Kau

1279 Words
      Jam digital pada panel dasbord mobil menunjukkan pukul 7.50 ketika mobilnya memasuki halaman parkir luas dari rumah berlantai dua.       Meggie tidak mengerti mengapa sebagiaan orang menyukai kawasan yang berada dekat dengan pantai sebagai tempat tinggal.     Seringkali dia berpikir bahwa mereka hanya menghabiskan uang saja karena mereka menginginkan rumah mereka bisa langsung terhubung  dengan dermaga pribadi di mana perahu motor mereka bersandar.       Meggie segera mengambil kamera dan mengalungkan di lehernya kemudian membawa tas nya sebelum mengunci mobil.       Pandangan mata Meggie serasa dimanjakan oleh pemandangan taman di halaman tersebut. Sebelum mencapai pintu Meggie sempat mengagumi bentuk air mancur yang berada tidak jauh dari depan pintu dan diterangi oleh lampu dan dia memutuskan untuk membuat foto dan Meggie langsung mengeluarkan kameranya.       Ia masih mengambil beberapa gambar mengenai pemandangan yang dia tangkap dengan kameranya ketika mendengar suara pintu depan terbuka.       “Sudah mulai sekarang, Nona Dirga?” tanya sebuah suara di belakangnya.       “Aku harap Anda tidak keberatan,” sahut Meggie menyimpan kameranya dan membalikkan badannya. “Air mancur itu begitu indah dan aku ….”       Mulut Meggie terbuka dan tercengang. Dia begitu terkejut saat melihat Bram berdiri di depan pintu yang terbuka sehingga ia memandang ke arah lainnya berharap kalau dia tidak salah lihat.       “Bram? Apa … Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya gugup.       “Aku juga terkejut melihatmu di sini Meggie” jawabnya sarkatis. “Apakah kau mau masuk?”       Meggie terlalu terkejut untuk membantah apalagi protes. Ia melintasi beranda yang sangat luas yang dipenuhi dengan tanaman hias.       Meggie memperhatikan ruangan yang terlihat elegan dengan banyaknya tanaman hijau sehingga lebih menyerupai senagai hutan tropis yang subur sebelum Meggie memandang ke arah Bram.       “Aku tidak tahu kalau kau akan hadir di sini Bram,” kata Meggie berusaha mengendalikan dirinya.       Bram tersenyum dan mengantar Meggie ke ruangan duduk yang sejuk setelah melewati pintu dorong yang terbuat dari kaca.       Meggie memperhatikan lantai kedua yang terdapat balkon sehingga dari sana dapat melihat ke ruang duduk. Semua yang berada di ruang duduk ini sangat mewah. Dan di penuhi dengan hiasan antik yang Meggie tahu berapa nilainya.       Dan Meggie berpendapat kalau ruangan ini adalah gallery mewah yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu yang mulai bingung akan dikemanakan kekayaannya.       Sebuah tangga setengah melingkar yang menghubungkan ke lantai dua dan Meggie benar-benar tidak berharap melihat Bram berada di sini dan merusak pertemuan pertamanya dengan Tuan X.       “Kau meragukan diriku karena khawatir aku tidak bisa bersikap obyektif, Bram? Atau kau datang hanya untuk pengasuh?” tanya Meggie dengan nada suara yang sangat jelas terdengar tidak menyukai kehadiran Bram.       “Sama sekali tidak. Aku tidak meragukan dirimu,” sahut Bram memicingkan matanya. “Sampai saat ini. Kau menyukainya?” tanyanya.       “Hm. Barangkali agak dingin. Estetis dingin maksudku. Barangkali hal ini cocok dengan penghuni rumah ini. Dan sebenarnya apa maksudmu dengan kau tidak ragu sampai saat ini?” tanya Meggie memandang Bram curiga.       “Terima kasih,” ucap Bram menghindari pertanyaan Meggie. “Rumai ini sebagian sangat cocok dengan diriku. Meskipun saat aku membelinya hanya sebagai investasi saja,” jawab Bram.       Meggie membelalakkan matanya. “Rumah ini rumahmu?” Lucu sekali. Meggie berharap dan mengira bertemu dengan Tuan X di rumahnya sendiri bisa membentuk gambaran dirinya melalui selera dan kepribadiannya. Sangat menjengkelkan karena Bram mencampuri hal tersebut.       “Ku anggap hal tersebut menunjukkan bahwa tidak mempunyai watak. Di mana Tuan X? Aku percaya kau akan membiarkan aku sendiri untuk memulai pekerjaanku saat dia datang.”       Meggie merasa perlu mengatakan dengan tegas agar Bram tahu bahwa dia tidak mempunyai kepentingan apapun.       Bram tersenyum geli. “Kasihan sekali kau Meg. Kau terlihat binggung. Silahkan duduk! Aku akan mengambilkan minuman,” katanya yang langsung berjalan menuju bar mini yang berada di salah satu sudut ruang duduk.       Meggie duduk dan mengambil kamera dan meletakkan tas kerjanya di sampingnya. Meggie benar-benar bingung dan kacau. Dan dia perlu minum agar dirinya bisa tenang dan mengabaikan sosok pria kekar dan sangat jantan yang berdiri tidak jauh darinya.       “Menurutku. Akan sangat sulit bila aku tidak berada di sini. Karena sudah dapat dipastikan kau tidak akan bisa melakukan apapun juga. Karena akulah Tuan X seperti sebutan yang kau berikan. Kau berada di sini untuk belajar berkenalan dengan ku,” katanya tersenyum lemah dengan pandangan seperti seekor  kucing yang sedang mengawasi seekor tikus yang akan dimangsanya.       “Apa? Bram … Kau … apa?” tanya Meggie lagi, dan sepenuhnya ia merasa sebagai wanita t***l.       Meggie segera meneguk minumannya hingga habis dan memandag Bram dengan pandangan mata menyipit. “Jadi itu sebabnya mengapa Deddy tidak tenang,” katanya setelah dapat berpikir lagi.     “Aku tidak mengerti dengan kalimat yang di ucapkan oleh Deddy yaitu Kau telah menagih tebusanmu akan dia. Terus-terang hal itu membingungkan ku.”       “Hm. Dia sudah lama menginginkan agar Cahaya Magazine diberi kesempatan untuk membuat artikel tentang ku. Dan aku tidak pernah mengatakan setuju atau tidak. Sampai pada saatnya aku mulai bosan dan jemu dengan semua berita tentang diriku yang semakin berkembang liar hanya karena beberapa wanita yang kecewa.”       “Dan?”       “Tidak ada kata Dan. Aku menghubunginya dan memintanya agar kau yang menjadi jurnalisnya kalau dia masih mau membuat artikel tersebut.”       “Dan akhirnya Deddy menyetujuinya dan bermain rahasia denganku?”       “Apakah kau akan menyetujui untuk membuat artikel tersebut kalau kau mengetahuinya?” tanya Bram Sarkastis.       “Aku tidak menyetujui apa-apa,” sahut Meggie sambil mengambil barang-barangnya. “Dan aku juga tidak berniat untuk melakukannya. Selamat malam, Bram.”       Meggie sudah berniat berdiri, tetapi Bram menggenggam tangannya. “Tunggu sebentar, Nona Dirga. Malam ini kau sudah terikat kontrak. Apakah kau akan melakukan wawancara itu atau tidak, aku sangat tidak menyukai membawa perkara tersebut ke pengadilan,” kata Bram memberi peringatan.       ”Jangan mengancamku!” kata Meggie mulai naik darah. “Ketika aku tanda tangan kontrak, aku tidak tahu ….”       “Tapi kau sudah tanda tangan, Meggie,” katanya memotong ucapan Meggie dengan nada mengingatkan.       “Kecuali kau memenuhi syarat-syarat kontrak itu. Satu malam professional dan obyektif bersamaku untuk memperoleh fakta tentang kepribadianku, maka setiap usaha dari pihakmu untuk pergi dapat diartikan sebagai pelanggaran kontrak.”       Bram masih memegang tangan Meggie kuat-kuat. Dan Meggie secara naluri menyadari betapa kuat pesona Bram pada dirinya. Meggie memandang mata Bram dan lututnya menjadi lemas setelah menyadari bahwa mata Bram penuh tekad.       “Aku tidak bisa obyektif karena aku tahu siapa dirimu, Bram. Kau adalah pria licik, penipu yang lihay serta agresif!”       “Apakah aku seperti itu Meggie? Menurutmu aku benar-benar seperti itu?”tanya Bram dan dia menarik tubuh Meggie lebih rapat ke tubuhnya.       Meggie dapat merasakan kehangatan tubuh Bram dan mencium tubuhnya yang jantan dan maskulin.     “Apakah kau mau mengatakan bahwa kau tidak memiliki kemampuan dalam pekerjaan mu? Apakah aku sudah tertipu dengan semua yang sudah kau lakukan selama ini?” tanya Bram perlahan.       Nafas Meggie terengah-engah karena merasakan betapa Bram sudah membuat jantungnya berhenti dan nyaris tidak mampu bernafas. Jika kedekatan seperti ini saja sudah membuatnya merasakan reaksi yang sangat besar terhadap Bram, apalagi kalau mereka selalu bersama.       Meggie berusaha mengendalikan dirinya dan mencoba untuk mengingat isi perjanjian tersebut, dan akhirnya dia menyadari bahwa dia sudah bersikap ceroboh karena tergiur dengan imbalan yang akan dia terima. Dan sudah pasti dia akan menderita kerugian yang sangat besar bila Bram mengajukan perkara.       “Baik. Aku akan melaksanakan kewajibanku sesuai dengan kontrak yang sudah aku tanda tangani,” akhirnya Meggie memutuskan untuk melakukannya.       Secara perlahan Meggie melepaskan kamera beserta tas kerjanya dan Bram pun segera melepaskan genggaman tangannya.       “Kau menang. Dan kau benar bahwa aku tidak terlalu mengenal dirimu. Barangkali aku terlalu banyak mendengarkan desas-desus dan gunjingan.”       “Bagus, aku suka denganmu yang bisa berpikir,” sahut Bram.       “Kalau kau bisa meyakinkan aku bahwa semua itu tidak benar, aku akan menulis artikel tentang dirimu,” kata Meggie tidak terpengaruh dengan pujian Bram.       “Namun aku harus mengatakan padamu, atau tepatnya memperingatkan mu seperti yang tadi siang aku katakan pada Deddy, bahwa aku akan mencari, mencari dan mencari serta menggali semua informasi tentang dirimu.”       “Setuju.” Kata Bram. “Satu-satunya yang kuminta ialah memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa semua berita yang beredar sudah tidak sesuai lagi. Kita akan mulai dari mana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD