MAAF DIA BANGUN

1710 Words
MSC3: MAAF DIA BANGUN "Mutia, kamu yakin soal ini?" Raffi hanya ingin memastikan. Karena dia memposisikan dirinya sebagai Mutia, Raffi tahu istrinya pasti canggung. "Yakin!" "Mutia maksudku kamu nggak harus melakukan ini karena kewajibanmu. Aku bisa kok berusaha ke kamar mandi sendiri." "Yang pertama kondisi kamar mandinya memang tidak memungkinkan, Bang. Sangat licin dan aku tahu gimana kamar mandi di rumah almarhum Ayah jauh banget dibanding di sini. Dan yang kedua memang Bang Raffi ini kan suamiku jadi ya namanya suami istri, Bang, suka duka bersama." Yah, namanya juga rumah petakan 3x10 meter termasuk halaman. Tak banyak yang bisa diharapkan. Kamar mandi dengan toilet jongkok dan pancuran air alasnya cuman ember besar. Bagaimana Raffi bisa berpegangan di dalam sana? Luasnya juga cuma 1,25x1,25 meter. "Ya aku ngerti tapi maafkan aku ya, Mutia." "Enggak ada yang perlu dimaafin, Bang. Bentar aku taruh kursi plastik di dalem dulu." Mutia menaruh kursi untuk tempat duduk Raffi. "Aku udah tahu konsekuensinya dan aku nerima. Jadi, udah yuk, aku bantu biar Bang Raffi bisa cepet istirahat." Mutia ikhlas. Meskipun hatinya masih campur aduk cemas dan karena ini pertama kalinya wajar segala sesuatu yang pertama kali membuat gerogi. Mutia berusaha terlihat baik-baik saja saat membantu Raffi membuka kaosnya. "Aku beneran minta maaf padamu, Mutia." "Udah Bang Raffi nggak apa-apa." Lagi Mutia mengingatkan sambil kini mendekat pada Raffi dan mendongak. "Bang Raffi, pegangan ya, angkat dikit panggulnya aku mau turunin celananya." Rasa makin berdebar diantara keduanya. Mutia yang canggung, Raffi yang juga kikuk saat satu persatu kain ditubuhnya dilepaskan, jelas membuat debaran yang berbeda. "Mu-Mutia, maaf ya, a-aku gak seharusnya bikin dia bangun, tapi ini gak terkontrol." "Eh." Wajah Mutia memerah karena diingatkan dengan sesuatu yang menarik perhatian matanya juga. Ada-ada saja yang terjadi di antara mereka. Niatnya Raffi juga mengontrol dirinya, tapi sulit. Tangan Mutia yang menyabuni tubuhnya memberikan rangsangan sendiri sehingga tak terduga bagian yang seharusnya tidak bangun jadi terganggu. Mutia sejatinya juga tidak tahu ukuran yang sebenarnya karena saat tadi sudah membuka pakaian Raffi bagian itu juga sedikit terisi. Semakin lama semakin menegang. Dan ini membuat Raffi makin terlihat bingung dengan tubuhnya. "Syukur kalau begitu berarti suamiku normal, ya. Dan akhirnya aku punya suami yang tertarik pada istrinya yang bau, kusam dan gak cantik ini." Mutia tahu seberapa kacau pikirannya melihat milik Raffi yang juga baru pertama kali dilihatnya. Suami sebelumnya tak pernah menunjukkan itu padanya. Tapi Mutia yang canggung, tak membuat Raffi down. Selalu saja bisa membuat suatu candaan diantara mereka. Memang itu tidak membuat bagian yang panjang itu mengecil. Apalagi saat Mutia mulai menyabuni di bagian-bagian paling bawah. Berkali-kali Raffi juga minta maaf karena bagian itu terus saja seperti mengganggunya dan kadang goyang-goyang sendiri. "Bang Raffi, kalau sudah panjang begitu dia artinya mau bukan?" Mutia bertanya sambil mengambil gayung. "Ehm--" Raffi tak bisa menjelaskan. "Tenang saja Mutia, aku tidak akan memaksamu melakukan itu. Aku akan membuatnya mengecil lagi." "Tapi kita sudah menikah dan itu kewajibanku. Maaf ya Bang, aku lupa harusnya tadi masakin air panas dulu jadi ini pakai air yang dari keran langsung," jawab Mutia yang sudah siap dengan gayung berisi air untuk menyiram tubuh Raffi pelan-pelan. Dia membersihkan sabun yang menempel. "Enggak apa-apa. Aku juga jarang kok mandi air hangat. Dan soal itu, tenang aja, kalau kamu memang belum siap melakukannya sekarang aku tidak akan memaksa. Kita tinggal tunggu sampai suatu saat nanti kita berdua memang punya keinginan yang sama." Sikap Raffi yang tidak mau menyusahkan Mutia memang memberikan kelegaan sendiri bagi Mutia. "Bang Raffi, aku udah mandi. Kalau memang kita mau melakukannya sekarang aku siap kok." Tapi Mutia tahu diri kalau itu juga kewajibannya sebagai seorang istri. Selepas dia memandikan Raffi dan memakaikan pakaiannya, Mutia membersihkan dirinya dan tadi ke warung dia juga membeli sabun, sampo dan kebutuhan mandi yang lumayan wangi. Semuanya untuk membuat suaminya merasa senang. "Mutia, kubilang--" "Bang, aku cuman nggak tahu gimana cara memulainya. Karena aku belum pernah ngelakuin itu. Ehm, tapi aku siap kalau harus ngelayanin Bang Raffi. Cuma maaf ya, Bang, aku nggak cantik dan pas-pasan. Padahal orang kayakBang Raffi harusnya dapat istri yang cantik yang seenggaknya punya kulit putih kayak bang Raffi," seru di bibir Mutia. “Hihi, kenapa liat senyumnya makin berdegup, ya? Bang Raffi memang gak bisa jalan. Tapi kulihat tubuhnya kekar dan saat tadi aku memandikannya, memang otot-otot tubuhnya menggoda. Aku tidak tahu bagaimana cara dirinya melatih tubuhnya dengan kondisi fisiknya yang tidak normal tapi bisa membuatnya punya pahatan tubuh yang bagus jauh dari Teguh deh. Gak buncit.” Yang ini adalah bisikan dalam hati Mutia karena tubuh Raffi memang lebih berisi dan berotot ketimbang Teguh. Mutia memang belum pernah melihat Teguh polosan seperti Raffi tapi saat mereka menggunakan baju pun bisa dibayangkan. Teguh itu agak buncit sedikit perutnya meskipun tidak terlalu. Tapi lemak di perutnya membuatnya tidak memiliki otot yang kotak-kotak bidang seperti Raffi yang tangannya juga kekar. Perut Raffi rata berbentuk, seakan-akan dia memang selalu melakukan workout. Sejujurnya ini membingungkan untuk Mutia tapi juga memberikan rasa sendiri karena seperti wajahnya terbakar kalau dia melihat Raffi. Untung saja kulit Mutia ini eksotik. Tidak putih, tapi khas orang Indonesia, sawo matang. Justru Raffi yang lebih putih dari dirinya. Pria itu jarang keluar rumah sehingga kulitnya memang halus, lembut dan terawat. Wajahnya juga bak model yang licin dan bersih. Mutia juga bingung bagaimana Raffi merawat kulitnya. Yang pasti dirinya canggung dan sejujurnya minder dengan ketampanan suaminya. Makanya tadi Mutia bicara seperti itu. "Jangan bilang begitu, Mutia. Sini deh!" Raffi menarik pelan lengan istrinya meski ragu dia juga menggerakkan tangannya mengelus rambut Mutia. "Harum dan wangi, jangan pernah bilang lagi ya kalau kamu itu bau. Istriku ini wangi banget. Tambah rambutnya halus, panjang dan tebal. Aku suka wanita yang kulitnya seperti dirimu. Gak usah pakai cream pemutih, ya. Kulit begini khas wanita Indonesia." "Hihi, Bang Raffi bikin aku ge-er." Mutia merinding karena sentuhan tangan Raffi yang membelai rambutnya juga mengelus wajah Mutia membuat gelenyer tersendiri yang bikin bibirnya tak bisa menyembunyikan senyum bahagia. "Aku serius. Aku yang harusnya merasa sangat beruntung sekali kamu mau menjadi istriku. Dan sebenarnya ada kecemburuan dariku waktu kamu masih jadi istrinya Teguh. Beruntung sekali Teguh punya istri seperti dirimu." "Hah?" Mutia tak percaya tapi Raffi menceritakan apa yang memang ada dalam hatinya. Karena sejak awal dirinya melihat Mutia dan bagaimana wanita itu bekerja keras di rumah orang tuanya, ada rasa iba di dalam hati Raffi. Lama-lama karena sering bicara dengan Mutia, dia merasa bahwa Mutia adalah wanita yang baik. Dan semakin sering mengobrol dirinya memang mulai memiliki chemistry lebih pada Mutia karena perhatian tulus gadis itu padanya. "Aku sering sekali bilang dalam hatiku kalau aku nggak cacat mungkin aku akan mengambilmu dari Teguh dan menikahimu." Makanya ada perasaan sayang ketika melihat Mutia disia-siakan oleh Teguh. Kejujuran Raffi membuat Mutia sulit menutupi kebahagiaan di hatinya. Itu tampak dari air mukanya yang makin terlihat cerah. Mutia tersipu dan entah kenapa rasa hatinya seakan membuatnya melayang tinggi. Mutia yang