Bramasta Wijaya mengamati Meggie dengan arogan. Sorot matanya berhenti pada lekukan buah dadanya yang berada di balik blus sutra yang dikenakan Meggie.
“Aku menyukai wanita. Tentang hal itu aku tidak akan meminta maaf,” katanya datar.
Ketika pandangannya bertemu dengan pandangan Meggie, tubuh Meggie terasa digelitik seolah-olah Bram telah menyentuhnya.
“Jadi semuanya itu benar?” tanya Meggie dan dalam hati dia mengutuk suaranya yang bergetar.
“Aku tidak mengatakan hal itu,” jawab Bram.
Matanya bersinar dan ia tersenyum merayu. Meggie merasa dirinya kembali terbenam dalam kekosongan itu.
“Aku mengatakan aku menyukai wanita dan tidak perlu di pungkuri bahwa mereka juga menyukaiku,” Bram terus menatap Meggie dan tidak melepaskan pandangannya.
“Aku membuat kesalahan dengan memberikan reasksi pada wanita yang menjadi klienku. Beberapa di antaranya memberikan perhatian yang jujur dan tulus padaku ….”
“… Sementara yang lain berusaha menjadikan diriku untuk mendapatkan apa yang diinginkan mereka. Dan aku lebih sering tergoda juga dengan cara mereka,” katanya diikuti oleh tawanya yang getir.
Meggie terus mencoba mengendalikan dirinya sementara tatapan mata Bram semakin menggodanya dan dia berusaha untuk tetap focus.
“Harus aku akui bakat mereka di atas ranjang tidak bisa mengatasi kekurangan bakat dalam sebuah profesi dan pada akhirnya akan mengakhiri karier mereka.”
“Pada saat itulah, wanita yang tidak bermoral menjadikan sebagai alasan untuk melakukan hal yang buruk. Mereka pernah mempunyai hubungan denganku. Dan ketika mereka tidak bisa meraih sukses mereka menyalahkan diriku dan menganggap semua adalah karena campur tanganku sehingga mereka tidak berhasil.”
Meggie mendengarkan penjelasan Bram mengenai hubungannya dengan para wanita yang hanya memanfaatkan dirinya, karena dia seorang impresario. Seorang pemimpin perusahaan yang mengembangkan bakat-bakat yang berjiwa seni.
“Apakah dengan penjelasanmu tersebut kau sudah berhasil mendapatkan pelajaran?”
“Agaknya aku sering jatuh dalam type yang sama,” jawab Bram tertawa.
“Tapi aku sudah membuat pendirian kuat bahwa aku tidak akan menjalin hubungan dengan klienku. Bukan karena hal itu menjadi masalah bagiku,” tambahnya.
“Benarkah? Mengapa tidak? Apa kau perfikir untuk menjalin hubungan yang serius?” Tanya Meggie.
Menurut pendapat Meggie, Bram adalah seorang pria yang menjadi makin tampan dengan bertambahnya usia.
Meggie menganggap Bram begitu menawan ketika ia duduk di sampingnya dan bercakap-cakap secara terbuka.
“Reputasiku sudah membuat kesulitan untuk membangun hubungan yang serius dengan wanita siapapun. Klien atau bukan. Kau percaya pada hal itu bukan Meggie?”
Meggie menelan ludah dan tidak memperdulikan nada peringatan di dalam dirinya.
“Apa yang membuatmu berpikir bahwa penting bagimu untuk membersihkan nama baikmu? Dan mengapa baru sekarang?”
“Sementara sudah cukup lama reputasi sebagai penghancur hati wanita sudah melekat pada dirimu?”
Bram tidak langsung menjawab pertanyaan yang diucapkan Meggie.
Dengan tatapannya yang tajam Bram memandang Meggie menyebabkan jantung Meggie berdetak lebih kencang.
Meggie memperhatikan gerakan tangan Bram yang terulur dan mematikan recorder di atas meja tanpa dia mampu mencegahnya.
Semua gerakan tangan Bram membuat Meggie gelisah dan dia nyaris melompat berdiri ketika Bram mengulurkan tangan menyentuh kalung Meggie.
“Tanzania?” tanya Bram ketika dia mengangkat kalung itu di antara buah d**a Meggie.
Dengan wajah merona Meggie memalingkan wajahnya dan menjawab gugup.
“Tidak … Eh iya … Aku … Bagaimana kau tahu?” Meggie tidak mengerti mengapa dia membiarkan tangan Bram memegang liontin kalungnya. “Ini gila.” Katanya dalam hati.
“Indah sekali. Kau juga Meggie. Kecantikanmu sangat berbeda,” katanya perlahan dan melepaskan liontin kalung Meggie dan memegang dagu Meggie dengan jarinya.
“Aku rasa hari ini cukup di sini Bram. Aku sudah mendengarkan latar belakang mu dan aku akan melanjutkan wawancara dengan mu besok siang. Di kantor mu,” tukas Meggie mempertahankan dirinya dari rasa panas yang membuatnya gelisah.
“Kau tahu bahwa wajahmu sangat menawan dan memiliki kecantikan yang membuat iri para wanita,” kata Bram dan dia mulai membelai pipi Meggie lembut.
“Tidak Bram. Kau salah. Yang membuat para wanita iri denganku adalah nafsu makanku. Dan aku harus kembali karena malam ini sudah cukup larut,” ujar Meggie berusaha menolak rayuan Bram.
“Benarkah? Aku sudah mengamati dirimu sejak kau bergabung dengan agensi ku. Dan aku cukup berpengalaman untuk mengetahui bahwa perasaan itu ada dan saling berhubungan.”
“Kau keliru. Di antara kita tidak ada perasaan timbal balik!”
Meggie berusaha keras menantang keinginannya untuk menyentuh Bram. Dan ia memejamkan matanya ketika Bram kembali membelai pipinya.
“Siapa yang coba kau bohongi Meg?” tanya Bram dan tangannya meluncur ke belakang leher Meggie dan menariknya mendekat, rapat dengan tubuhnya.
Bram dengan lembut menyentuh pipi Meggie dengan tangannya sebelum mendekatkan wajahnya dan mencium lembut pipi Meggie.
Meggie begitu terpana dengan perlakuan Bram sehingga dia membiarkan kedua tangan Bram memegang wajahnya dan menekankan mulutnya pada mulut Meggie.
Dorongan lidah Bram begitu mendesak sehingga secara perlahan dan pasti Meggie membuka mulutnya dan menyerah terhadap lidah Bram yang mencari-cari.
Mulut Bram melepaskan mulut Meggie dan bergerak turun ke arah leher dan terus menuju ke lekuk lehernya.
Meggie merasa pusing dengan reaksi tubuhnya dan tiba-tiba kesadaran diri melandanya ketika ia mendengar suara Bram yang dipenuhi hasrat untuk di segera di penuhi.
“Tidak Bram. Ini salah,” Meggie mendorong keras tubuh Bram dengan nafas memburu.
“Aku mendambakan dirimu Meg,” ujar Bram saat dia berdiri dan mencoba memeluk Meggie kembali.
“Tidak! Apa kau selalu mendapatkan semua yang kau inginkan Bram?” tanya Meggie mencoba melepaskan pelukan Bram pada tubuhnya.
“Siapa yang coba kau tipu sayang? Aku tahu bahwa kau juga menginginkan aku,” ucap Bram dan dia mengulurkan tangannya ke arah paha Meggie dan mengelusnya dari luar celana panjang yang membungkus kaki jenjang Meggie.
“Lepaskan aku. Bram!” Meggie meronta-ronta melepaskan diri dari pelukan Bram yang sangat kencang.
“Aku sama sekali tidak menghendaki diriku menjadi salah satu wanita yang berada di daftar taklukkan mu. Lepaskan!”
Bram melepaskan Meggie secara tiba-tiba seperti dirinya terbakar.
“Ini sama sekali tidak adil Meg.”
Mata Bram begitu dingin ketika ia menatap Meggie.
“Aku telah membuka sebagian rahasia diriku pada mu Meg. Apakah kau tidak percaya bahwa seseorang bisa berubah?”
“Aku tidak tahu Bram.”
“Kau tahu, tapi kau memilih untuk mengabaikannya.”
“Tidak. Kau salah. Apa kau lupa bahwa kita baru dua kali bertemu? Jangankan bertatapan muka denganmu, berbicara denganmu pun baru dua kali sebelum aku datang kesini. Jadi bagaimana kau berpikir bahwa kita memiliki perasaan yang sama?”
“Karena kau selalu menghindar Meg. Kau tidak pernah bersedia bila perusahaan mengundangmu. Kau selalu mengirim Martha untuk mewakili dirimu,” sahut Bram yang kembali memeluk tubuh Meggie dari belakang.
“Percayalah padaku Meg,” bisik Bram dengan suara memelas.
“Tidak. Aku tidak bisa Bram.”
Meggie kembali melepaskan tubuhnya dan menghadap Bram. “Jangan sentuh aku!” tegur Meggie ketika Bram akan menyentuhnya lagi.
Meggie takut terhadap Bram, terhadap kekuatan sentuhan Bram dan juga takut terhadap reaksinya sendiri yang tidak mampu menolaknya.
Air mata Meggie terus mengalir di tengah rasa takutnya.
“Bagaimana aku bisa mempercayai mu sementara aku sendiri tidak tahu apa yang bisa aku buktikan dari pernyataan mu dan begitu juga sebaliknya. Kita tidak saling mengenal Bram,” Meggie mencoba menjelaskan.
“Kau tadi mengatakan bahwa kau tidak akan memiliki hubungan pribadi dengan klien mu. Dan aku adalah klien mu juga Bram. Apa yang membuatnya berbeda setelah kau mengatakan bahwa kau tidak akan memiliki hubungan dengan type yang sama?”
“Itu berbeda dan kau tahu dengan jelas perbedaannya,” sahut Bram dengan nada serius.
“Di mana bedanya?”
“Kau tidak memerlukan diriku untuk menaikkan popularitasmu karena kau sudah bekerja keras tanpa perlu dukunganku. Kau adalah ….”
“Aku apa Bram?” sela Meggie tak percaya. Dan Meggie mulai marah saat mendengar ucapan Bram.
“Kau berpikir bahwa aku cukup aman sehingga kau bisa berhubungan denganku tanpa khawatir aku akan memanfaatkan posisimu?”
“Aku mengakui bahwa kemandirian mu menarik bagiku dan kau juga wanita yang cantik yang tidak memerlukan aneka macam riasan. Apa itu salah? Namun belum berarti aku …”
“Belum berarti bahwa kau hanya menginginkan tubuhku saja. Begitu bukan?” Meggie memotong ucapan Bram dan melengkapinya dengan nada sinis.
“Sebaiknya kau jangan membuatku repot. Bram. Aku datang ke sini bukan untuk memberimu kesempatan untuk melepaskan ketegangan dan kebutuhan dirimu karena kau tidak mendapatkan seorang wanita yang menurutmu pantas.”
Tanpa menunggu jawaban Bram, Meggie mengambil kamera dan tas kerjanya lalu melangkah ke arah pintu keluar.