudah tersenyum tak ada rasa berat lagi di hatinya. Suasana di antara mereka sudah cair lagi sejak kejadian saat antri masuk halte tadi. Karena mereka sampai lebih cepat mereka sempat duduk-duduk dulu di luar kantor dan memakan bekal nasi uduk mereka. Mutia tak membiarkan Raffi makan sendiri Mutia menyuapinya. Hubungan mereka terlihat semakin baik seakan-akan memang tidak akan ada masalah yang akan mengganggu perjalanan rumah tangga mereka. "Dengan Ibu Mutiara kasih?" "Iya benar." Dan kini keduanya sudah masuk ke dalam gedung, untuk bertemu dengan seseorang yang sudah mengundang Mutia. Istri Raffi sudah memberikan datanya dan kini mereka diminta untuk menunggu sebelum seorang sekretaris mengizinkan mereka masuk ke ruangan seseorang. "Mutia kamu masuk aja ke dalam sana. Aku biar tunggu di sini." Alasan Raffi dia tidak mau mengganggu Mutia dan dia khawatir kehadirannya akan membuat Mutia justru repot dengan dirinya bukan fokus dengan karirnya. "Gapapa Bang, ikut aja. Soalnya bosnya laki-laki dan lebih enak kalau ada Bang Raffi di sampingku." Kata-kata yang membuat Raffi tertegun. Dia pun setuju untuk masuk dengan Mutia. "Boleh nggak sebentar aku ke kamar mandi? Soalnya dari tadi pagi aku nahan, Mutia." Paham Mutia. Kamar mandi di rumah petakannya bukan closet duduk. Makanya dia mengerti apa yang dirasakan oleh Raffi. "Oh, iya." Raffi tidak mau diantar karena memang ada kamar mandi khusus untuk kaum disabilitas di lantai itu. Setelah berada di dalam kamar mandi, Raffi memang tidak melakukan hajat yang tadi dikatakannya pada Mutia dia justru kembali mengambil handphonenya. [Perubahan rencana test ketiga. Modifikasi. Karena dia memintaku masuk.]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD