MC - 5

1128 Words
                “Sini, Al...”                 Tante Umi mengajakku masuk ke kamar Jo. Kamar itu masih tampak sama sejak terakhir kali aku ke sana. Sepertinya, kamar itu dibiarkan kosong, tapi tetap di rawat. Pasalnya, aku tidak merasakan debu berterbangan di mana-mana begitu aku masuk. Kamar itu terasa bersih, juga kering. Tidak lembab seperti kebanyakan kamar yang terlalu lama dibiarkan.                 Aku duduk di tepi ranjang, sementara Tante Umi mengambil ponsel di laci meja belajar. Setelah menghidupkan ponsel itu, Tante Umi langsung menyerahkannya padaku. “Ini, Al. Sebenarnya, hape ini selalu Tante matiin. Hanya sesekali saja dihidupin untuk diisi pulsa agar nomornya tetap aktif. Nggak tahu kenapa, Tante masih ingin merawat nomor ini, barangkali ada sesuatu yang nantinya bisa Tante temukan.” Aku mengangguk, lalu menerima ponsel itu.                 Tante Umi menarik kursi dan duduk di depanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, ketika mengamati foto sobekan fotoku dengan Jo. “Ah, foto ini diambil waktu aku sama Jo habis dari pantai, Tan. Waktu itu bareng-bareng temen yang lain juga,” ujarku setelah mengamati foto itu cukup lama. “Mungkin nggak, ini orang yang cemburu sama kedekatan kalian?” “Mungkin saja, Tan. Tapi, kalau benar karena cemburu, berarti pembunuhnya kemungkinan besar adalah cewek soalnya targetnya adalah Jo, bukan aku. Kalau dia cowok dan cemburu pada kedekatan kami, harusnya aku targetnya.” “Bener juga, sih. Tapi bukannya Jo itu pacaran sama Angga? Kenapa yang disobek foto dia sama kamu, bukan sama Angga?”  “Kurang tahu, Tan. Itu kan baru kemungkinan kalau memang benar karena cemburu. Nggak menutup kemungkinan juga ada motif lain yang kita nggak tahu.” Tante Umi mengangguk setuju dengan kalimatku. “Sebenarnya, beberapa hari aku agak kepikiran kalau si pelaku kayaknya mau main-main. Atau sebenarnya dia agak teledor makanya mulai mengirim sesuatu yang bisa menimbulkan banyak spekulasi,” lanjutku yang membuat kening Tante Umi berkerut bingung. “Teledor? Maksudnya?”                  Sebelum menjawab, aku membuka tas dan mengambil gulungan kertas dari Pak Santo, lalu menunjukkannya bersama buku coklat yang waktu itu Tante Umi berikan padaku. “Coba lihat ini, Tan. Aku dapat clue baru dari satpam fakultas yang membawa Jo turun ke ambulan.”                 Tante Umi mendekat ke arahku, lalu mengamati kertas lusuh itu dan buku milik Jo secara saksama. “Tante Umi bisa lihat sendiri, ini tulisannya persis sama. Bedanya, yang di kertas lusuh dicoret seperti ada kesalahan. Tante lihat ini ada deret bilangan—“   “Tante nggak paham deret bilangan itu apa, Al,” sela Tante Umi sambil menggeleng beberapa kali.                 Aku tersenyum, lalu menggeleng. “Nggak papa, Tan. Maksudnya aku mau nunjukin perbedaannya.” “Oke, lanjut...” Tante Umi tertawa pelan, tampak seperti menertawakan diri sendiri. “Jadi gini, Tan, deret barisan kedua itu namanya deret bilangan prima. Gampangannya aku ngomong, yang bener itu yang ada di buku. Yang di kertas ini salah, makanya dia coret angkanya dan kertasnya disobek dari buku, lalu dibuang. Ini baru spekulasiku ya, Tan. Bisa benar bisa salah. Nah, kembali lagi, yang aku maksud teledor, bisa saja dia tak benar-benar sengaja membunuh Jo, dan mulai membuat clue-clue aneh yang bisa membuat orang jadi berpikir macam-macam. Logikanya, buat apa kalau orang sengaja membunuh, malah bikin clue yang bisa membuatnya ditangkap? ” “Tapi Al, kalau memang nggak direncanakan, bukannya rekaman CCTV hari itu hilang? Padahal kan jelas, rekaman di hari yang lain lengkap.” “Nah, di sini yang membuat aku bingung. Makanya aku masih mengumpulkan clue lain dan menggabungkannya untuk mencari spekulasi yang kemungkinannya paling tinggi. Kasus pembunuhan itu agak rumit, Tan. Kalau salah tuduh, bisa fatal.” “Atau kita hentikan di sini?” Tante Umi tiba-tiba menatapku ragu. “Tante yakin? Kalau aku, jujur nggak akan bisa berhenti sebelum pelaku tertangkap. Apalagi dia juga bawa-bawa fotoku.” “Tapi bagaimana kalau kamu justru sengaja dijebak dengan clue-clue aneh itu?”                 Aku terdiam. Tante Umi benar, memang bisa juga si pelaku itu sengaja menulis clue-clue ini hanya untuk menjebak siapa saja yang hendak menyelidikinya. Akan tetapi, kalau semua orang takut dan diam, sampai kapan pun hal ini tidak akan pernah adil untuk Jo.                 Hanya orang terdekat yang kenal Jo lah, yang bisa merasakan betapa pembunuhan ini terasa sangat tidak adil. Jo itu orang baik, juga tipe yang cuek, tidak suka mencampuri urusan orang lain. Ketika dia disakiti, dia juga lebih sering memilih untuk diam.                 Seumur-umur aku tahu Jo marah, marah di sini adalah marah yang benar-benar marah, itu waktu ada teman kuliah yang menyinggung status janda Tante Umi sebelum menikah dengan Ayah tirinya yang sekarang. Jo marah karena dia paling benci kalau keluarganya dibawa-bawa ke kehidupan kampusnya, yang mana dua hal itu tidak ada hubungannya sama sekali. “Kalau aku sampai terjebak, berarti aku sedang tidak beruntung, Tan,” balasku akhirnya. “Kalau gitu, kamu harus hati-hati. Andai memang motif utama berawal dari ketidaksengajaan, atau bahkan paling parah adalah pembunuhan berencana, kalau sudah berhubungan dengan nyawa seseorang, pasti akan berujung kompleks. Inilah alasan utama Tante menutup kasus ini dari polisi. Tante takut, ini bisa kemana-mana. Parahnya, nanti bisa membahayakan nyawa tante juga keluarga yang lain.” Aku mengangguk setuju. “Iya, Tan. Aku akan hati-hati.” “Harus. Tante ada di belakang kamu. Kalau ada apa-apa yang ingin kamu tahu tentang Jo, bilang saja, ya? Tante akan jujur semuanya. Termasuk masa lalunya.” “Masa lalu?” sebelah alisku seketika terangkat. “Iya, Jo pernah memiliki masa lalu kurang bagus untuk diingat. Tapi maaf, tante nggak bisa bilang itu sekarang. Tante akan bilang kalau sudah kepepet dan memang itu dibutuhkan.” Aku kembali mengangguk. Aku tidak ingin memaksa Tante Umi menceritakan apa yang beliau tidak ingin ceritakan padaku.                 Akhirnya, setelah ngobrol beberapa bahasan lagi, Tante Umi mengajakku keluar dari kamar Jo. Beliau mengajakku ke meja makan, karena beliau bilang sudah memasakkan menu khusus untuk aku bawa pulang. Tante Umi kenal Bunda, jadi beliau tahu apa saja makanan yang aku suka atau tidak suka.                 Sebenarnya tidak hanya Tante Umi yang kenal aku dengan baik, tapi Bunda juga kenal Jo dengan baik. Pertemanan kami bukan hanya setahun dua tahun, tapi sudah bertahun-tahun lamanya. Jadi jangan heran kalau keluarga kami cukup kenal satu sama lain. “Om Putra di mana, Tan?” “Biasa, Al. Kerja. Pulang sekitar jam empat. Mau ketemu?” “Enggak, Tan. Nanya aja.”                   Sementara Tante Umi di dapur, aku berjalan menuju meja panjang, tempat foto-foto terpajang rapi di sana. Aku langsung tersenyum getir begitu melihat foto Jo sedang tersenyum sembari memegang bundel skripsi dan beberapa buket makanan. Aku ingat, ini adalah di hari kelulusannya, karena foto ini aku sendiri yang ambil.                 Ketika tanganku terulur untuk melihat satu persatu foto yang ada di sana, tiba-tiba gerakan tanganku terhenti begitu menyentuh bingkai yang berisi foto perempuan cantik, yang tersenyum lebar sembari memegang piala di tangannya. “Itu Anna, Al, adik tiri Jo yang jarang sekali pulang.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD