TAK BISA MENUNGGU

1106 Words
"Ibu Mutia, maaf Bapak Jefri tidak bisa menunggu lama-lama. Beliau sangat sibuk sekali dan akan ada rapat sekitar sepuluh menit lagi. Jika Ibu masih ingin bertemu dengan beliau diminta masuk sekarang." Raffi sudah sekitar lima menit di kamar kecil dan dia belum kembali. Mutia masih menunggu di luar ruangan calon bosnya dengan perasaan tidak enak juga karena orang penting jadi harus terpaksa menunggu dirinya. Padahal seharusnya Mutia yang butuh, dia yang harus yang menunggu. "Begini saja Bu, kalau nanti suami saya sudah keluar dari kamar mandi, boleh minta tolong diantarkan ke dalam ruangan?" Mutia kini mencari jalan pintas seperti ini dan dia juga sudah mengirim pesan pada Raffi. "Baik, nanti akan saya sampaikan padanya." [Bang Raffi, maaf. Kata sekretarisnya Pak Jefri akan ada rapat sekitar sepuluh menit lagi jadi aku diminta masuk. Nanti kalau Bang Raffi sudah selesai tolong langsung masuk, ya Bang.] Bukan karena Mutia tidak percaya pada sang sekretaris yang akan melakukan apa yang tadi sudah diminta oleh Mutia. Tapi ini lebih ke arah menghormati Raffi dan dia tidak mau membuat Raffi merasa tidak enak. [Maaf Mutia, perutku sakit jadi aku agak sedikit lama.] Barulah setelah mendapatkan balasan dari Raffi, Mutia mengikuti wanita itu menuju ke satu ruangan yang terlihat eksklusif di lantai tersebut. "Pak Jefri, ini Ibu Mutiara Kasih." "Oh, selamat pagi Ibu Mutia, silakan duduk." Jefri dengan jas rapi duduk di kursi kerjanya terlihat begitu gagah dan dia memiliki fisik yang tegap berisi, kulitnya putih sangat terawat, ciri khas pria metropolis yang ada di kota-kota besar. "Selamat pagi Pak Jefri, kenalkan saya Mutia." "Oke, apa kabar Ibu Mutia?" "Baik, Pak." "Saya sudah lihat naskah Ibu. Hasilnya sangat bagus dan kami sangat menyukainya. Lalu ada produser juga yang sudah ingin mengangkat naskah Ibu untuk di-filmkan. Tapi kami tidak bisa membayar banyak di sini. Sepuluh juta. Itu harga naskah yang bisa kami bayar. Kemarin staf saya juga pasti sudah menjelaskan di telepon bukan?" "Iya di pesan singkat, saya sudah dapat jawabannya dan tidak masalah dibayar segitu juga." Harganya memang sangat rendah apalagi Mutia hanya penulis pemula tapi dibayar segitu sudah lumayan karena mungkin saja penawaran akan lebih murah lagi jika naskah dibeli oleh rumah produksi yang lebih kecil. "Baiklah, kemarin Ibu sudah setuju dan DP dua setengah juta sudah dikirimkan ke rekening Ibu, kan?" "Benar, Pak Jefri!" Mutia pun tersenyum di saat pria di hadapannya kini duduk bersandar di kursi kerjanya sambil mengamati Mutia. "Ibu Mutia, tapi melihat kepribadian Anda dan sikap Anda yang sangat kooperatif saya bisa loh naikin harga naskah Ibu jadi dua kali lipat." "Oh, ya?" Mutia dengan polos matanya berbinar-binar menatap Jefri dan dia terlihat sangat senang sekali. "Saya mau Pak Jefri. Apa ada persyaratan khusus untuk itu?" “Wah, lumayan kalau dapat segitu! Bisa benerin kamar mandi dan ganti kloset supaya Bang Raffi nggak kesulitan lagi. Habis itu bisa bikin bak mandi dan pegangan di pinggir pintu kamar mandi supaya kalau Bang Raffi ke kamar mandi bisa sambil berpegangan gitu dan harus pasang shower. Biar Bang Raffi enggak harus nyiduk air di dalam ember!” Yang dipikirkan oleh Mutia adalah bagaimana cara dia bisa memudahkan dan menyenangkan hidup suaminya. Mutia ingin memenuhi semua kebutuhan suaminya. Jelas saja itu kan membutuhkan biaya jadi dia sangat antusias sekali jika harga naskahnya bisa ditambah. "Tentu saja ada syarat khusus. Tapi kurasa itu tidak sulit Ibu Mutia. Saya yakin Anda pasti bisa memenuhinya. Dan bahkan, jika hasilnya memuaskan saya