Ghidan sudah kembali ke Surabaya lebih dari satu minggu yang lalu. Bukannya lega karena tugasnya di Bali sudah selesai, tapi pria jangkung itu kembali direpotkan dengan pekerjaan baru yang diberikan atasannya. Menemukan Fawnia. Iya, setelah kejadian di pesta pernikahan Marco waktu itu, istri Irawan memilih pergi dan menepi seprang diri tanpa diketahui oleh siapa pun.
Hanya Bu Hanami dan orang-orang kepercayaannya yang mengetahui tempat persembunyian menantu kedua keluarga Dwisastro tersebut. Bukan tanpa alasan, Fawnia melakukan hal itu, semua ia lakukan demi memulihkan kesehatan, lantaran pasca pulang dari Bali malam. itu ia mengalami flek sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Bu Hanami marah besar pada Irawan, pun demikian pula dengan Pak Haidar selaku ayah kandung Fawnia. Irawan tentu saja kelimpungan, karena didera penyesalan yang bukan main. Dan tentu saja bisa ditebak, Irawan menyalurkan emosinya pada semua orang kepercayaannya. Termasuk Ghidan.
"Papa bengong ih, ayo merem lagi dong matanya, aku belum selesai pasang stikernya nih." Suara Anin yang menggemaskan kembali menarik lagi fokus Ghidan yang sempat berserakan.
Ghidan mengerjap pelan lantas menoleh pada Kanina dengan sudut bibir menyunggingkan senyum. "Eh, Papa nggak bengong kok, Sayang," ujar ayah satu anak itu meringis lebar.
"Tapi tadi Papa diem aja kayak patung," balas Anin sambil mengerucutkan bibir.
Patung?
Rasa-rasanya ini bukan pertama kalinya ada orang yang menyebut dirinya mirip patung. Selain Anin, ada satu orang lagi yang pernah mengatainya mirip patung Pancoran beberapa waktu lalu.
"Masa sih, Papanya ganteng gini malah dibilang kayak patung." Ghidan terkekeh pelan.
Anin mengangguk mantap. Gadia cilik itu lalu memutari sosok sang ayah yang kini rela cosplay menjadi manekin dan ditempeli banyak stiker lucu miliknya. "Papa diem aja lama banget, kan sama kayak patung. Nggak bisa gerak gitu," ujar Anin lagi dengan tangan masih sibuk membuka stiker satu per satu lalu menempelkannya pada lengan Ghidan.
"Papa nggak jadi patung, Nak, cuma lagi lihatin jam itu tuh, Nin. Ternyata hampir jam sembilan malam loh, waktunya kamu bobo. Besok sekolah kan?"
Mendengar kata sekolah makin muramlah wajah cantik si kecil. "Yaah kok tidur sih, aku kan masih mau main."
"Besok kita main lagi. Lebih lama karena besok kan weekend, Papa bisa pulang lebih cepat. Gimana?" Ghidan mengulurkan jari kelingking ke depan putrinya.
"Beneran? Papa janji?"
"Janji dong, pria sejati itu nggak pernah ingkar janji. Apalagi sama gadis itu secantik Kanina Aura Zamani."
Mendengar kalimat manis dari sang ayah, Anin tak bisa menyembunyikan rona merah di kedua pipi gembilnya.
"Asiik, Papaku terbaik," ungkapnya lantas memeluk Ghidan dengan sangat eratnya.
"Sekarang cuci tangan cuci kaki, sikat gigi terus bobo ya?" Ghidan tersenyum lebar saat putrinya mengangguk patuh.
Bangkit berdiri dengan satu lengan menggendong sang putri, Ghidan berjalan menuju kamar mandi yang ada di sebelah kamar Anin. Membantu sang putri membersihkan diri lantas mengantarkannya lagi ke kamar agar segera tertidur.
Tak sampai satu jam, Ghidan berhasil mengantarkan Anin ke alam mimpi. Masih berada di ranjang kecil sang putri, pria itu tak langsung pergi hanya untuk berjaga-jaga jika putrinya kembali terbangun dan mencarinya seperti yang sudah-sudah. Ketika sudah yakin kalau tidur Anin sudah sangat pulas, barulah Ghidan meninggalkan kamar mungil itu dan turun ke ruang makan yang ada di lantai satu.
Lampu ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih terlihat baru dinyalakan. Menandakan kalau sang ibu baru saja pulang dari pekerjaannya yang mendadak ada panggilan nyaris tengah malam. Ghidan memiliki seorang ibu yang berprofesi sebagai seorang bidan, dan menjadi bidan senior di salah satu Puskesmas dekat rumah mereka.
"Dijemput sama Sakti, Bu?" tanyanya ketika sampai di anak tangga terakhir. Hastutik yang sedang menenggak segelas air putih mengangguk sekali.
"Iya. Dia langsung balik ke bengkel ambil onderdil pesanan Pak Yanto sekalian nutup bengkel," seru Hastutik lantas menuju wastafel untuk mencuci gelasnya.
"Tumben lama, Bu? tadi Anin tanya terus."
Hastutik membuka sebuah kotak transparan berisi potongan kiwi dan strawberry. Juga separuh buah pepaya yang dibungkus dengan plastik. "Kontraksinya lama, Mas. Sempat pendarahan juga, syukurlah bayi kembarnya lahir selamat, ibunya juga," jawab Hastutik.
"Alhamdulillah."
"Anin udah tidur dari tadi? kamu sudah makan malam belum?" tanya Hastutik setelah melirik jam dinding besar di dinding depannya. Sudah pukul setengah sebelas malam.
Ghidan mengangguk lantas duduk di seberang sang ibu di kitchen table. "Sudah, Bu. Tadi makan Anin, kami beli nasi goreng di depan."
"Kamu mau ini, Mas? biar sekalian Ibu potongin," tawar sang ibu sedikit mengangkat buah pepaya di tangannya.
Ghidan mengangguk lantas membuka penutup s**u kemasan yang ia ambil dari kulkas. Sambil menunggu sang ibu memotong buah segar, pria itu mengaktifkan ponsel dan iseng membuka sosial media. Meski tak pernah membagikan moment pribadinya di platform apapun, Ghidan tetap memiliki akun di sosial media ternama untuk mengikuti kabar terkini atau sekedar mencari informasi yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Baru hitungan detik berselancar, sepasang netra pria itu mendadak menyipit karena mendapati pesan yang masuk ke DM-nya dari akun yang namanya terlihat familiar. Pesan yang ternyata sudah masuk sejak empat hari silam.
just_vian : Ghidan?
just_vian : Ini Ghidan si patung pancoran yang minggu lalu di Bali kan?
just_vian : Ini gue, Vivian. Masih inget?
just_vian : Kalo ini beneran akun lo, bales DM ini.
Tanpa sadar Ghidan menarik satu sudut bibirnya menahan senyum. Baru kali ini ia mendapati pesan singkat random dari gadis asing yang hanya dikenalnya beberapa jam. Tak berniat langsung membalasnya, Ghidan justru berseluncur untuk melihat akun Vivian yang mendadak bertandang ke akunnya.
Tak disangka ternyata Vivian yang notabene mantan model dan dikenal dari keluarga berada kini justru menekuni bisnis kecil-kecilan di bidang bakery. Hal itu terlihat dari beberapa foto yang dibagikan gadis tersebut menampikjan dirinya sedang berpose dengan beberapa kue lucu hasil tangannya.
‘Thank you for ordering this super cute cake’, tulis gadis itu pada salah satu postingan yang memperlihatkan kue ulang tahun bernuansa biru muda dengan ornamen Donald bebek dan gumpalan awan putih. Namun bukan hanya kue lucu itu yang menjadi fokus Ghidan, melainkan wajah imut Vivian yang terlihat makin mirip remaja belasan tahun saat mengenakan topi donal bebek senada dengan kue yang ada ditangannya.
"Mas, kamu ngapain senyum-senyum gitu?" tanya Hastutik sontak membuat Ghidan mengerjap dan meletakkan gawainya ke atas meja.
"Nggak kok, Bu. Nggak ada yang senyum-senyum," jawabnya kikuk salah tingkah.
"Helehhh ...," Hastutik mencebik lantas mengulurkan piring berisi potongan buah ke depan putra sulungnya. "Itu tadi, kamu liatin HP terus senyam senyum sendiri. Gini-gini mata Ibu masih sehat lho, Mas. Jangan-jangan ... kamu lagi chat sama perempuan yang katamu itu ya? pacarmu?"
"Buk—"
"Eh, buruan kenalin ke Ibu, biar bisa Ibu pamerin ke Bu Asri sama Riyani sekalian. Kamu kan udah janji mau bawa ke Ibu sepulang dari Bali, Mas?"
Skakmat!!
Padahal sebelumnya Ghidan sudah sangat lega karena berhasil mengulir waktu untuk membawa calon istri ke depan snag ibu juga untuk membuktikan pada keluarga mertuanya kalau ia akan segera berumah tangga lagi.
"Tapi kan aku langsung sibuk pas balik ke sini, Bu. Dia ... hmm, dia juga lagi sibuk. Belum siap aku bawa ke sini."
"Sibuk apa sih? jangan-jangan asisten pribadi keluarga Pak Adi juga ya? Riri? Diah?"
Hastutik pernah mendengar dari putranya kalau istri dan para menantu keluarga Dwisastro juga memiliki asisten pribadi masing-masing. Seperti yang disebutkannya tadi, Riri merupakan asisten pribadi Bu Hanami sedangkan Diah adalah asisten pribadi Fawnia. Bahkan ada pula Mila yang merupakan asisten pribadi Anya, menantu pertama keluarga Dwisastro yang kini menetap di Singapura.
"Bukan, Bu. Kami berdua beda profesi kok," jawab Ghidan berdecak sekali.
"Coba tunjukin, minimal ada fotonya lah." Hastutik menyipitkan mata curiga. "Ibu nggak main-main lho ini, Mas. Selain pengen mempertahankan Anin biar nggak diambil Omanya. Ibu juga pengen banget lihat kamu hidup bahagia dengan pasangan baru, biar nggak terpuruk terus sama kepergian Liana."
"Aku nggak terpur—"
"Ya udah sini tunjukin mana pacar kamu! kalau foto aja nggak ada, berarti kamu bohong, Mas!" tegas Hastutik mengacungkan telunjuk ke depan wajah putranya.
Memang benar apa kata pepatah lama. Satu kali berbohong, maka kita akan kewalahan untuk membuat kebohongan-kebohongan yang lain. Persis seperti yang dialami Ghidan saat ini.
Wajah pria tampan itu mendadak pias saat terdesak seperti sekarang. Hingga akhirnya satu kebetulan kembali ia manfaatkan. Tangan kirinya dengan gesit mengambil ponsel yang tadi ia letakkan dengan posisi tertutup. Membuka aplikasi terakhir yang langsung nampak di layar, Ghidan tak butuh waktu lama untuk menemukan wajah seorang gadis yang akan ia jadikan 'tumbal' dalam kebohongannya kali ini.
"Niih orangnya nih kalau Ibu nggak percaya. Pekerjaannya banyak banget, hampir tiap hari dia bikin kue pesanan. Jadi mana sempat aku bawa ke Ibu." Memilih satu foto yang terakhir di posting, Ghidan langsung menyodorkan ponselnya ke depan sang Ibu. Demi memamerkan raut wajah cantik yang tengah memegang kue hasil karyanya dan berpose di depan kamera.
"Jadi ini...."
"Namanya Vivian, Bu. Selain karena kesibukannya merintis bakery shop, dia juga belum siap ketemu Ibu karena masih banyak hal yang perlu kami bicarakan," potong Ghidan dengan cepat merangkai dusta.
"Cantiknya..." Hastutik langsung berbinar mengambil ponsel tersebut dari tangan putranya.
"Pinter masak jug—" Ghidan sontak memejamkan mata saat tanpa sadar ia justru menekankan salah satu kelebihan Vivian. Entah kenapa bibirnya mendadak lancar sekali berbicara tentang sosok berisik yang pernah ia temui beberapa waktu lalu.
"Iya, iya ... tahu. Mentang-mentang fotonya banyak yang di dapur," sahut Hastutik mendadak mengukir senyum. "Tapi kok... wajahnya familiar sekali ya, Mas. Dia ini ... artis? kamu pacaran sama artis?"
“Ehmm… anu..”
***