Meggie menatap Bram setelah berhasil mengendalikan dirinya kembali.
“Baiklah. Dan aku ingin memulainya dengan … Makan,” katanya dengan wajah yang terlihat menggemaskan.
Mendengar ucapan Meggie, Bram tertawa. “O ya, aku lupa dengan selera makan Nona Dirga yang cukup membuat iri para wanita. Aku akan lihat mengapa mereka merasa iri dengan selera mu yang satu itu. Ayo kira ke ruang makan!” kata Bram mendahului Meggie.
Sebuah wadah untuk memasak terletak di ujung meja, sementara mangkuk-mangkuk yang tertutup terletak di sekitarnya.
Bram menarik sebuah kursi untuk Meggie kemudian dia mengikat sebuah celemek untuk melindungi pakaiannya.
“Tunggu sebentar!” kata Meggie dan dia segera mengambil kameranya.
Bram sudah mulai dengan kegiatannya menyiapkan makanan untuk mereka sementara Meggie mengikuti dengan kameranya.
Bram terlihat tidak tenang sekaligus merasa kesal karena suara jepretan kamera membuatnya terganggu. Dan setelah beberapa lama, Bram mulai mengabaikan suara kamera dan juga Meggie.
Secara berturut-turut Bram mulai menyiapkan masakannya dan begitu selesai dia menaruhnya di mangkok-mangkok poselen yang sangat indah.
Sejak Bram menyelesaikan masakannya, Meggie mulai mencium bau yang sangat sedap dan mengundang selera untuk segera menikmatinya. Dan dia tidak perduli ketika mendengar suara Bram yang geli.
“Aku gembira karena mengetahui kelemahan mu Meg,” katanya tertawa sementara Meggie tidak perduli.
Mereka menikmati makan malam bersama dalam kebisuan dan Bram tertawa kecil melihat nafsu makan Meggie yang membuatnya tercengang.
“Bagaimana caranya agar makanan yang sudah masuk kedalam tubuhmu tidak mengendap dan membuatmu gemuk?” tanyanya heran.
“Dengan berolah raga. Dan aku tidak bisa berdiam diri dalam waktu lama,” jawab Meggie menyelesaikan makannya.
“Aku tidak perlu bertanya apakah kau menikmati masakanku bukan?” tanya Bram tersenyum.
Meggie tertawa mendengar ucapan Bram. “Aku tidak mengira seorang pimpinan perusahaan besar bisa meluangkan waktu untuk memasak.”
Bram menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Meggie. “Apakah mereka tidak perlu makan?”
“Perlu. Tapi mereka pasti bisa memberi perintah pada pelayan. Jangan katakana kau tidak mempunyai pelayan atau koki.”
“Aku punya. Tetapi meraka tidak tinggal di sini. Mereka baru akan melakukan pekerjaannya ketika aku mengadakan jamuan keluarga.”
“O.”
“Aku mempunyai sari apel dan anggur. Apakah kau mau meminumnya? Atau kau perlu minuman yang mengandung alkohol?”
“Sari apel, terima kasih. Tidak. Aku tidak menyukai minuman yang beralkohol. Minuman favoritku adalah air putih dan jeruk,” jawab Meggie tertawa.
“Kopi?”
“Tidak. Aku tahu kau akan mengatakan bagaimana orang tidak menyukai kopi, tapi memang itulah kenyataannya,” jawab Meggie mengedikkan bahunya.
“Hidup bersih, heh?”
“Entahlah.”
Bram menuang sari apel ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Meggie yang duduk di sebuah sofa yang dilapisi kulit dan dia mengambil tempat di depannya sehingga mereka duduk berhadapan.
Meggie meminum sari apel seteguk dan merasakan ketajaman rasanya dan menatap Bram curiga. “Yakin kau tidak menambahkan alcohol ke dalamnya?”
“Untuk apa aku berbohong. Mungkin karena kau lebih menyukai sari jeruk sehingga sari apel terasa aneh di lidahmu,” jawab Bram tersenyum.
“Aku rasa itu adalah pokok pembicaraan tentang pengenalan Bram. Dan aku ingatkan bahwa yang bertanya adalah aku sementara kau hanya menjawab dan menjelaskan,” kata Meggie mencoba menghindari pikiran yang berbahaya.
“Jadi?”
“Ternyata ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentang dirimu, Bram.”
“Ada banyak yang tidak kuketahui tentang diriku sendiri, tetapi di luar … Banyak sekali oang-orang yang mengira sudah mengenal diriku secara mendalam sehingga dengan bebasnya mengungkap apa yang menurut mereka sesuai dengan kenyataan,” jawab Bram dengan suara dalam. “Barangkali kita bisa mengetahuinya bersama-sama Meg.”
Tubuh Meggie menjadi hangat dan dia segera mengembil kamera serta tas kerjanya. Kemdian dia mengeluarkan recorder dan menyetelnya. Hal itu membantunya untuk bersikap professional.
“Karena itu aku ada di sini, Bram,” kata Meggie mengingatkan Bram dan juga dirinya.
“Dalam banyak hal, kau tetap Tuan X bagiku. Dan menurutku bagi orang lain juga kau tetap Tuan X. Karena tidak ada yang mengenal siapa sebenarnya Bramasta Wijaya.”
Bram mengerutkan keningnya sementara matanya mengikuti gerak-gerik Meggie dan perubahan sikap wanita itu.
Pandangan Bram tertuju pada recorder yang terletak di atas meja. Dan ia merasa terganggu karenanya. “Haruskah benda itu berada di sana?”
“Tentu. Aku harus merekam beberapa hal.,” jawab Meggie menjelaskan.
“Bukti-bukti maksudmu? Apa perlu di rekam?” kata Bram sarkatis.
“Apakah kau tidak menyukai caraku? Kalau kau tidak menyukainya mengapa kau memintaku untuk melakukannya. Dan sekarang kau mulai bertanya tentang sesuatu yang menurutku wajar. Aku ingin bertanya padamu, apakah kau memang menginginkannya atau tidak?” Meggie terlihat tegang dengan sikap Bram tidak menyetujui cara kerjanya.
“Aku menyukai mu. Sebagai wartawan foto, kau adalah favoritku dan paling terkenal,” sahutnya tersenyum.
Meggie mendengus kesal dengan ucapan Bram dan dia memandang Bram dengan tatapannya yang menusuk.
“Ego mu terlalu besar sejauh penilaianku Bram. Mengapa kau bergitu sulit berbicara tentang dirimu?”
“Aku hanya tidak mau berbicara dengan benda itu. Itu saja,” katanya singkat.
“Mengapa tidak? Apakah kau menyembunyikan sesuatu, Bramasta?” goda Meggie.
Wajah Bram terlihat di tekuk saat mendengar Meggie bertanya.
“Aku harus melakukannya dengan caraku Bram. Kalau kau mau mundur dan tidak mau bekerja sama, aku tidak akan memaksamu. Dan aku juga tidak akan menuntutmu,” kata Meggie lagi.
“Baik, baik. Aku suka dengan sikapmu karena itu memilihmu. Kau tidak mau menerima kata tidak dan hal ini tidak mudah buatku.”
Terdengar Bram mendesah sehingga Meggie meliriknya.
“Apakah kau tidak tenang Bram? Ingat aku bukan wanita yang memaksa bila orang itu tidak bersedia,” kata Meggie lagi dengan mata dan senyum mengejek.
“Kau salah. Bramasta Wijaya adalah apa yang dia buat tentang dirinya sendiri. Walaupun dia harus melawan lingkungan yang mencoba menghalanginya.”
Meggie mendengar nada keangkuhan dan kesombongan pada kata-kata yang diucapkan Bram sekaligus penuh kegetiran.
“Apakah kau bisa menjelaskan tentang itu?” tanya Meggie meminta penjelasan.
“Keluargaku dari miskin menjadi kaya dan mereka menuntutku untuk mempertahan dan menambahnya. Selama sekian tahun aku hidup dilingkungan kasar dan kau tidak perlu bertanya di mana. Satu-satunya yang penting aku bisa mengatasinya walaupun banyak kesulitan yang harus aku hadapi. Dan semua itu telah merubah pandanganku terhadap kehidupan ini.”
“Lalu apa pendapatmu tentang kehidupan ini setelah kau merubah pandanganmu?”
Bram menarik nafas. “Aku tidak senang hidup miskin. Aku bersumpah tidak akan hidup miskin lagi sehingga aku bekerja kesetanan untuk menjadikan keinginanku menjadi nyata. Dan kini saat usiaku tiga puluh lima tahun aku telah menjadi apa yang disebut sebagai orang berada.”
“Dan orang tuamu?” tanya Meggie perhatian.
“Orang tua ku tinggal di Negara lain. Apa hubungan mereka dengan posisiku sekarang ini?”
Meggie tidak langsung menjawab karena ia mendengar nada yang menyakitkan pada suara Bram. Dan dia mencoba mencari cara lain untuk mendapatkan jawaban.
“Dan dari mana kau mendapatkan luka di atas mata mu?” tanya Meggie ke arah mata Bram.
Tanpa sadar mengangkat tangannya dan meraba luka yang hampir dilupakannya.
“Bagaimana kau bisa melihatnya?” tanya Bram.
“Aku melihatnya. Jadi bagaimana kau bisa mendapatkan luka itu?”
“Tidak semua luka berasal dari teman di sekolah atau teman sebaya.” Katanya.
Dan Bram memandang Meggie penuh perhatian. “ Aku yakin kau memperhatikan ku dengan teliti sehingga kau bisa melihatnya.”
Meggie mengangkat pundahnya. “Aku adalah fotografer dan keahlianku untuk melihat lebih jelas sesuatu yang tidak diperhatikan oleh orang lain.”
“Jadi … Bramasta Wijaya yang tidak senang hidup miskin menjadi Bramasta Wijaya yang memiliki keagenan yang luar biasa serta pemilik beberapa perusahaan lain sehingga menjadikan dirinya seorang multi biliuner.”
Meggie memandang Bram yang berdiri dan mengisi gelas mereka dan kemudian duduk di sampingnya membuat dirinya menjadi gugup.
“Apa yang terjadi sehingga setiap orang termasuk aku, mengira bahwa kau mendapatkan kejayaan dan karier melalui pelanggan-pelanggan wanita. Maksudku, aku tahu di mana aku mendengar dan mendapat cerita-cerita seperti itu.”
Meggie menyelesaikan ucapannya dengan wajah yang merona terutama ketika menyadari pandangan Bram terhadap dirinya.