bisa membayarnya tiga kali lipat jadi tiga kali nominal yang seharusnya Ibu terima." "Benarkah?" mata Mutia tampak berbinar-binar dan dia sangat ingin sekali bisa memenuhi syarat-syarat itu. "Kalau begitu, apa syaratnya Pak Jefri?" Mutia makin larut dalam pembicaraan di saat Jefri justru tersenyum simpul. "Bu Mutia bisa berdiri dulu sebentar?" "Oh, iya." Mutia tak tahu apa yang diinginkan Jefri tapi dia sudah melakukan yang diperintahkan pria itu. "Bagus! Bisa Bu Mutia membuka celana panjangnya?" "Eh, apa?" Mutia sontak kaget mendengar ucapan dari Jefri barusan. Permintaan itu bukanlah sebuah permintaan yang wajar untuknya. "Katanya mau dapat bayaran tiga kali lipat? Ya itu syaratnya harus buka celananya dulu." "Pak Jefri. Anda jangan main-main, ya!" Mutia sudah memicingkan matanya pada pemegang kekuasaan tertinggi di kantor itu yang kini tersenyum simpul. "Dua puluh juta jika bisa memberikan pelayanan padaku dan akan ditambahkan sepuluh lagi jika bisa memberikan kepuasan. Tapi bagaimana itu bisa saya dapatkan kalau Ibu tidak mau membuka celananya? Kan inti kepuasanku ada di sana!" "Maaf Pak Jefri tapi permintaannya Anda itu melecehkan wanita dan saya tidak akan mau menerimanya!" “Mutia, jangan munafik. Kau butuh uang kan?” Jefri sudah bicara non formal. "Kontrak yang pertama saja, Pak! Kita profesional." Mutia tidak mau. Dia memilih untuk duduk lagi dan menatap tegas pada Jefri yang kini terkekeh. "Sayangnya tidak bisa Mutia. Karena kau sudah meminta untuk dijelaskan tawaran nomor dua dan tiga, maka tawaran pertama itu batal jika kau tidak mau memenuhi yang tadi kuminta." "Baiklah kalau batal tidak apa-apa. Saya akan kembalikan uang Bapak!" "Sepuluh kali lipat!" "Apa?" Kaget mutia. Yang ditransfer staff keuangan di kantor Jefri baru dua setengah juta itu pun belum dipakai oleh Mutia karena kemarin dia belanja dan naik taksi itu masih pakai uang dari peninggalan orang tuanya. Dan sekarang dia dirongrong uang senilai dua puluh lima juta. Kalau harus membayar sepuluh kali lipat begitu, dari mana Mutia dapat uang sebanyak itu? "Anda gila! Apa yang Anda lakukan ini sangat merendahkan saya dan saya tidak mau melakukannya, saya akan melaporkannya!” "Sayangnya tidak bisa Mutia. Kau harus membayar sebanyak itu jika kau tidak bisa memenuhi apa yang kuinginkan." Jefri pun sudah memicingkan matanya dan duduk tegak saat ini. "Security-ku ada di bawah dan kau tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini jika kau tetap ngeyel. Dua puluh lima juta harus kau bayar sebagai tanda pembatalan kontrak. Dan itu sudah ada di surat kontraknya.” "Tapi saya belum baca surat kontrak itu!" "Kau masuk ke dalam ruangan ini artinya kau sudah membaca surat kontraknya." Jefri bicara sambil membuka laci dan menunjukkan berkas kontraknya sambil tersenyum seperti sebuah senyuman iblis. Kesal Mutia karena saat ini dia benar-benar dijebak dan sudah mengepalkan tangannya penuh emosi. "Buka celanamu! Kasih aku nikmat liangmu, aku akan memberikan apa yang harusnya kau dapatkan. Lebih malah, kau bisa tenar lho Mutia!" Tentu saja ini bukan sebuah pilihan untuk Mutia. Dia tidak mau melakukan hal macam itu. "Jangan mimpi!" makanya dia menjawab tegas. "Kalau begitu aku akan melaporkanmu ke polisi karena kau sudah mencederai perjanjian kontrak kita." “Bagaimana ini? Bang Raffi!” Mutia sudah ketakutan. "Sekarang lakukan yang kuinginkan. Buka celanamu dan puaskan aku!" tegas Jefri dengan tatapannya yang membuat Mutia semakin benci padanya. "Waktumu hanya tinggal lima menit lagi sebelum aku ke ruang rapat! Jangan membuatku menunggu, Mutia!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD