"Ini jaket lo yang kapan hari gue pinjem. Udah gue cuci bersih, wangi pokoknya tinggal pake aja." Vivian tersenyum lebar saat menyodorkan paper bag cokelat berisi jaket milik Ghidan yang ia pinjam lebih dari dua minggu lalu. "Thank you."
Ghidan yang duduk berhadapan dengan Vivian langsung mengangguk pelan. "Hmmm... sama-sama. Nggak perlu repot sebenarnya," seru Ghidan setelah membasahi bibirnya beberapa kali. Gesture alaminya setiap kali merasakan gugup. Padahal tak seharusnya ia merasakan hal tersebut.
Sekitar tiga hari lalu, Ghidan akhirnya membalas pesan Vivian yang terkirim ke akun sosial medianya. Dan hari ini dua orang tersebut sepakat untuk bertemu di salah satu café mungil di Surabaya Barat yang sebenarnya tak jauh dari kediaman keduanya. Vivian hendak mengembalikan jaket milik Ghidan, sedangkan Ghidan masih maju mundur saat akan menanyakan hal krusial yang menjadi pikirannya beberapa hari belakangan ini.
“Gue nggak repot kok, lagian bukan gue yang nyuciin. Tapi Bi Tum.”
“Bibi kamu?”
Vivian mengangguk tanpa ragu. “Pengasuh aku sejak masih bayi,” jawabnya santai lantas menyesap espresso yang dipesannya.
“Sebenarnya aku mau ngasih ini juga buat kamu,” sambung Vivian lalu membungkuk untuk mengambil sesuatu ada di sebelahnya. Sedetik kemudian ia menyodorkan satu kotak dengan penutup transparan yang ternyata berisi cup cakes dengan topping lucu. Khas Vivian sekali.
Ghidan menaikkan satu alisnya melihat kue itu disodorkan ke depannya.
“Ini gue bikin sendiri tadi pagi, anggap aja sebagai rasa terima kasih gue ke lo karena ternyata … lo nggak bohongin gue soal kasus Annette. Secara nggak langsung, gara-gara lo juga kan gue bisa lolos dari jeratan kasus itu,” ucap Vivian terdengar tulus.
Meski awalnya sempat ragu dan gengsi, akhirnya ia menuruti saran dari sahabatnya agar mengucapkan terima kasih secara khusus pada Ghidan. Karena tak punya ide lain akan memberikan apa pada pria kaku tersebut, Vivian memutuskan untuk membuat cup cakes yang memang ia kuasai.
“Kelihatannya enak,” ujar Ghidan tak melepaskan tatapannya dari kue-kue lucu yang sepertinya akan disukai oleh putrinya itu.
“Ya enak laah, gue tuh jago bikin ginian, rasanya udah diakui dunia,” sambar Vivian sekalian saja mempromosikan kuenya. Biarlah berlebihan, tapi memang kuenya enak kok.
“Iya, saya percaya. Terima kasih juga untuk kuenya.”
“Oke, kalau gitu gue balik duluan. Masih banyak kerjaan.” Vivian bangkit berdiri setelah menghabiskan sisa minuman dan menyambar tas bergambar kuda poni miliknya.
“Tu- tunggu dulu sebentar.” Ghidan gegas mencegahnya sebelum ia kehilangan kesempatan.
“Hmm?” Vivian menoleh sesaat. “Kenapa? Lo mau nawarin gue tumpangan?”
“Boleh, tentu saja akan saya antar,” jawab Ghidan gugup setengah mati.
“Tumben si—”
“Tapi saya mau tanya sesuatu dulu,” sambung pria itu sembari mengambil napas dalam-dalam. “Tolong dengarkan.”
Vivian sempat mengerutkan alis, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Urusannya dengan Ghidan terkait jaket dan ucapan terima kasih sudah selesai, tapi pria itu masih ingin bertanya sesuatu yang lain. Tentu saja hal itu mengusik rasa ingin tahu Vivian.
“Oke,” jawab gadis itu singkat lalu kembali duduk di kursinya semula. Menatap lurus ke arah Ghidan yang nampak salah tingkah dan enggan membalas tatapannya. “Lo mau nanya apa?”
“Saya ….” Kalimat Ghidan menggantung beberapa detik karena pria itu butuh menenangkan jantungnya yang berisik sekali. “Saya berubah pikiran.”
“Pikiran tentang apa?” tanya Vivian tak paham.
“Terkait tawaran kamu waktu itu. Saya berubah pikiran,” ulang Ghidan kali ini dengan suara lebih tegas dan meyakinkan.
Vivian menggerak-gerakkan bola matanya sekilas. Mencoba mengais ingatan tentang tawaran apa saja yang pernah ia utarakan pada pria kaku di depannya ini. Sampai di satu titik ia mengingat satu hal.
"Tawaran yang itu?" sedikit terperangah, Vivian mengangkat telunjuknya.
"Iya yang itu." Ghidan mengangguk lagi.
"Yang pura-pura jadi istri lo itu?"
"Iya yang itu," ulang Ghidan kembali menganggukkan kepala.
Vivian menelan salivanya demi menekan gugup. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Kepala lo nggak habis kejedot sesuatu kan?"
Ghidan menggeleng. "Karena keluarga saya semakin mendesak," jawab Ghidan sungguh-sungguh. "Kalau kamu bersedia, kita bisa bikin kesepakatan bersama. Perjanjian pranikah misalnya," imbuhnya lagi.
Semalam, Ghidan sudah memikirkan hal ini masak-masak dengan keadaan kepala dingin. Mendadak menikah dengan gadis yang belum benar-benar dikenalnya memang bukan perkara mudah. Tapi bukan berarti hal yang tak mungkin dijalani jika masing-masing pihak punya kesepakatan yang jelas di awal yang sama-sama disetujui.
"Hanya karena itu?" Vivian mencoba lebih banyak informasi. Tak ingin kecolongan, misalnya saja jika pria di depannya ini hanya memanfaatkan tawarannya.
Ghidan mengangguk lagi dan lagi. "Hanya itu."
"Tapi kan gue pernah bilang kalau gue punya syarat yang harus lo penuhi dulu. Dan syaratnya nggak mudah."
Dan juga nggak murah, lanjut Vivian dalam hati.
"Katakan saja syaratnya, akan saya penuhi. Pasti akan saya usahakan," jawab Ghidan dengan wajah serius.
"Syaratnya cuma satu. Kalau lo setuju, kita bisa langsung bicarakan tentang perjanjian pranikah. Lalu soal cerita ke keluarga masing-masing, kita bahas setelahnya."
"Oke. Apa syaratnya." Ghidan menegakkan duduk mencoba tenang meskipun benaknya mulai rumit banyak pikiran.
"Tebus rumah mendiang bokap gue yang hampir dilelang bank," ujar Vivian kali ini menampakkan wajah datar. Tanpa senyum atau cengengesan seperti yang biasa ia tebar. “Gue nggak rela rumah itu dimiliki orang lain.”
Ghidan menarik napas panjang. Mengingat latar belakang Vivian yang berasal dari kalangan sangat berada. Pastilah nilai jual rumah mendiang ayahnya tak bisa dibilang murah.
"Berapa?" tanya Ghidan mempertahankan wajah tenang.
"Hmmm, pihak bank mau melepas dengan harga sembilan milyar delapan ratus juta."
Nyaris sepuluh milyar.
Vivian menunduk saat menyebutkan nilai fantastis untuk menebus rumah terakhir peninggalan keluarganya. Bukannya apa, Vivian hanya tak yakin dengan Ghidan apakah pria itu bisa memenuhi syarat tersebut atau tidak. Tak bermaksud merendahkan pekerjaan pria itu juga, Vivian hanya mencoba berpikir logis saat ini.
Memang keluarga Adiyatma Dwisastro terkenal sangat loyal pada semua pekerjanya. Apalagi jika orang tersebut menjadi orang kepercayaan, seperti Ghidan atau asisten pribadi lainnya. Keluarga konglomerat tersebut tak keberatan memberikan bonus puluhan juta, belum lagi jaminan rumah, kendaraan pribadi sampai dengan permodalan membuka bisnis untuk jaminan hari tua para pekerjanya. Hanya saja, Vivian tetap tak yakin kalau Ghidan punya tabungan sebanyak itu untuk menebus rumahnya.
"Gue masih ada tabungan dari hasil menjual perhiasan peninggalan papa, hasil menjual mobil sampai hasil dari bakery gue setiap hari. Tapi tetap saja nominalnya terlalu jauh dari angka itu karena gue juga harus mencicil hutang papa. Oleh karena itu gue butuh donatur lain," sambung Vivian lagi kali ini dengan suara lebih lirih. Seolah tak rela menceritakan kesulitan hidupnya selama ini.
"Oke, deal," sahut Ghidan tanpa basa basi. Bahkan dengan gerakan tegas Ghidan mengulurkan tangan kanannya berniat menjabat tangan Vivian tanda sepakat.
"Langsung deal?" tanya Vivian ragu.
"Kenapa nggak? lebih cepat lebih baik kan? jadi kita bisa bahas hal yang lain setelah ini."
"Sorry to say, emang lo punya duit segitu banyak?" lanjut Vivian sedikit tak enak hati saat menanyakannya.
"Pasti ada," jawab Ghidan tanpa keraguan.
Dalam hati ia menghitung cepat. Kalau pun Ghidan menjaminkan seluruh asetnya termasuk rumah orang tua, dua bangunan yang dijadikan bengkel, menjual tanah di kampung dan menjual puluhan ternak sapinya selama ini, sepertinya akan terkumpul sangat banyak meskipun belum menyentuh angka 10M. Tapi tenang saja, Ghidan masih punya cara lain untuk mendapatkan sisanya.
“Kok lo kayak nggak yakin?”
“Saya yakin, Vivian. Apa perlu saya jabarkan semua asset dan tabungan saya selama ini? kalau kamu juga setuju kita bisa bahas tentang perjanjian pranikah secepatnya. Dan paling lambat bulan depan, saya pastikan rumah kamu yang nyaris 10M itu bisa kamu tebus ke bank.”
Ada keheningan yang mendadak menyeruak di antara keduanya. Vivian sibuk mencerna semua kalimat dari pria kaku yang biasanya irit bicara ini. Sedangkan Ghidan juga sibuk dengan carut marut pikirannya yang sibuk menerka akan terjadi drama apa lagi di masa depannya nanti.
“Saya serius, Vivian. Saya hampir putus asa dengan desakan dari keluarga, sampai saya mengingat tawaran dari kamu saat di Bali itu. Tawaran itu bukan candaan kan?”
Vivian mengerjap sesaat. “Tentu saja bukan candaan, Ghi!” dengkusnya manyun. “Gila aja kalau gue sempat bercandain hal yang gue perjuangkan mati-matian selama ini. Kalau nggak inget dosa udah open BO kali gue!” omelnya sedikit kesal.
“Oke… oke, sorry.” Ghidan mengangkat kedua telapak tangannya. “Jadi … bisa kita sepakati saja syarat yang kamu ajukan tadi?”
“Jujur, gue masih sedikit kaget dengan pembicaraan kita yang bener-bener di luar nurul ini. Tapi yaa … gue setuju. Kita deal.” Menarik napas panjang, Vivian akhirnya mengulurkan telapak tangan kanan yang dengan cepat langsung disambar oleh Ghidan.
“Deal,” sambut Ghidan menghembuskan napas lega.
“Tapi untuk bahas perjanjian pranikah dan lainnya, hmm …. bisa kita bicarakan nanti atau di lain hari? Gue bener-bener keburu balik karena malam ini ada pesanan cake lagi dan gue harus belanja perlengkapan yang kurang sekarang.”
“Oke, nanti saya hubungi kamu untuk membahas yang lain,” seru Ghidan lantas bangkit berdiri. “Ayo berangkat,” imbuhnya kembali mengulurkan tangan ke arah Vivian. Membuat gadis itu menautkan alisnya bertanya-tanya.
“Berangkat ke mana?”
“Saya temani kamu belanja lalu antarkan pulang sekalian.”
“Hah?”
“Anggap saja ini salah satu proses pendekatan, agar kita bisa saling mengenal satu sama lain.”
***