baru diceraikan oleh Teguh tidak sama sekali merasa kehilangan dan sedih. Justru dia merasa bersyukur sekali sudah tak lagi berstatus istri adik suaminya yang sekarang. "Makasih ya Bang Raffi udah terima aku." "Aku yang makasih kamu sudah mau menjadi istriku dan maaf ya kondisiku seperti ini tapi aku tidak akan lupa kalau aku harus menafkahimu. Aku akan mencoba mencari kerja dan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk cari uang." "Ssst, jangan mikirin uang. Kurasa yang kudapatkan sudah lebih dari cukup dari kontrak bukunya, Bang. Kalau kita berhemat kita bisa gunakan uang itu lebih lama." "Mutia, tapi--" "Bang Raffi, malam ini, apa mau melakukannya?" tanya Mutia yang kembali mengingatkan apa yang membuatnya berada di hadapan Raffi sekarang, sudah mandi dan sudah wangi. "Kamu yakin?" "Iya, aku siap, Bang." Mutia tak tahu apakah dia benar-benar siap atau dia hanya tergoda sesaat dengan tubuh Raffi.Mutia bingung. "Sini, mendekat lagi kalau begitu. Kita mulai ya." Kata mulai malah membuat Mutia makin menegang. "Owh, Bang." Setelah Raffi memanggilnya, pria itu mulai mencumbunya. Satu kecupan ringan diberikan oleh Raffi ke bibir Mutia yang entah kenapa langsung membakar tubuhnya. Raffi dengan insting seorang laki-laki, juga menggerakkan tangannya masuk ke dalam pakaian istrinya. Menyentuh kulit yang memang belum ke titik sensitif tapi sudah membuat Mutia berdiri semua bulunya. Rasa itu membuat Mutia tidak berhenti untuk mengeluarkan suara-suara. Sampai akhirnya tangan Raffi menyentuh dua bukit yang selama ini belum pernah terjamah oleh siapapun di saat bibir Raffi masih menikmati bagian wajah Mutia. Sentuhan yang menimbulkan implus listrik tak terkendali di tubuh Mutia. Dia baru pertama kali disentuh oleh laki-laki makanya tak bisa mengendalikan dirinya lebih lama. Mutia belum bisa tenang menikmatinya. "Aaaaakh." Sehingga lengkingan dahsyat dan badannya yang menegang seakan-akan mengeluarkan sesuatu padahal Raffi belum menjamah bagian bawahnya. Hanya memberikan rasa di bagian atas sudah membuatnya terkulai lemas dan ngos-ngosan. "Sudah enak?" "Huh?" Pertanyaan yang membuat Mutia bingung di saat suaminya justru tersenyum padanya dan memberikan satu kecupan lagi di bibirnya. "Mutia mau ganti pakaian dalam yang bawah dulu? Maaf ya, aku gak bisa antar ke kamar mandi dan membersihkannya karena kondisiku." "Eh, aku--" "Kamu baru aja ngeluarin rasa, Mutia. Maksudku sampai ke puncak kenikmatan. Biasanya kalau suami istri melakukan itu yang dicari ya rasa yang kayak gitu. Jadi kamu udah puas." "Tapi kan Bang Raffi belum--" "Tidak malam ini, Mutia. Aku tidak akan masuk malam ini, yang penting kamu sudah puas dulu." "Terus Bang Raffi gimana?" Mutia adalah wanita yang tidak polos-polos amat dan tahu kalau harus ada hubungan yang membuat milik Raffi masuk ke dalamnya. Tapi dia belum disentuh sampai sana karena tangan Raffi sangat hebat sekali sehingga baru pemanasan saja istrinya sudah dapat satu kali. "Nanti Mutia. Nanti kalau kamu sudah semakin yakin padaku dan beneran sudah mau, juga memintanya padaku." Mutia sudah sangat yakin pada Raffi dan dia tahu kalau Raffi adalah suami yang terbaik untuknya. Tapi keyakinan Mutia ini belum membuat Raffi ingin melakukannya sekarang. Dia justru meminta Mutia untuk segera ke kamar mandi dan mungkin mengganti bagian bawahnya karena itu sangat basah sekali. Tak akan nyaman untuk tidur. Mutia awalnya tak enak karena Raffi belum dapat apa-apa tapi pria itu meyakinkan kalau dirinya tidak apa-apa. Akhirnya Mutia mau mencuci bagian bawahnya di saat Raffi justru mengambil handphonenya di tas yang ada di sampingnya. Mereka tidur dengan kasur lipat di lantai. Raffi kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan wajah yang terlihat serius. [Lolos ujian kedua. Persiapkan untuk ujian ketiga besok!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD